Opini
Langkah Mundur Menteri: Awal Kiamat Politik Lebanon?

Di sebuah hari yang tampak biasa di Istana Kepresidenan Baabda, Beirut, pada 5 September 2025, drama politik Lebanon kembali menegaskan bahwa stabilitas negara ini sering kali hanyalah ilusi tipis yang mudah terkoyak. Lima menteri—empat dari blok Amal dan Hizbullah, serta satu menteri independen—memutuskan untuk meninggalkan sesi kabinet yang membahas rencana tentara Lebanon untuk menegaskan otoritas eksklusif negara atas senjata. Terdengar sederhana, tapi gestur itu menyimpan lapisan makna yang dalam: protes, penolakan, dan peringatan. Menteri-menteri itu bukan hanya menolak agenda hari itu; mereka menegaskan sebuah prinsip, bahwa senjata yang mereka pegang bukan sekadar alat militer, tetapi simbol kehormatan, perlindungan, dan kedaulatan negara.
Tentara Lebanon, yang dihadirkan di sesi itu untuk mempresentasikan rencana implementasi monopoli senjata, berdiri di depan kabinet dengan dokumen-dokumen resmi, berharap menghasilkan kesepakatan. Tapi lima menteri memilih pergi, meninggalkan ruang rapat. Mereka tidak hanya mundur secara fisik, tetapi juga secara politik, mengirim pesan bahwa agenda ini tidak bisa dipaksakan. MP Mohammad Raad, kepala blok parlementer Hizbullah, menyebut bahwa menyerahkan senjata berarti menyerahkan kehormatan. Sebuah frasa yang terdengar dramatik, tapi dalam konteks Lebanon, itu bukan hiperbola—itu kenyataan. Sejak 1982, senjata Hizbullah dan kelompok resistensi lainnya telah menjadi garis pertahanan melawan agresi eksternal, menjaga Lebanon dari dominasi zionis, dan menciptakan imbalan deterrence yang nyaris sempurna.
Langkah mundur ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah pemerintah Lebanon masih bisa mengambil keputusan tanpa kehadiran mereka? Secara hukum, pemerintah memang memiliki kuorum: dari 24 menteri, kehadiran dua pertiga—sekitar 16 menteri—cukup untuk melanjutkan pengambilan keputusan. Dengan lima menteri mundur, kuorum masih terpenuhi. Secara formal, sesi dapat diteruskan. Tapi di dunia nyata Lebanon, politik dan hukum sering berbenturan. Keputusan yang diambil tanpa partisipasi blok besar seperti Hizbullah dan Amal dapat dipandang tidak sah secara politik, memicu resistensi implementasi dan memperburuk ketegangan sektarian.
Situasi ini mengingatkan pada krisis politik 2011, ketika pengunduran diri beberapa menteri dari Hizbullah dan sekutunya menyebabkan pemerintah kehilangan lebih dari sepertiga anggota kabinet dan akhirnya runtuh. Perbedaannya, sekarang kuorum masih tercapai, jadi pemerintah tidak otomatis jatuh. Tapi dampak politiknya bisa sama parahnya, karena keputusan yang diambil akan menghadapi penolakan keras di lapangan, apalagi menyangkut senjata—isu yang menyentuh inti identitas kelompok-kelompok Lebanon.
Krisis ini juga memperlihatkan dimensi internasional yang tak bisa diabaikan. Hizbullah dan Amal menilai rencana pemerintah sebagai hasil tekanan dari AS dan Israel. Ada upaya diplomatik untuk mempercepat implementasi monopoli senjata negara, tapi kelompok resistensi menolak tunduk pada tekanan eksternal. Mereka menegaskan bahwa Lebanon, yang selama puluhan tahun mempertahankan integritasnya melalui senjata mereka, tidak bisa diserahkan begitu saja pada kepentingan asing. Dalam konteks ini, konflik politik internal Lebanon bukan sekadar pertarungan domestik, tetapi bagian dari permainan geopolitik yang lebih luas, di mana negara-negara luar mencoba memanfaatkan keretakan internal untuk mengamankan kepentingan mereka.
Lebanon, negara yang dikenal dengan keragaman sektarian yang ekstrem, kini menghadapi dilema klasik: antara kedaulatan dan tekanan internasional, antara kehormatan kelompok resistensi dan otoritas negara yang sah. Setiap keputusan terkait senjata bukan hanya soal militer, tapi juga soal simbol, soal harga diri, soal sejarah yang melekat di hati masyarakat. Ketika pemerintah mendorong implementasi monopoli senjata, ia harus memahami bahwa tindakan itu bukan sekadar administrasi, melainkan serangan langsung terhadap identitas dan keamanan nasional yang dirasakan oleh sebagian besar warga Lebanon.
