Connect with us

Opini

Koperasi Merah Putih: Proyek Politik Berbalut Janji Manis?

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk desa-desa yang berjuang gigih dengan gotong royong dan keringat, tiba-tiba hadir sebuah gagasan megah nan spektakuler: Koperasi Merah Putih. Diluncurkan bak peluncuran roket antariksa lewat Inpres Nomor 9 Tahun 2025, seolah-olah ini solusi instan yang akan menyembuhkan seluruh luka ekonomi pedesaan. Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan dengan penuh semangat ala pahlawan sinetron mengumumkan bahwa 5.200 koperasi sudah berdiri, menargetkan 80.000. Angka-angka fantastis itu laksana sulapan yang ingin menutup lubang yang sebenarnya berongga besar. Tapi, di balik tepuk tangan dan sorak-sorai, ada kegelisahan yang mengintip malu-malu: apakah ini benar koperasi rakyat, atau cuma sandiwara megah berlatar politik dan birokrasi yang sedang korek-korek dana?

Realitasnya absurd dan mirip skenario drama satire yang ditulis oleh penulis pemula: koperasi yang seharusnya lahir dari denyut nadi masyarakat malah dicetak massal di ruang ber-AC Jakarta, lengkap dengan skema, anggaran, dan tentu saja—titipan partai.

Bayangkan saudara-saudara, sebuah koperasi yang katanya akan menghapus rentenir, mempermudah akses perbankan, dan mengangkat desa menjadi mandiri. Zulkifli Hasan bilang, koperasi ini bakal jadi agen BRI dan BNI, menyalurkan dana dari pusat ke pelosok. Tapi, bukankah ini terdengar seperti janji manis di iklan kampanye politik yang sudah terlalu sering kita dengar sampai bikin mual? Laporan Tempo.co mencium aroma tak sedap: pendekatan top-down, semua—dari jenis usaha sampai pengurus—ditentukan pemerintah. Musyawarah desa? Ada tenggat 12 Juli 2025, kurang dari 80 hari sejak peluncuran platform digital. Apa iya masyarakat punya waktu untuk benar-benar bermusyawarah? Ini lebih mirip lomba lari estafet yang dipaksakan, di mana kepala desa jadi pelari yang dipaksa ngegas tanpa rem.

Dan soal uangnya—ini bagian yang bikin kita harus menahan napas sambil mikir keras. Anggaran Koperasi Merah Putih diperkirakan mencapai 400 triliun rupiah, berdasarkan estimasi 3-5 miliar per koperasi untuk 80.000 unit. Wakil Menteri Desa Ahmad Rizal Patria bilang angka bisa lebih rendah, 2-3 miliar, tapi tetap saja bukan recehan. Sumbernya? APBN, APBD, dana desa, dan pinjaman dari Himbara—bank-bank seperti BRI dan BNI yang sekarang tampak seperti ATM pribadi proyek pemerintah. Tempo juga menyoroti keresahan perbankan: Non-Performing Loan (NPL) koperasi sudah di atas 8%, jauh di atas batas aman 5% menurut OJK. Bayangkan, koperasi baru tanpa rekam jejak keuangan akan diberi pinjaman miliaran dengan cicilan katanya pakai dana desa. Dana desa, yang seharusnya untuk memperbaiki jalan dan jembatan, sekarang jadi jaminan utang. Ironis, bukan? Katanya mau memandirikan desa, tapi desa malah dibebani risiko finansial yang bisa bikin kepala pusing tujuh keliling.

Cerita dari lapangan makin menambah getir. Di Sumatera Barat, sebuah desa bangga memasang plang Koperasi Merah Putih, gedungnya masih setengah jadi, tapi pengurusnya—kata Tempo—diduga titipan partai. Di Jawa Barat, kepala desa bersumpah rekrutmen pengurus akan transparan, tapi daftar pengurus belum keluar dan desas-desus “partai biru” atau “geng 58%” makin menggema. Ini bukan koperasi rakyat, ini koperasi partai. Bung Hatta pasti geleng-geleng kepala. Koperasi yang ia impikan adalah gerakan bottom-up, lahir dari inisiatif petani, nelayan, atau pedagang kecil, bukan dari instruksi menteri atau ambisi elektoral. Hatta bilang koperasi adalah demokrasi ekonomi, tempat anggota punya hak suara sama, bukan arena bagi elit politik untuk bagi-bagi kursi seperti sedang main monopoli.

Ada keganjilan lain yang bikin kita senyum sinis: mengapa Koperasi Merah Putih dikoordinasikan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, bukan Kementerian Koperasi atau Desa? Zulkifli Hasan dan Menteri Desa Yandri Susanto, keduanya dari “partai biru,” seolah punya chemistry yang terlalu apik untuk dianggap kebetulan. Tempo bilang, ini sengaja dirancang agar koordinasi “lancar”—baca: agar partai tertentu pegang kendali penuh. Ini bukan koperasi, ini proyek politik berkedok ekonomi. Bung Hatta pernah mengkritik koperasi yang jadi alat kapitalis dan politik, dan Koperasi Merah Putih, dengan semua titipan dan aroma bancakan, terasa seperti KUD era Orde Baru yang dibalut teknologi digital. Dulu KUD yang seharusnya memajukan petani, malah jadi ladang korupsi dan basis dukungan Golkar. Sejarah, rupanya, suka mengulang diri dengan kostum baru yang lebih keren tapi konten lama.

Tapi, mari kita adil. Ada sisi positif di atas kertas yang layak diacungi jempol. Koperasi Merah Putih katanya mau atasi tengkulak, distribusikan beras dan obat murah, hingga logistik bersama BUMN seperti Bulog dan Kimia Farma. Ini sejalan dengan semangat Hatta soal koperasi konsumsi dan produksi yang memenuhi kebutuhan dasar. Tapi masalahnya, jenis usaha ini ditentukan dari atas, seolah semua desa punya kebutuhan sama. Desa nelayan di Aceh atau petani kopi di Lampung, apa iya cocok jadi agen Bulog? Koperasi sejati, kata Hatta, harus lahir dari potensi lokal, bukan dari template Jakarta. Dan dengan tenggat waktu ketat, euforia pendaftaran di platform digital lebih terasa seperti lomba administrasi cepat-cepat ketimbang gerakan rakyat yang mengakar.

Yang paling menggelikan adalah soal pendanaan. Biaya notaris katanya diambil dari APBD, dari pos bantuan tak terduga—yang seharusnya buat bencana, bukan buat akte koperasi. Kementerian Koperasi minta anggaran tambahan untuk melatih 200.000 pendamping, tapi Kementerian Keuangan bilang masih “nunggu ACC.” Sementara itu, Sri Mulyani disuruh pangkas anggaran, dan DPR belum melihat laporan efisiensi. Ini seperti drama komedi yang tak berujung: semua orang sibuk, tapi duitnya entah dari mana. Dan paling lucu, ada wacana tarik dana CSR perusahaan. Jadi, koperasi rakyat kok ujung-ujungnya minta sumbangan korporasi? Bung Hatta pasti bilang, ini bukan koperasi, ini proyek gotong-royong elit dalam balutan jargon kesejahteraan.

Jadi, apa sebenarnya Koperasi Merah Putih ini? Bukan koperasi rakyat seperti mimpi Bung Hatta, tapi KUD modern dengan sentuhan teknologi dan bumbu ambisi politik. Ini proyek ekonomi terpimpin yang memakai label koperasi untuk jualan narasi kesejahteraan. Anggaran 400 triliun, kalau salah kelola, bisa jadi bom waktu finansial. Risiko NPL Himbara, dana desa yang terkikis, dan politisasi pengurus jadi alarm keras yang tak boleh diabaikan. Tapi, di tengah semua ini, ada harapan kecil: kalau masyarakat desa diberi ruang untuk ambil kendali, mungkin koperasi ini bisa jadi sesuatu. Tapi untuk itu, pemerintah harus berani lepas tangan, biarkan rakyat bermimpi seperti yang Bung Hatta ajarkan. Sampai saat itu datang, kita cuma bisa menonton drama ini sambil nyengir getir, berharap 80.000 koperasi tak cuma jadi plang di pinggir sawah.

Sumber:

  1. BREAKING NEWS – Pemerintah Bahas Lanjutan Sosialisasi Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih – Kompas TV (https://www.youtube.com/live/SU3ERhnMpDU)
  2. Risiko Tinggi Koperasi Merah Putih | Jelasin Dong! – Tempo.co (https://www.youtube.com/watch?v=C70it35UdXM)
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *