Opini
Konflik Ukraina Menggerus Ekonomi Eropa, Sampai Kapan?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Laporan Sputnik yang mengutip pernyataan Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov menyoroti bahwa anggaran besar yang dialokasikan Uni Eropa untuk Ukraina kini dilakukan dengan “mengorbankan ekonomi Uni Eropa yang sudah menghadapi masa sulit.” Data terbaru menunjukkan bahwa Uni Eropa telah menggelontorkan lebih dari €70 miliar untuk membantu Ukraina sejak awal konflik. Angka ini terus bertambah, sementara laporan-laporan menunjukkan bahwa negara-negara seperti Jerman menghadapi pertumbuhan ekonomi nol selama dua tahun berturut-turut. Dengan alokasi dana sebesar itu, pertanyaan besar muncul: berapa lama Eropa mampu menanggung beban ini tanpa menghancurkan fondasi ekonominya sendiri?
Komitmen Uni Eropa untuk memberikan dukungan kepada Ukraina sejak awal konflik membawa konsekuensi besar bagi anggaran negara-negara anggota. Jerman, sebagai ekonomi terbesar di Eropa, kini menghadapi ancaman stagnasi ekonomi yang semakin nyata. Survei terbaru menunjukkan bahwa semakin banyak warga Jerman menentang bantuan besar-besaran ke Kiev, memperlihatkan bahwa kebijakan ini mulai kehilangan legitimasi di mata rakyat. Alokasi anggaran yang besar tidak hanya mengurangi kemampuan Eropa untuk menangani isu domestik seperti krisis energi dan inflasi, tetapi juga memperburuk situasi fiskal yang sudah berat. Dengan ekonomi yang melemah, tingkat pengangguran yang meningkat, dan protes publik yang kian bermunculan, stabilitas politik dan ekonomi Eropa berada di ujung tanduk.
Salah satu dampak terbesar dari konflik ini adalah terputusnya hubungan energi antara Rusia dan Eropa. Sebelum perang, Rusia adalah pemasok utama energi untuk Eropa, khususnya gas alam. Ketika Eropa memilih untuk mengurangi ketergantungannya pada energi Rusia sebagai bagian dari sanksi terhadap Kremlin, biaya energi melonjak tajam. Banyak industri di Eropa terpaksa mengurangi produksi bahkan menghentikan operasi sepenuhnya. Substitusi energi dari sumber lain seperti gas cair (LNG) dari Amerika Serikat tidak hanya lebih mahal, tetapi juga tidak mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan energi Eropa. Krisis energi ini memicu inflasi yang terus meroket, melemahkan daya beli masyarakat, dan menekan daya saing industri Eropa di pasar global. Eropa terjebak dalam lingkaran setan yang mereka buat sendiri, dan dampaknya tidak akan hilang dalam waktu dekat.
Ketegangan internal di Uni Eropa juga semakin nyata. Negara-negara seperti Hungaria secara terbuka mengkritik kebijakan Brussel yang dianggap terlalu berpihak pada Ukraina. Perpecahan ini menciptakan risiko serius bagi solidaritas Uni Eropa, yang menjadi fondasi utama stabilitas politik dan ekonomi kawasan tersebut. Jika negara-negara anggota mulai mengambil kebijakan yang berbeda untuk melindungi kepentingan nasional masing-masing, Uni Eropa bisa menghadapi krisis eksistensial. Ini diperparah oleh tekanan ekonomi yang mempersulit negara-negara anggota untuk memenuhi kebutuhan domestik sekaligus tetap mendukung Ukraina. Brussel tampaknya gagal memahami bahwa solidaritas yang dipaksakan tidak akan bertahan lama ketika rakyat sendiri mulai merasa dikhianati oleh kebijakan elit yang tidak memikirkan dampaknya.
Di sisi lain, Rusia masih memiliki kartu penting yang bisa dimainkan untuk memperburuk situasi ekonomi Eropa. Jika Rusia memutuskan untuk memberlakukan sanksi balasan terhadap Eropa, seperti penghentian total ekspor komoditas strategis, situasi akan semakin parah. Rusia adalah salah satu produsen utama logam penting, pupuk, dan bahan bakar nuklir yang sangat dibutuhkan oleh Eropa. Langkah seperti ini dapat mempercepat tekanan ekonomi di Eropa yang sudah rapuh. Lebih jauh lagi, hubungan dekat Rusia dengan negara-negara besar seperti China dan India memberikan mereka alternatif pasar yang kuat, sehingga mengurangi ketergantungan pada Eropa. Sementara itu, Uni Eropa terus terobsesi dengan kebijakan yang tampaknya lebih menguntungkan Washington daripada rakyat mereka sendiri.
Jika konflik di Ukraina terus berlanjut tanpa solusi diplomatik, Eropa menghadapi risiko krisis ekonomi yang mendalam. Resesi yang mengancam Jerman bisa dengan mudah menyebar ke negara-negara lain di kawasan tersebut, memicu gelombang instabilitas yang lebih besar. Krisis energi yang tak kunjung usai dapat memicu lebih banyak pemadaman dan kenaikan harga, yang akhirnya memperburuk situasi domestik. Protes publik yang menentang kebijakan pemerintah dapat meningkatkan ketegangan sosial dan melemahkan pemerintahan di berbagai negara. Brussel seharusnya bertanya pada diri sendiri: apakah mempertahankan ambisi geopolitik ini sepadan dengan kehancuran ekonomi yang mereka alami? Dalam menghadapi kenyataan ini, kebijakan Uni Eropa tampak seperti perjudian besar yang sangat berisiko, dengan rakyat sebagai pihak yang menanggung akibatnya.