Lebih jauh, ada unsur ironi yang menyedihkan. Tentara Lebanon, yang seharusnya menjadi simbol kekuatan nasional dan proteksi bagi seluruh warga, kini diposisikan sebagai alat untuk menghapus perlindungan yang selama ini disediakan oleh kelompok resistensi. Seakan-akan negara meminta pasukannya untuk menegakkan monopoli atas senjata, sambil mengabaikan fakta bahwa senjata itu adalah perisai melawan ancaman eksternal. Siapa yang akan melindungi Lebanon jika resistensi dipaksa menyerahkan senjatanya? Hizbullah menegaskan, menyerahkan senjata sama dengan menyerahkan kehormatan. Tanpa kehormatan, negara kehilangan identitasnya; tanpa identitas, pertahanan menjadi kosong.
Dampak politik dari langkah mundur ini bisa luas dan multi-layer. Pertama, legitimasi keputusan pemerintah akan dipertanyakan, sehingga implementasi akan menemui resistensi nyata. Kedua, ketegangan sektarian dapat meningkat, karena sebagian besar warga yang mendukung kelompok resistensi merasa keputusan pemerintah mengkhianati sejarah dan pengorbanan mereka. Ketiga, stabilitas Lebanon yang sudah rapuh bisa terancam, karena blok-blok politik utama tampak semakin terkotak-kotak, dan konsensus yang dibutuhkan untuk menjaga negara tetap utuh semakin sulit dicapai.
Lebih dari itu, ada pelajaran yang bisa kita tarik tentang ironi realitas Lebanon: di satu sisi, negara memiliki struktur hukum dan mekanisme formal untuk mengambil keputusan; di sisi lain, politik Lebanon dibentuk oleh konsensus sektarian, di mana absennya lima menteri dapat menyebabkan krisis legitimasi meski kuorum tercapai. Hukum dan politik berjalan paralel tapi tidak selalu bersinggungan. Di sinilah absurditas situasi: formalitas legal tetap ada, tapi realitas politik menuntut kompromi yang nyaris mustahil.
Kita semua tahu bahwa Lebanon pernah jatuh ke dalam lingkaran ketidakstabilan pada masa lalu. Namun, ketegangan saat ini terasa lebih tajam, karena menyangkut isu fundamental: kedaulatan, kehormatan, dan kemampuan bertahan negara. Hizbullah dan Amal bukan sekadar partai politik; mereka adalah penjaga sejarah dan simbol perlawanan terhadap agresi eksternal. Mengabaikan suara mereka berarti mengabaikan kenyataan yang selama ini menjaga Lebanon tetap berdiri di tengah tekanan regional.
Dalam konteks ini, keberanian politik Lebanon diuji lebih dari sebelumnya. Pemerintah harus bisa menyeimbangkan antara tekanan internasional, tuntutan hukum formal, dan realitas politik domestik yang kompleks. Tidak ada ruang untuk kompromi setengah hati. Tanpa dialog terbuka, tanpa pengakuan terhadap kontribusi kelompok resistensi, keputusan yang diambil akan menghadapi jalan buntu. Lebanon bisa tetap berjalan secara formal, tapi stabilitas dan keamanan akan rapuh, seperti bangunan megah di atas fondasi yang retak.
Akhirnya, pertanyaan yang mengganggu tetap sama: apakah Lebanon akan menemukan keseimbangan yang memungkinkan monopoli senjata negara dijalankan, tanpa menghancurkan fondasi politik dan sosialnya? Atau negara ini akan terus terperangkap dalam lingkaran ketidakstabilan, di mana keputusan sah secara hukum tapi gagal secara politik, memicu krisis sektarian dan pertarungan simbolik yang tak berkesudahan? Jawabannya bergantung pada kebijaksanaan para pemimpin dan kemampuan mereka untuk menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan sektarian, sebuah tugas yang terdengar sederhana di atas kertas, tapi hampir mustahil di lapangan.
Lebanon saat ini berdiri di persimpangan jalan: setiap langkah salah bisa memicu efek domino yang menghancurkan, setiap kompromi harus cermat agar kehormatan, kedaulatan, dan keamanan tidak dikorbankan. Sementara lima menteri mundur meninggalkan ruang rapat, mereka tidak hanya meninggalkan kursi mereka; mereka meninggalkan peringatan keras bahwa keputusan politik tanpa konsensus sejati akan berakhir sia-sia. Dan kita, sebagai pengamat, hanya bisa menunggu dengan campuran kekhawatiran dan kesadaran bahwa apa yang terjadi di Baabda bisa menjadi cermin dari krisis yang lebih luas: Lebanon, tanah yang rapuh namun bangga, berjuang menjaga identitas dan kehormatannya di tengah badai politik yang tak henti-henti.