Connect with us

Opini

Kosmetik Politik Jerman: Ketika Bedak Pejabat Lebih Penting dari Perut Rakyat

Published

on

Ketika wajah para pejabat tinggi Jerman bersinar lebih terang dari masa depan bangsanya sendiri, dunia akhirnya memahami satu hal yang dulu hanya jadi candaan di warung kopi: dalam politik modern, yang dirawat bukanlah rakyat, tapi pencitraan. Dalam laporan terbaru yang dibocorkan Bild, terungkap bahwa kabinet mantan Kanselir Olaf Scholz menghabiskan dana publik hampir €590.000 (sekitar Rp10,5 miliar) hanya untuk makeup artist dan stylist antara tahun 2022 hingga Maret 2025. Di tengah krisis ekonomi yang melanda Jerman selama dua tahun berturut-turut, angka ini bukan hanya berlebihan — ia adalah tamparan lembut beraroma bedak mahal ke wajah rakyat miskin.

Paling boros dalam daftar ini adalah mantan Menteri Luar Negeri, Annalena Baerbock, yang menghabiskan €21.000 (sekitar Rp375 juta) hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025. Kalau dibagi harian, itu berarti sekitar €248 per hari (sekitar Rp4,4 juta per hari) — nyaris cukup untuk membiayai hidup satu keluarga miskin di Jerman selama sebulan penuh. Tapi bagi Bu Menteri, semua itu demi tampil “rapi dan representatif” di forum internasional. Untuk siapa? Untuk rakyat? Atau untuk kamera?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tak cukup sampai di situ, Baerbock menggaji makeup artist langganannya, Claude Frommen, sebesar €7.500 per bulan (lebih dari Rp134 juta). Claude bukan sekadar juru poles wajah; dia juga jadi rekan perjalanan tetap sang menteri dalam kunjungan luar negeri — seolah wajah yang tidak “on fleek” bisa mengancam diplomasi global. Dunia bisa terbakar, Gaza bisa luluh lantak, tapi yang penting, blush on tetap presisi.

Di posisi kedua dalam daftar “pejabat paling kinclong” adalah mantan Kanselir Scholz sendiri, dengan pengeluaran €13.000 (sekitar Rp232 juta). Sementara itu, mantan Wakil Kanselir Robert Habeck terlihat paling hemat dengan hanya €598 (sekitar Rp10,6 juta) dalam tiga bulan — angka yang bahkan masih lebih tinggi dari gaji minimum bulanan di beberapa negara berkembang. Tapi tak usah khawatir, jumlah itu tak mencakup biaya pakaian, penata rambut, atau fotografer pribadi. Ya, karena wajah sempurna tak berdiri sendiri; ia butuh tim produksi seperti reality show kelas dunia.

Dan semua ini terjadi bukan dalam masa kejayaan ekonomi, tapi justru ketika PDB Jerman menyusut 0,3% di 2023 dan kembali turun 0,2% di 2024. Sementara harga energi melonjak, bunga kredit naik, dan rakyat kesulitan mencari pekerjaan karena kekurangan tenaga kerja terampil, para pejabat malah mempekerjakan stylist sebagai staf bayangan. Negeri industri terkemuka dunia ini kini terlihat lebih seperti studio pemotretan Vogue edisi politisi global.

Istilah “Kosmetik Politik” mungkin terdengar ringan, tapi dampaknya dalam sistem demokrasi sangat dalam. Ia mengajarkan bahwa dalam politik hari ini, kebijakan bisa dikaburkan, asal kamera disorot dari sudut yang tepat. Bahwa lebih penting tampil percaya diri di Davos daripada membuat rakyat percaya pada masa depan. Kosmetik bukan hanya merias wajah, tapi menutupi luka—luka kebijakan, luka kegagalan, luka kepercayaan publik.

Bayangkan jika uang sebesar itu — Rp10,5 miliar — digunakan untuk subsidi bahan bakar, makanan sekolah, atau pelatihan kerja bagi pemuda pengangguran. Atau sekadar memperbaiki panti sosial yang penuh tunawisma, atau menyubsidi pemanas ruangan untuk warga lanjut usia selama musim dingin yang mematikan. Tapi tidak. Wajah pejabat lebih mendesak untuk dirawat daripada nasib mereka yang bertahan hidup dengan kupon makanan. Dalam logika Kosmetik Politik, perut bisa menunggu, tapi wajah tidak boleh berminyak saat konferensi pers.

