Connect with us

Opini

Konstitusi Baru Suriah: Reformasi atau Ilusi Kekuasaan?

Published

on

Sebuah dekrit konstitusi baru telah ditandatangani oleh Ahmad al-Sharaa, pemimpin transisi yang tiba-tiba muncul bak penyelamat, seperti dewa yang turun dari langit untuk membebaskan rakyatnya dari cengkeraman penderitaan. Dengan tinta yang mungkin masih basah oleh darah warga sipil, ia berharap konstitusi ini menjadi awal baru bagi rakyat Suriah. Ah, betapa mulianya niat tersebut.

Tentu, konstitusi ini menjanjikan kebebasan, kesejahteraan, dan hak-hak politik yang tidak pernah terdengar selama rezim sebelumnya. Dalam retorika resmi, ia ingin menciptakan keseimbangan antara stabilitas dan kebebasan, seolah-olah ada jalan tengah antara menekan dan membebaskan, antara mengontrol dan memberi hak. Sebuah kompromi yang indah, jika saja realitas tidak begitu keras kepala.

Tapi, mari kita kupas sedikit. Mahkamah Konstitusi lama dibubarkan, digantikan oleh mahkamah baru yang ditunjuk langsung oleh sang presiden transisi. Sebuah inovasi luar biasa: menggantikan satu lembaga dengan versi lain yang sama, hanya dengan label baru. Inilah wajah reformasi di tangan mereka yang telah lama menguasai, mengganti kemasan tanpa benar-benar mengubah isi di dalamnya.

Lebih jauh, konstitusi ini mengabadikan status Islam sebagai sumber utama hukum, seperti mantra suci yang tak boleh dipertanyakan. Tentu, karena agama bukan hanya jalan menuju keselamatan spiritual, tetapi juga alat yang efektif untuk memastikan kekuasaan tetap berada di tangan mereka yang sudah menggenggamnya. Reformasi? Atau sekadar cara lain untuk melegitimasi dominasi kelompok tertentu?

Komite yang menyusun konstitusi ini terdiri dari tujuh orang, dan tentu saja, pertanyaan paling mendasar adalah siapa mereka. Apakah mereka mewakili keberagaman Suriah yang kaya akan etnis, agama, dan kepentingan politik? Ataukah mereka hanya kumpulan figur yang telah dikurasi dengan hati-hati, dipilih bukan karena kebijaksanaan mereka, tetapi karena kesetiaan mereka?

Jika konstitusi ini sungguh-sungguh ingin membangun kembali Suriah, mengapa tidak membuka prosesnya kepada publik? Mengapa tidak membiarkan rakyat menentukan nasib mereka sendiri? Ah, tentu saja, karena kebebasan yang dijanjikan selalu harus dikontrol. Demokrasi yang terlalu bebas bisa berbahaya, bisa membawa suara-suara yang tidak diinginkan. Lebih baik aman dalam batasan yang telah ditentukan.

Kebebasan pers dan ekspresi juga disebut dalam dokumen ini, seolah-olah dengan menuliskannya di atas kertas, hak tersebut otomatis menjadi kenyataan. Padahal, kita tahu, kata-kata hanyalah ilusi tanpa mekanisme yang benar-benar melindunginya. Para jurnalis yang bertanya terlalu banyak masih akan hilang dalam gelap, kritik terhadap kekuasaan masih akan dibungkam dengan berbagai dalih.

Namun, yang paling menawan adalah bagian yang menyatakan bahwa rakyat memiliki hak untuk membatasi kekuasaan presiden. Ah, betapa indahnya janji ini. Seperti memberi anak kecil sekotak cokelat dan kemudian mengatakan, “Tapi hanya boleh makan satu per satu, sesuai izin kami.” Dalam realitas politik, alat untuk membatasi kekuasaan hanya berguna sejauh diperbolehkan oleh mereka yang berkuasa.

Dan tentu, ada pula ketentuan tentang masa transisi yang akan berlangsung selama lima tahun. Waktu yang cukup panjang untuk memastikan bahwa semua kepentingan yang ada bisa diamankan. Waktu yang cukup untuk menyusun ulang kekuatan lama dalam format baru. Waktu yang cukup untuk memastikan bahwa transisi hanyalah ilusi, bukan perombakan nyata.

Sementara itu, di luar gedung-gedung yang mendinginkan para pejabatnya dengan AC mahal, di luar ruangan rapat tempat para pemimpin transisi meneguk kopi sambil berbicara tentang kebebasan dan pembangunan, rakyat Suriah masih menghadapi kenyataan yang sama. Mereka masih menghadapi kematian yang datang tiba-tiba, baik dari bom yang dijatuhkan atau dari kebijakan yang menekan mereka perlahan.

Kita tidak boleh lupa bahwa semua ini terjadi di tengah kondisi yang mengerikan. Ancaman dari Israel terus membayangi, kelompok-kelompok minoritas masih menghadapi pembantaian, dan perpecahan sosial semakin dalam. Namun, yang diprioritaskan oleh para pemimpin transisi adalah permainan politik yang menguntungkan mereka, bukan perlindungan bagi mereka yang paling rentan.

Jika konstitusi ini benar-benar untuk rakyat, mengapa tidak ada mekanisme nyata yang melindungi hak-hak minoritas? Mengapa tidak ada kebijakan konkret yang menjamin keadilan bagi mereka yang selama ini menjadi korban perang? Ah, tapi tentu saja, minoritas selalu menjadi pengorbanan yang bisa dinegosiasikan, kartu yang bisa dimainkan kapan saja demi kepentingan mayoritas yang berkuasa.

Ironinya, mereka berbicara tentang transisi, seolah-olah ini adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik. Padahal, transisi ini tidak lebih dari langkah lain dalam lingkaran setan yang sama. Ini bukan perubahan, ini hanya penyempurnaan sistem lama dengan cara yang lebih rapi. Revolusi tanpa revolusi. Pergantian wajah tanpa pergantian sistem.

Kita telah melihat skenario ini sebelumnya, dalam berbagai bentuk di berbagai negara. Konstitusi baru diumumkan, janji-janji besar diucapkan, dan beberapa perubahan kosmetik dilakukan. Tapi pada akhirnya, mereka yang duduk di kursi kekuasaan tetaplah mereka yang mengontrol bagaimana cerita ini berakhir. Inilah politik dalam bentuknya yang paling mentah: pertunjukan yang dirancang untuk mengesankan, bukan untuk benar-benar mengubah.

Mungkin bagi sebagian orang, konstitusi ini adalah harapan. Mungkin bagi mereka yang lelah dengan perang, ini adalah sinar cahaya di ujung terowongan yang gelap. Namun, bagi mereka yang memahami bagaimana kekuasaan bekerja, ini hanyalah strategi lain untuk memastikan bahwa yang kuat tetap kuat, dan yang lemah tetap tunduk. Ah, betapa indahnya ilusi perubahan ini.

Jadi, apakah ini awal baru bagi Suriah? Atau hanya bab lain dalam novel panjang tentang bagaimana kekuasaan selalu menemukan cara untuk melestarikan dirinya sendiri? Kita bisa berharap bahwa rakyat Suriah akan menulis akhir cerita mereka sendiri, tetapi sejarah memberi tahu kita bahwa pena hampir selalu dipegang oleh mereka yang memiliki pedang di tangan yang lain.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *