Opini
Kudeta Suriah Selesai, Legitimasi Masih Dicari

Departemen Operasi Militer dari pemerintahan de facto di Suriah akhirnya mengumumkan bahwa Ahmad al-Sharaa, alias Abu Mohammad al-Julani, akan menjadi presiden selama fase transisi. Keputusan ini datang hampir dua bulan setelah ia mendeklarasikan diri sebagai pemimpin dan mulai menerima utusan dari berbagai negara. Kini, setelah semua langkah awal diambil, hanya satu hal yang kurang: legitimasi.
Sebagai langkah awal, konstitusi Suriah telah dicabut, Baath Party dibubarkan, dan semua faksi—termasuk Hayat Tahrir al-Sham (HTS) sendiri—resmi dihapus. Semua ini demi menciptakan negara yang lebih stabil, atau setidaknya itulah yang mereka klaim. Ironisnya, meskipun HTS secara resmi dibubarkan, pengaruhnya tetap hadir dalam pemerintahan. Seolah-olah ini hanya formalitas belaka.
Deklarasi ini pun terasa sebagai upacara simbolis yang terlambat. Sejak 8 Desember, al-Sharaa telah bertemu utusan negara-negara asing, bahkan membentuk kabinetnya sendiri. Maka, pengumuman ini tampak lebih sebagai seremonial dibandingkan langkah substantif. Mungkin setelah ini, kita hanya menunggu pemilu yang dijanjikan akan digelar dalam empat tahun ke depan, meskipun belum jelas bagaimana mekanismenya.
Namun, meski pengumuman sudah dibuat dan transisi sudah diklaim berjalan, satu masalah besar masih mengganjal: al-Sharaa tidak menguasai seluruh Suriah. SDF masih berdiri tegak di timur laut, mengendalikan wilayah kaya minyak. Artinya, ‘pemerintah baru’ ini tidak memiliki kontrol penuh atas negara, sesuatu yang agak merepotkan jika ingin disebut sebagai pemerintahan yang sah.
Selain itu, Turki telah lama mendukung HTS dan kini al-Sharaa, sehingga dukungan mereka terhadap pemerintahan transisi ini tampaknya sudah dipastikan. Sementara itu, negara-negara Barat, sebagian utusan mereka telah bertemu dengan al-Sharaa, jadi peluang dukungannya sangat besar. Jika dukungan ini benar-benar diberikan, maka transisi ini bisa lebih dari sekadar pergantian bendera, tetapi apakah itu cukup untuk mengukuhkan legitimasi?
Sementara itu, janji untuk membangun ‘negara baru’ terdengar indah, tapi kenyataan di lapangan berkata lain. Laporan menunjukkan bahwa pembunuhan di luar hukum dan penculikan terhadap kelompok minoritas seperti komunitas Alawi terus berlangsung. Jika pemimpin barunya saja tidak keberatan dengan ini dan menganggapnya ‘normal’, maka apa sebenarnya yang berubah dari rezim sebelumnya?
Di sisi lain, janji demokratisasi juga terdengar seperti omong kosong yang dirangkai dengan rapi. Pemilu? Tunggu empat tahun lagi. Konstitusi baru? Paling cepat tiga tahun ke depan. Itu pun kalau masih ada Suriah dalam bentuk yang kita kenal sekarang. Tanpa kejelasan mekanisme politik, semua ini lebih terlihat seperti kudeta yang sekadar mengganti wajah penguasa.
Ketika pemerintah mengumumkan ‘rekonstruksi tentara nasional’, ada satu pertanyaan menarik: siapa sebenarnya yang akan direkrut? HTS mungkin dibubarkan secara resmi, tetapi apakah anggotanya akan tiba-tiba berubah menjadi ‘tentara sah’? Atau apakah kita akan melihat transformasi dari kelompok bersenjata menjadi ‘institusi negara’ tanpa ada perubahan nyata di dalamnya?
Pada akhirnya, al-Sharaa dan kelompoknya bisa saja terus menyusun langkah politik mereka. Namun, tanpa kendali penuh atas Suriah, tanpa pengakuan global yang jelas, dan tanpa proses demokrasi yang riil, mereka hanya menggantikan satu bentuk otoritarianisme dengan yang lain. Kudeta sudah selesai, tetapi legitimasi? Masih harus dicari, atau mungkin hanya akan menjadi permainan kekuasaan yang sama dalam empat tahun ke depan.