Connect with us

Opini

Korban Bertambah, Tujuan Tak Kunjung Tercapai: Israel dan Keabadian Konflik

Published

on

Laporan dari situs Friends of Israel Disabled Veterans (FIDV) baru-baru ini mengungkapkan fakta yang memilukan: lebih dari 6.000 tentara Israel telah ditambahkan ke daftar veteran cacat sejak dimulainya perang dengan Gaza dan Lebanon. Angka ini belum termasuk lebih dari 10.000 tentara lainnya yang diperkirakan menderita gangguan psikologis seperti PTSD. Dengan meningkatnya jumlah korban, tujuan Israel semakin kabur, entah untuk apa perang ini dilanjutkan.

Israel, dalam upaya mempertahankan posisi strategis dan membendung ancaman dari kelompok-kelompok yang dianggap musuh, seolah kehilangan arah. Sementara para tentara yang terluka fisik dan psikologis terus beranjak ke pusat rehabilitasi, tujuan untuk “menghancurkan terorisme” atau “menjamin keamanan” tampaknya tidak pernah tercapai. Angka-angka korban yang terus melonjak adalah bukti nyata dari kegagalan besar ini.

Pemerintah Israel masih mengerahkan lebih banyak pasukan ke medan perang, meskipun setiap langkah mereka justru semakin memperburuk keadaan. Korban terus berjatuhan, baik di pihak tentara maupun warga sipil, tetapi tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan yang diterapkan. Tindakan militer yang terus-menerus hanya mengarah pada pemborosan sumber daya dan nyawa, sementara tujuan jangka panjangnya semakin jauh dari jangkauan.

Bahkan dengan lebih dari 12.000 tentara yang membutuhkan rehabilitasi sejak Oktober 2023, termasuk 5.200 yang menderita gangguan mental, pemerintah Israel tidak tampak memiliki rencana konkret untuk mengakhiri konflik ini. Sumber daya yang terpaksa dialokasikan untuk merawat tentara yang terluka malah menambah beban pada sistem yang sudah rapuh. Sebuah ironi, mengingat tujuan perang yang tidak pernah terwujud dengan jelas.

Kebijakan agresif ini seakan menunjukkan bahwa kemenangan militer bukanlah tujuannya. Sebaliknya, Israel tampaknya terjebak dalam sebuah lingkaran setan—semakin banyak serangan, semakin banyak korban, tetapi tidak ada penyelesaian yang jelas. Keteguhan pemerintah Israel untuk terus berperang, meskipun dengan risiko yang terus meningkat, hanya menunjukkan bahwa tujuan sebenarnya bukanlah kemenangan, melainkan suatu permainan tanpa akhir yang tiada habisnya.

Sementara itu, di pusat rehabilitasi Beit Halochem yang menerima 4.500 tentara baru, tekanan pada sistem kesehatan dan rehabilitasi semakin berat. Program pemulihan yang dimaksudkan untuk membantu para veteran ini seolah menjadi simbol dari kegagalan besar dalam menyelesaikan perang. Pasukan yang seharusnya kembali bertugas justru terjebak dalam siklus trauma dan penyembuhan yang tak berujung, yang ironisnya berlanjut di tengah kebijakan militer yang tak kunjung berubah.

Kita melihat sebuah perbedaan mencolok antara tujuan yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Israel dan kenyataan di lapangan. Jika tujuan utama adalah memastikan keamanan negara, mengapa nyawa pasukan yang terus terkorbankan tidak cukup untuk menyadarkan bahwa solusi militer tidak efektif? Bahkan dengan peningkatan jumlah tentara yang terluka, keputusan untuk melanjutkan kebijakan agresif seolah mengabaikan dampak jangka panjang yang harus ditanggung oleh tentara, keluarga mereka, dan seluruh bangsa.

Mereka yang terluka dalam pertempuran ini, baik secara fisik maupun mental, menjadi bukti nyata dari kegagalan kebijakan. Namun, di balik korban-korban ini, tidak ada sinyal bahwa pemerintah Israel bersedia untuk mengubah arah kebijakan. Bukannya mengurangi ketegangan, tindakan militer yang terus menerus justru memperpanjang krisis dan mempersulit pencapaian perdamaian yang sejati.

Siklus kekerasan yang tak berujung ini hanya memperburuk keadaan. Meskipun jumlah korban terus bertambah, tidak ada tanda-tanda bahwa tujuan utama—mengakhiri ancaman terorisme dan mencapai kedamaian—akan tercapai. Sebaliknya, Israel seolah terjebak dalam perang yang tiada ujung, dengan harga yang harus dibayar semakin mahal setiap harinya. Jika Israel benar-benar ingin mencapai kedamaian, mungkin saatnya untuk menyadari bahwa kemenangan tidak bisa diraih hanya melalui kekuatan militer yang berlarut-larut.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *