Connect with us

Opini

Krisis Suriah Memuncak: Ujian Terbesar Al-Sharaa

Published

on

Suriah, negeri yang porak-poranda akibat perang panjang, kini kembali dihantui bayang-bayang kelam berupa ketegangan sektarian yang merobek harapan akan perdamaian. Dalam laporan terkini Al Mayadeen, tergambar kenyataan memilukan: kelompok bersenjata garis keras menyerang komunitas Kristen, Druze, Alawit, dan Murshidiyya—dengan aksi penculikan, intimidasi, hingga kekerasan terbuka. Di Tartus, poster-poster di gereja mendesak umat Kristen memeluk Islam demi “keselamatan.” Di tanah yang dulu dihuni kebersamaan, kini sayatannya begitu dalam. Bila iman menjadi alasan saling mencabik, apa arti sebuah bangsa?

Situasi di berbagai wilayah kian mengkhawatirkan. Di pedesaan Daraa, jasad seorang mantan perwira keamanan ditemukan dalam kondisi mengenaskan—pertanda bahwa kematian masih mengintai siapa saja. Di Homs, video razia milisi menunjukkan horor nyata: tembakan membabi buta ke rumah warga, intimidasi terhadap perempuan, dan ujaran kebencian yang disebar terang-terangan. Sementara itu, penduduk Shattha di Hama melakukan unjuk rasa, menuntut milisi kembali ke barak. Namun, suara mereka seperti diterbangkan angin, tak kunjung mendapat jawaban. Komunitas Murshidiyya, yang merasa terancam menjadi sasaran berikutnya, menggelar aksi diam di al-Ghassaniya dan al-Aqrabiya—suatu bentuk perlawanan sunyi dari mereka yang masih setia pada pemerintah, meski dihantui ketakutan akan genosida. Lalu, apa gunanya semua janji damai bila rasa aman tak pernah benar-benar hadir?

Di tengah kekacauan itu, Ahmad al-Sharaa—mantan komandan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang kini memimpin pemerintahan transisi pasca-tumbangnya Bashar al-Assad pada Desember 2024—berjalan di atas tali yang amat tipis. Ia tengah sibuk melobi berbagai kekuatan dunia, dari bertemu Donald Trump di Arab Saudi, Emmanuel Macron di Prancis, hingga menjalin komunikasi dengan Rusia. Hasilnya, sejumlah sanksi Amerika Serikat dan Inggris mulai dicabut, dan janji investasi dari negara-negara Teluk pun mengalir. Namun, di dalam negeri, fondasi kekuasaan Al-Sharaa tampak rapuh. Kelompok bersenjata yang disebutnya sebagai “kelompok nakal” justru semakin liar. Janji inklusivitas yang ia lontarkan terdengar kosong, ketika kekerasan sektarian kian meluas dan mengoyak Suriah dari dalam.

Konstitusi sementara yang diadopsi pada Maret 2025 sebenarnya menjanjikan perlindungan bagi seluruh kelompok etno-religius. Namun realitas di lapangan jauh dari cita-cita tersebut. Lebih dari seribu warga Alawit terbunuh dalam insiden berdarah di Latakia dan Tartus. Sementara itu, di Suweida, bentrokan yang terjadi sepanjang Mei ini menewaskan puluhan warga Druze. Al-Sharaa mungkin tampil meyakinkan di panggung internasional, tetapi di rumahnya sendiri, ia gagal menjinakkan bara dalam sekam. Bayangkan seorang ibu di Homs, memeluk anaknya setiap malam dalam ketakutan, khawatir razia berikutnya menghampiri rumahnya. Dalam kondisi seperti ini, seberapa bernilai diplomasi luar negeri bila rakyat sendiri hidup dalam bayang-bayang horor setiap hari?

Saya teringat cerita seorang teman dari Suriah, tentang pasar Damaskus tempo dulu, tempat warga Sunni, Alawit, dan Kristen bercengkerama dan berbagi tawa. Pasar itu mungkin masih berdiri secara fisik, tetapi kehangatan sosialnya telah lama sirna, digantikan rasa curiga. Di al-Hari, dekat perbatasan Irak, operasi keamanan berhasil menyita roket dan narkotika, namun itu hanya setetes dalam lautan kekacauan. Jalur penyelundupan masih terus beroperasi, memanfaatkan celah-celah gurun yang tak terjaga. Al-Sharaa harus menyadari bahwa tanpa stabilitas domestik, segala keberhasilan di forum internasional hanya akan jadi istana pasir yang mudah runtuh diterpa angin.

Ketegangan kian memuncak. Marco Rubio, dalam laporan The Jerusalem Post, memperingatkan bahwa pemerintahan transisi bisa runtuh hanya dalam hitungan minggu. Hal ini berisiko menyeret Suriah kembali ke jurang perang saudara yang lebih dahsyat. Ketegangan dengan kelompok Kurdi pro-Amerika, serangan milisi pro-Turki, hingga serangan udara zionis Israel semakin memperburuk situasi. Bahkan Rusia pun mengeluarkan peringatan keras terkait potensi terjadinya pembersihan etnis di beberapa wilayah. Ini bukan sekadar konflik lokal—ini adalah bara yang sewaktu-waktu bisa membakar seluruh kawasan Timur Tengah. Namun yang paling memilukan adalah jeritan rakyat biasa—dari komunitas Murshidiyya, penduduk Shattha, hingga anak-anak di Homs—yang seakan tak terdengar oleh mereka yang berkuasa.

Di tengah pusaran ini, Al-Sharaa tampak seperti penari yang mencoba menjaga keseimbangan di atas lapisan es yang terus menipis. Meski diplomasi internasional membuahkan dana dan pengakuan, tanpa stabilitas di dalam negeri, semua itu sia-sia. Ia harus segera melucuti kekuatan milisi garis keras, mempercepat integrasi pasukan SDF (Syrian Democratic Forces) ke dalam struktur militer nasional, dan membangun sistem peradilan transisi yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat. Komunitas Murshidiyya yang masih mendukungnya, meski di bawah ancaman kekerasan, menjadi harapan terakhir akan rekonsiliasi. Namun harapan itu rapuh—seperti kaca yang mudah pecah. Bila Al-Sharaa gagal, Suriah bisa menyusul nasib Libya—terpecah, hancur, dan tak berdaya.

Bayangkan seorang pedagang di Tartus, menatap poster di gerejanya, bertanya-tanya apakah ia masih punya tempat di tanah kelahirannya. Atau anak kecil di Homs yang mimpi buruknya bukan lagi monster, melainkan suara tembakan yang memekakkan telinga. Ini bukan sekadar soal politik atau strategi kekuasaan. Ini tentang kemanusiaan. Al-Sharaa harus berani mengambil langkah tegas, mendengarkan jeritan rakyatnya, dan bertindak dengan adil untuk semua—tanpa memandang agama, etnis, atau latar belakang.

Kita, di Indonesia, tak asing dengan luka perpecahan. Konflik di Ambon, Poso, dan ketegangan di Papua menjadi pengingat bahwa perbedaan bisa berubah menjadi bencana jika tidak dikelola dengan bijak. Apa yang bisa kita pelajari dari Suriah? Bahwa perdamaian bukan sekadar hasil perjanjian atau gencatan senjata. Ia menuntut keadilan, kesetaraan, dan kerja keras menjaga kepercayaan. Kita pernah melihat pasar-pasar kita dipenuhi tawa anak-anak dari berbagai suku dan agama. Tapi sudahkah kita menjaganya agar tawa itu tak berubah menjadi isak?

Suriah kini berada di persimpangan. Dan Al-Sharaa hanya memiliki sedikit waktu untuk membuktikan dirinya sebagai pemimpin transisi yang visioner. Ia harus segera menindak para milisi ekstremis, melindungi kelompok minoritas yang rentan, dan memperkuat institusi negara yang menjamin keadilan. Jika tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai tokoh yang gagal menyelamatkan bangsanya. Kita, sebagai sesama anak manusia, punya tanggung jawab untuk belajar dari kisah ini. Setiap doa seorang ibu di Homs, setiap harapan pedagang di Tartus, adalah cermin bagi kita semua—bahwa damai hanya bisa diraih bila kita mau merawatnya bersama.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *