Opini
Komedi Data: Dulu Diretas, Kini Alat Barter ke Gedung Putih

Di tengah deru mesin diplomasi dan hingar-bingar kebanggaan nasional atas “penurunan tarif impor,” Indonesia baru saja menorehkan episode baru dalam serial komedi digitalnya: menyerahkan data pribadi warga ke Amerika Serikat demi kesepakatan dagang. Ironisnya, data yang dimaksud bukanlah sesuatu yang masih utuh, murni, atau bernilai tinggi. Ini data bekas bocor—sampah digital yang sudah bertebaran di dark web, dirampas tanpa izin oleh para peretas, diretas berkali-kali dari instansi resmi negara sendiri. Tapi kini, entah karena lupa atau sengaja menutup mata, negara memperlakukannya seolah harta karun yang layak dijadikan alat barter ke Gedung Putih.
Inilah puncak komedi data nasional: yang dulu diretas secara diam-diam, kini diserahkan secara sah, dibungkus rapi dengan map diplomatik, disegel dengan jargon “perlindungan data” yang sudah lama ompong.
Data Retas Massal: Panggung Komedi yang Sudah Dimulai Sejak Lama
Mari kita flashback sedikit. Pada 2021, sebanyak 279 juta data penduduk dari BPJS Kesehatan bocor dan dijual di forum-forum bawah tanah digital. Lengkap, dari nama, tanggal lahir, alamat, hingga NIK. Tahun 2019, 17 juta data pemilih dari KPU juga bocor dan menyebar bebas, menjadi santapan empuk para pelaku penipuan dan pengkloning identitas. Di tahun-tahun lain, data e-KTP, nomor telepon, dan bahkan informasi vaksinasi dari aplikasi PeduliLindungi ikut terpantau gampang diretas.
Semua itu bukan ulah perusahaan swasta, tapi kebobolan dari sistem milik pemerintah sendiri—yang mestinya menjadi penjaga garda depan keamanan digital rakyat. Tapi yang terjadi? Pemerintah seperti penjaga toko yang tak pernah sadar pintunya terbuka. Atau lebih parah: sadar, tapi pura-pura tak tahu.
Barter Digital: Dari Hacker ke Washington
Kini, lembaran baru dibuka. Gedung Putih merilis pengumuman bahwa Indonesia dan AS telah menyepakati cross-border data transfer sebagai bagian dari kerja sama dagang. Dengan penuh percaya diri, pemerintah Indonesia menyebut kesepakatan ini sebagai langkah strategis untuk menurunkan tarif ekspor barang Indonesia ke Amerika Serikat, dari 32% menjadi 19%.
Masalahnya bukan pada diplomasi dagang—itu wajar. Masalahnya adalah komoditas yang dipakai untuk barter: data pribadi rakyat. Dan lebih ironis lagi, data itu adalah data yang sama yang selama ini tidak mampu dijaga oleh negara. Data yang sudah bocor berkali-kali, yang sudah jadi obral di dark web, kini dijadikan mahar dalam pesta dagang.
Pertanyaannya sederhana: apa gunanya menukar barang yang sudah basi? Atau lebih tepatnya, mengapa data yang sudah hilang dicoba dijual kembali seolah masih mulus?
UU PDP: Pajangan, Bukan Perisai
Pemerintah berdalih, semuanya telah sesuai dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Menteri Komunikasi Meutya Hafid dan juru bicara Hasan Nasbi menyatakan bahwa perjanjian ini “mematuhi hukum nasional”. Tapi pertanyaannya: hukum yang mana? UU PDP mengharuskan bahwa transfer data lintas negara hanya bisa dilakukan bila negara tujuan memiliki tingkat perlindungan data yang setara atau lebih tinggi.
Padahal, AS bukan negara dengan reputasi baik dalam privasi digital. Negara itu terkenal dengan program PRISM, yang membolehkan NSA menyedot data dari platform seperti Google, Meta, hingga WhatsApp. Bahkan Eropa menolak standar perlindungan data AS karena dinilai terlalu longgar dan mengancam kebebasan sipil.
Maka, membayangkan AS sebagai pihak “tepercaya” untuk menjaga data kita adalah seperti menyerahkan kunci rumah kepada tukang copet karena kita capek dijaga oleh satpam yang tidur. Lucu? Tragis? Itulah komedi ini.
Kita Marah Sekarang? Padahal Sudah Lama Bocor
Ironi tak berhenti di sana. Publik Indonesia justru baru marah sekarang, saat kesepakatan itu diumumkan. Linimasa penuh cuitan pedas, headline media meledak dengan judul “Data Warga Dijual?”, dan para analis digital bersuara lantang soal kedaulatan data. Tapi mari kita bertanya jujur: ke mana suara itu saat data kita bocor dulu?
Ketika BPJS jebol, saat KPU jadi etalase digital, saat aplikasi vaksinasi mudah ditembus—mayoritas dari kita diam. Kita lebih sibuk mengganti filter Instagram, daftar pinjol dengan swafoto KTP, atau unggah surat vaksinasi ke grup WhatsApp keluarga. Kita marah sekarang, saat data itu dijadikan alat barter resmi, padahal kita sendiri sudah memamerkannya secara sukarela ke mana-mana.
Inilah bagian dari komedi itu: rakyat yang baru sadar terlambat, dan negara yang tak pernah mau sadar sejak awal.
Amerika Tak Perlu Retas Lagi: Kita yang Antar ke Pintu
Bagian paling konyol dari semua ini mungkin adalah peran Amerika. Negara yang selama ini dikenal sebagai raksasa mata-mata digital kini tak perlu repot-repot meretas data Indonesia lagi. Mereka cukup menunggu, lalu pemerintah Indonesia akan datang membawa folder data—lengkap dengan tanda tangan dan persetujuan legal.
Bayangkan absurditasnya: data yang mereka bisa dapatkan secara gratis di internet kini ditawarkan secara resmi, seperti kaset bajakan yang dijual sebagai edisi kolektor. Mungkin di Gedung Putih sana, Trump—atau siapa pun di balik layar—sudah cekikikan melihat betapa mudahnya mendapatkan “aset digital” dari mitra dagangnya.
Dan jangan salah, platform seperti Google, TikTok, dan Meta—semua berbasis di AS—sudah menyimpan miliaran metadata dari rakyat Indonesia. Bahkan tanpa kesepakatan resmi, mereka bisa tahu apa yang kita klik, tonton, dan pikirkan. Maka, kesepakatan ini tak lebih dari formalitas yang membuat kita tampak naif.
Apa yang Sebenarnya Dijual?
Di tengah semua narasi “kompetisi dagang” dan “strategi ekonomi”, kita patut bertanya ulang: apa sebenarnya yang kita serahkan? Apakah benar data ini punya nilai nyata? Atau hanya sekadar ilusi bahwa kita masih punya privasi yang bisa dinegosiasikan?
Kalau kita jujur, yang dijual bukan lagi data, tapi rasa percaya diri palsu bahwa negara masih berdaulat secara digital. Yang dibarter bukan angka di server, tapi harga diri sebagai bangsa yang tak bisa jaga milik warganya sendiri.
Dan yang paling menyakitkan: kesepakatan ini menegaskan posisi kita di dunia global—bukan penentu, hanya pelengkap. Hanya mitra kecil yang menawarkan barang bekas, berharap mendapat potongan harga.
Penutup: Komedi Ini Belum Usai
Kita hidup dalam komedi digital yang absurd. Negara yang tak mampu menjaga data pribadi rakyatnya kini menjadikannya komoditas dagang. Rakyat yang tak peduli saat data bocor, kini ribut saat dijual resmi. Dan Amerika—yang sudah punya data itu sejak lama—pura-pura tertarik agar kita merasa penting.
Semuanya memainkan peran dalam lakon ini. Tapi pertanyaan besarnya tetap sama: kapan kita berhenti jadi lelucon?
Karena selama kita masih menyerahkan data yang bahkan tak bisa kita jaga sendiri, dan membungkusnya dengan jargon “kedaulatan digital”, kita bukan sedang menegosiasikan masa depan—kita sedang menjual masa lalu yang sudah lama hilang.
Dan Gedung Putih? Mereka tinggal duduk manis, menonton, mungkin sambil berkata:
“Lucu juga, komedi data dari Asia Tenggara ini.”