Yang lebih ironis, para pejabat ini sering bicara soal “kebersamaan”, “penghematan”, dan “solidaritas nasional.” Mereka menyuruh rakyat hidup hemat, tapi menyewa makeup artist untuk mengecat alis. Mereka berbicara tentang tanggung jawab fiskal, sambil merogoh kocek negara untuk concealer Chanel. Mereka bicara tentang menyelamatkan planet dari pemanasan global, padahal hairspray mereka saja cukup untuk merusak satu lapisan ozon lokal.

Dan kita tahu ini bukan hanya tentang Jerman. Ini adalah simptom global, dan jangan-jangan kita juga sedang mengidapnya. Elite politik di banyak negara, termasuk Indonesia, tampak semakin fasih bersolek daripada bekerja. Dari baliho hingga feed Instagram, wajah mereka dipoles, dipantaskan, dihaluskan—sementara rakyat hanya diberi janji dan nasi bungkus. Citra jadi komoditas. Dan dalam politik yang menjual citra, makeup jauh lebih laku daripada gagasan.

Kosmetik Politik adalah tentang menciptakan ilusi: bahwa pemimpin selalu siap, bersih, elegan—padahal kebijakannya kusut dan penuh noda. Mereka tahu bahwa publik modern lebih cepat menilai dari tampilan ketimbang isi. Maka lahirlah politisi berwajah kinclong, tapi mulutnya penuh pemanis buatan. Bukan lagi soal memperbaiki realitas, tapi mengatur pencahayaan realitas agar tampak menawan.

Sungguh ironis, saat negara berjuang keluar dari krisis, para pemimpinnya justru sibuk bersolek. Ketika anak-anak menahan lapar, ketika orang tua menggigil di musim dingin karena listrik mahal, ada pejabat yang wajahnya dipoles empat juta sehari agar terlihat peduli. Inilah titik paling absurd dari demokrasi era digital: wajah pemimpin harus sempurna untuk menutupi cacat sistem.

Di masa lalu, pemimpin tampil sederhana untuk menunjukkan bahwa mereka bagian dari rakyat. Kini, mereka tampil mewah agar tampak lebih tinggi dari rakyat. Dulu, pemimpin naik sepeda ke kantor sebagai simbol kedekatan. Sekarang, bahkan wajah mereka pun tak menyentuh udara tanpa disemprot toner seharga gaji buruh. Dan semua ini dibayar rakyat, dari pajak yang dipungut dengan alasan membangun negara.

Ada satu kalimat yang pantas untuk menutup ironi ini: “Negara yang wajahnya bersih bukan karena bersih, tapi karena dibersihkan pakai dana rakyat.” Di sinilah letak kemewahan modern yang menyakitkan—bukan pada istana, tapi pada vanity table yang dibawa keliling dunia dalam koper diplomasi.

Maka, jangan heran jika ke depan, kursi kabinet akan ditentukan bukan oleh kemampuan berpikir strategis, tapi oleh ketebalan bedak dan ketahanan lipstik saat debat berlangsung. Dalam Kosmetik Politik, yang luntur bukan hanya maskara, tapi moral. Dan yang tertinggal bukan hanya highlighter, tapi luka rakyat yang dibiarkan menganga, tanpa make up, tanpa ilusi, tanpa panggung.

Lalu kita pun bertanya-tanya—mungkin dengan senyum getir yang sulit ditepis: berapa biaya bersolek para pejabat kita di tanah air? Berapa anggaran yang diam-diam dialihkan untuk penampilan saat rakyat harus mengencangkan ikat pinggang? Adakah dana-dana “tidak langsung” yang ternyata justru mengalir ke salon politik, wardrobe pribadi, hingga sesi pemotretan profesional demi memperhalus wajah yang gagal menepati janji?

Kita tidak tahu. Atau lebih tepatnya: kita tidak diberi tahu.

Tapi jika Jerman yang terkenal transparan bisa kecolongan hampir Rp10 miliar hanya untuk bedak dan hairspray, bagaimana dengan kita—yang kadang mencampur antara citra dan kekuasaan seperti mencampur foundation dengan pelembap murahan?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab di ruang rapat, tidak dibahas dalam pidato kenegaraan. Tapi ia terus berdengung dalam kepala rakyat yang menyaksikan para pejabat tampil kinclong di layar kaca, sambil membuka lemari yang kosong dan dompet yang menipis. Mungkin sudah waktunya kita bukan hanya bertanya siapa yang memimpin, tapi juga: siapa yang merias mereka, dan dibayar oleh siapa?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer