Connect with us

Opini

Kudeta Pisang di Israel: Saat Anak Penguasa Serang Jenderal

Published

on

“Anda akan membuat kami terperangkap di Gaza.” Kalimat itu meluncur dari mulut Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, di hadapan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Kalimat tajam, langsung, dan berani—bukan dari seorang oposisi atau aktivis HAM, melainkan dari panglima tertinggi pasukan yang setiap hari menggempur Gaza atas perintah negara. Ia menyebut rencana pendudukan penuh Gaza sebagai “jebakan.” Sebuah pengakuan jujur yang, ironisnya, malah memancing amarah bukan dari rakyat, tetapi dari anak penguasa.

Seolah tak tahan dengan suara berbeda, Yair Netanyahu—anak laki-laki sang perdana menteri yang lebih sering berkicau di media sosial daripada mengurus kebijakan—menyatakan bahwa Eyal Zamir tengah mengatur “kudeta militer seperti di republik pisang Amerika Tengah tahun 70-an.” Pernyataan ini terdengar seperti bagian dari skenario film satir: seorang jenderal yang menyampaikan pendapat strategis dianggap pemberontak, hanya karena dia tidak setuju dengan ambisi sang raja tua untuk “menyelesaikan Gaza sampai tuntas.” Sungguh, di negeri yang katanya demokrasi paling semarak di Timur Tengah, ternyata suara militer yang berhati-hati lebih menakutkan ketimbang bom yang mereka jatuhkan saban hari.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Mari kita mulai dari absurditas yang nyata: seorang panglima militer dituduh mencoba menggulingkan pemerintahan hanya karena dia tidak setuju dengan rencana militer. Zamir tidak membawa pasukan ke parlemen, tidak mengarahkan tank ke kantor perdana menteri, tidak mengumumkan status darurat, tidak membacakan dekrit revolusioner dari balkon Gedung Knesset. Ia hanya berkata: “Tuan, ini bukan langkah bijak. Ini berbahaya.” Dan itu cukup untuk membuat putra Netanyahu, yang tidak punya jabatan resmi apapun, mencuit di media sosial seolah negeri mereka sedang diambang keruntuhan oleh kekuatan bayangan.

Ungkapan “kudeta militer ala republik pisang Amerika Tengah tahun 70-an” tak hanya berlebihan, tetapi juga menjengkelkan karena mengabaikan sejarah yang berdarah-darah. Di Guatemala, Honduras, Nikaragua, El Salvador—yang disebut-sebut sebagai republik pisang—kudeta militer biasanya berarti: penghilangan aktivis, penyiksaan, kamp konsentrasi, dan intervensi CIA. Tapi di Israel, cukup dengan beda pendapat di ruang rapat, dan—voilà!—Anda bisa jadi calon diktator. Siapa yang sebenarnya membajak narasi di sini?

Situasi ini seperti pertunjukan sirkus kekuasaan. Netanyahu tua berada di tengah ring, mencoba menenangkan penonton yang resah (mitra koalisi sayap kanan), sementara badut-badut kecil seperti Yair berkeliling membawa papan bertuliskan “Pengkhianat!” dan “Revolusi Militer!” Mereka ingin mengalihkan perhatian dari fakta sederhana: strategi mereka gagal. Sandera belum pulang. Gaza belum takluk. Dunia marah. Dan tentara mereka kelelahan.

Lebih dari 75% wilayah Gaza saat ini berada di bawah kendali militer Israel. Namun pendudukan penuh tetap dianggap perlu oleh Netanyahu dan para pendukung garis kerasnya, seolah yang belum dikuasai adalah “kunci kemenangan.” Tapi kemenangan atas siapa? Seorang panglima militer sudah memperingatkan bahwa jika mereka terus maju, yang akan mereka dapatkan bukan kemenangan, melainkan perang gerilya panjang, penyanderaan baru, dan luka nasional yang makin dalam. Zamir tahu bahwa menang di atas puing bukanlah kemenangan. Tapi apa arti kehati-hatian bagi orang yang terbiasa memerintah dengan ego?

Tanggapan Yair terhadap peringatan Zamir membuka dua hal. Pertama, ketidakmampuan elite zionis—terutama yang diwarisi bukan dipilih—untuk menerima dissent atau perbedaan pendapat dalam lingkaran mereka sendiri. Kedua, upaya sistematis untuk menciptakan narasi musuh internal demi mempertahankan legitimasi. Dalam sejarah politik otoriter, ini bukan hal baru. Ketika kepercayaan publik menurun, ketika strategi gagal, ketika perang tak kunjung menang—musuh harus diciptakan. Kalau tidak ada dari luar, maka diciptakan dari dalam. Militer, pengadilan, pers, bahkan saudara separtai—semua bisa jadi target.

Dalam konteks ini, tuduhan “kudeta” bukanlah ekspresi kebingungan anak muda. Ini adalah senjata politik. Yair bukan sembarang netizen. Ia adalah anak seorang perdana menteri yang telah membentuk Israel selama hampir dua dekade. Ketika dia bicara, itu bukan hanya suara personal, tapi gema dari lingkaran kekuasaan yang merasa makin terpojok. Dengan menyerang Zamir, Yair sedang menguji perlawanan militer. Seolah berkata: “Apakah kalian akan diam saja disebut pengkhianat?” Jika militer melawan, itu akan memperkuat narasi “kudeta.” Jika mereka diam, publik akan mengira bahwa tuduhan itu benar. Ini adalah perang psikologis yang licik.

Menariknya, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, justru membela Zamir. Ia menegaskan bahwa Zamir adalah pilihan terbaik, dengan pengalaman di Iran, Lebanon, Gaza, dan Tepi Barat. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kabinet sendiri, sudah terjadi fragmentasi arah dan kesetiaan. Jika di negeri ini berlaku prinsip tanggung jawab profesional, Yair seharusnya dilarang mencampuri urusan negara. Tapi tidak. Di Israel, anak pejabat bisa melabeli jenderal dengan sebutan “pengkhianat” dan tetap aman. Sementara warga Gaza yang salah berdiri di dekat gedung bisa jadi target rudal.

Netanyahu tahu bahwa perang ini sudah kebablasan. Tapi ia tidak bisa mundur. Terlalu banyak janji, terlalu banyak kebencian, dan terlalu banyak tekanan dari ekstrem-kanan. Maka ketika militer menyarankan rem, dia memilih menginjak gas. Dan ketika seseorang menyebut bahaya dari kecepatan itu, anaknya turun tangan dan menyebutnya pengkhianat. Lucu, jika tidak tragis.

Dalam sejarah Israel, militer kerap menjadi aktor dominan dalam menentukan arah kebijakan. Tapi kali ini, justru militerlah yang bersuara rasional. Ketika politisi kehilangan arah dan moralitas, militer muncul sebagai pihak yang bicara tentang nyawa, logistik, dan realitas medan. Apakah ini berarti militer jadi pembawa damai? Tentu tidak. Tapi ketika militer sendiri bilang “cukup,” maka barangkali yang sedang mabuk bukan para jenderal, melainkan para politisi.

Untuk publik Indonesia, yang barangkali jarang membaca Yair Netanyahu, bayangkan jika anak presiden kita menuduh Panglima TNI sedang menyusun kudeta hanya karena beda pandangan soal strategi militer. Bayangkan betapa gaduhnya negeri ini. Tapi di Israel, hal seperti ini bisa dilontarkan begitu saja, dan sebagian publik justru membenarkannya. Karena yang lebih penting bukanlah kebenaran, tapi siapa yang paling keras teriakannya.

Di dunia yang normal, kritik militer terhadap kebijakan politik bukanlah tanda kudeta, tapi bentuk keseimbangan kekuasaan. Tapi di dunia Netanyahu, perbedaan adalah pengkhianatan, dan anak yang bawel di Twitter bisa jadi penjaga tahta. Maka jangan heran jika perang ini terus membara, bukan karena strategi, tapi karena ego. Dan jika ada yang menyebut ini kudeta “pisang,” maka satu-satunya yang benar-benar mirip adalah: negara ini mulai terasa seperti sirkus tropis, dengan monyet-monyet kecil memegang megafon, dan penonton yang terus diminta bertepuk tangan, meski panggungnya sudah terbakar.

Jangan pernah remehkan satu tweet dari anak pejabat. Karena di negeri seperti ini, kadang suara paling konyol justru menentukan arah perang.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer