Connect with us

Opini

Krisis Peluru NATO: Saat Rusia Menang dengan Efisiensi

Published

on

Di sebuah ruangan yang dipenuhi aroma kopi dan ketegangan, suara Mark Rutte, Sekretaris Jenderal NATO, memecah keheningan dalam sebuah wawancara eksklusif dengan CBS. Dengan nada serius, ia menyampaikan pengakuan yang mencengangkan: aliansi militer terkuat di dunia, NATO, hanya mampu memproduksi amunisi dalam setahun sebanyak yang Rusia hasilkan dalam waktu tiga bulan. Dunia terdiam, mendengar pengakuan yang mengguncang. Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa—tulang punggung aliansi ini—tengah terjebak dalam keterbatasan kemampuan industri pertahanan mereka. Rutte mendesak agar anggaran militer ditingkatkan dan rantai birokrasi dipangkas. Namun pertanyaan mendasarnya tetap: bagaimana bisa NATO tertinggal sejauh ini?

Kesenjangan ini bukan sekadar perbedaan angka, melainkan cerminan dari tantangan eksistensial yang sedang dihadapi NATO. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pengeluaran militer global pada tahun 2023 mencapai $2,24 triliun, dan NATO menyumbang lebih dari setengahnya. Amerika Serikat sendiri menghabiskan $916 miliar, disusul Jerman dengan $66 miliar, dan Prancis dengan $53 miliar. Sebaliknya, Rusia yang “hanya” mengalokasikan sekitar $86 miliar justru mampu melampaui produksi amunisi NATO. Data dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa sejak 2022, Rusia memproduksi sekitar 3 juta peluru artileri per tahun. Sementara itu, NATO hanya sekitar 1 juta peluru. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Rusia telah bertransformasi menjadi negara dengan ekonomi perang. Lebih dari 60% anggaran federalnya digunakan untuk sektor militer dan keamanan, didukung oleh kapasitas produksi massal dari perusahaan-perusahaan seperti Rostec. Iran turut menyuplai drone Shahed-136, sedangkan Korea Utara disebut telah mengirimkan sekitar 10.000 kontainer amunisi. Sementara itu, industri pertahanan NATO tersebar di banyak negara dan minim integrasi. Amerika Serikat menghadapi penumpukan pesanan dari berbagai belahan dunia. Di Eropa, sistem pertahanan terhambat oleh regulasi rumit dan birokrasi yang lamban.

Rutte menegaskan bahwa birokrasi menjadi musuh utama efektivitas. Di Eropa, proses pengadaan senjata bisa memakan waktu bertahun-tahun karena harus melewati prosedur antarnegara yang kompleks. Studi European Defence Agency (EDA) menyebut bahwa waktu rata-rata produksi sistem senjata di Uni Eropa adalah 5–7 tahun—jauh lebih lama dibandingkan 2–3 tahun di Rusia. Di Amerika Serikat, laporan Government Accountability Office (GAO) mengungkap bahwa 40% proyek persenjataan mengalami keterlambatan akibat masalah dalam rantai pasok. Padahal Uni Eropa telah menggelontorkan lebih dari €43 miliar untuk bantuan militer ke Ukraina sejak 2022, termasuk €5 miliar dari European Peace Facility. Namun hasil konkret dari investasi itu masih jauh dari harapan.

Ukraina memang menerima kiriman HIMARS dan tank Leopard, tetapi kekurangan amunisi tetap menjadi masalah akut. The Guardian melaporkan bahwa pasukan Ukraina hanya memiliki sekitar 2.000 peluru artileri per hari, sementara Rusia dapat menembakkan hingga 10.000 peluru dalam periode yang sama. Dana telah digelontorkan, namun logistik masih tersendat. Peluru tak kunjung datang ke medan perang.

Di sisi lain, Rusia memanfaatkan ketidakefektifan NATO ini untuk memperkuat narasi globalnya. Dalam sidang PBB, duta besar Rusia, Vassily Nebenzia, menyebut dukungan militer NATO terhadap Ukraina sebagai “penghambat utama perdamaian.” Kremlin pun menggambarkan NATO sebagai “provokator global” yang memperpanjang penderitaan. Menurut laporan International Crisis Group, perang di Ukraina telah merenggut lebih dari 500.000 nyawa hingga awal 2025—dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Apakah Rusia sedang memainkan taktik propaganda, atau memang ada benarnya bahwa NATO justru memperpanjang konflik?

Rutte menyerukan peningkatan belanja militer dan akan segera berdiskusi dengan Presiden Trump, yang kembali berkuasa sejak Januari 2025. Trump telah lama mengkritik negara-negara anggota NATO yang gagal memenuhi target pengeluaran 2% dari PDB—dan pada tahun 2024 hanya 23 dari 32 anggota yang mencapainya. Jika Trump menyambut seruan Rutte, lonjakan anggaran pertahanan bisa saja terjadi. Namun, lebih banyak uang belum tentu menjadi solusi. Studi dari RAND Corporation menekankan bahwa tanpa reformasi struktural—seperti harmonisasi regulasi dan sentralisasi produksi—tambahan dana hanya akan menenggelamkan NATO dalam inefisiensi. Rusia membuktikan bahwa fokus dan konsistensi bisa lebih menentukan daripada sekadar angka.

Masalah ini bukan hanya soal dukungan untuk Ukraina, tetapi juga tentang kredibilitas jangka panjang NATO. Jika NATO tidak mampu menandingi produksi militer Rusia, bagaimana aliansi ini akan bersiap menghadapi potensi ancaman yang lebih besar? Seperti dari Tiongkok, yang menghabiskan sekitar $296 miliar untuk militernya pada tahun 2023. Negara-negara non-NATO bisa saja mulai meragukan keandalan aliansi ini. Media pemerintah China, Global Times, bahkan menyebut NATO sebagai “macan kertas” pasca pernyataan Rutte. Sementara di medan tempur, kenyataan lebih menyakitkan: tentara Ukraina terpaksa mundur karena kehabisan peluru. Seorang komandan Ukraina dikutip BBC berkata, “Kami bertempur dengan tangan kosong.”

Apa langkah berikutnya bagi NATO? Seruan Rutte adalah panggilan darurat sekaligus pengakuan atas kegagalan masa lalu. Meningkatkan anggaran hanyalah permulaan. NATO harus mereformasi industri pertahanannya—mungkin dengan membentuk konsorsium produksi bersama, seperti yang sempat diusulkan Prancis pada 2022 tetapi gagal karena perbedaan kepentingan nasional. Menurut data EDA, hanya 18% dari pengadaan senjata Eropa yang dilakukan secara kolaboratif. Ini menunjukkan lemahnya komitmen untuk membangun sistem produksi terpadu.

Akhirnya, ini bukan sekadar soal peluru dan persenjataan, tetapi soal eksistensi dan relevansi strategis NATO dalam menghadapi dinamika geopolitik dunia. Rusia telah menunjukkan bahwa dalam tiga bulan, mereka dapat menghasilkan dampak yang menyamai satu tahun usaha kolektif NATO. Jika aliansi ini tidak segera bertindak, dunia mungkin akan menyaksikan pergeseran kekuatan global yang tak terbayangkan sebelumnya. Rutte sudah membunyikan lonceng peringatan. Tinggal apakah para pemimpin NATO bersedia mendengarkan dan bertindak, atau hanya menambah deretan angka nol dalam anggaran—tanpa perubahan yang nyata di lapangan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *