Opini
Kolaborasi Microsoft dan Intel Israel Terungkap

Sore hari di akhir 2021, di sebuah kompleks megah bekas peternakan ayam yang kini menjadi jantung digital dunia, seorang kepala intelijen Israel datang membawa rencana besar. Bukan membawa rudal, bukan membawa drone, tapi membawa sesuatu yang lebih senyap dan jauh lebih dalam daya hancurnya: jutaan percakapan orang-orang Palestina. Di hadapan CEO Microsoft, Satya Nadella, komandan Unit 8200—Yossi Sariel—menawarkan proyek ambisius: memindahkan isi kepala dan hati rakyat yang hidup di bawah pendudukan ke dalam cloud.
Begitulah awalnya. Tidak ada suara ledakan. Tidak ada suara sirene. Hanya percakapan bisnis biasa, dengan jargon-jargon teknologi dan janji keamanan yang manis. Tapi di balik itu, disembunyikan proyek pengawasan massal yang begitu telanjang dan tak tahu malu. Microsoft, perusahaan yang menjual diri sebagai pelindung privasi digital, secara diam-diam menjadi tuan rumah bagi penyimpanan obrolan harian rakyat Palestina—sekitar satu juta panggilan per jam.
Bayangkan, satu juta suara. Satu juta kerumitan hidup. Suara ibu yang memarahi anaknya. Suara remaja yang naksir teman sekolahnya. Suara doa, suara keluh, suara marah, suara pasrah. Semuanya disedot ke langit digital bernama Azure, lalu dianalisis oleh algoritma dan dijadikan bahan dasar untuk… bom. Inilah dunia yang kita tinggali: ketika percakapan tentang harga tomat bisa berujung pada serangan udara, ketika kata “mati” dalam SMS bisa jadi dalih untuk menahan, mengancam, atau membunuh.
Dan ironinya? Microsoft mengklaim tak tahu apa-apa. Katanya, mereka hanya menawarkan ruang penyimpanan—seperti kos-kosan murah yang tak peduli siapa penyewanya. Namun dokumen internal yang bocor berkata lain. Para teknisinya bekerja bahu membahu dengan Unit 8200, setiap hari, demi memastikan data “sensitif” itu aman, terkunci rapi, dan siap dipakai. Bahkan ketika Satya Nadella hadir dalam pertemuan dengan komandan intelijen, catatan internal mencatat bahwa sang CEO menyatakan komitmen penuh: ayo kita pindahkan data pelan-pelan, sampai 70% masuk semua ke Azure. Tapi tentu, saat ini, mereka mengatakan Nadella hanya “singgah sebentar 10 menit” di akhir rapat, tanpa tahu-menahu isinya. Ya, tentu.
Di sisi lain dunia, di tanah yang disebut sebagai “wilayah pendudukan”, sistem pengawasan ini terus berjalan. Satu sistem yang dijuluki “noisy message” secara otomatis menyaring pesan singkat yang berisi kata-kata tertentu. Kata “senjata”, “mati”, “bom”—yang bisa saja disebutkan dalam konteks bercanda, marah, frustrasi, atau bahkan puisi—langsung diberi skor ancaman. Tidak perlu proses hukum, tidak perlu klarifikasi. Mesin yang menilai. Lalu manusia berstatus target. Canggih, ya?
Sebagian data disimpan di Belanda dan Irlandia, dua negara yang konon menjunjung tinggi HAM dan privasi. Entah apa komentar para aktivis Eropa ketika tahu bahwa di dalam server negeri mereka tersimpan suara-suara kesedihan dan ketakutan yang digunakan untuk membenarkan aksi militer. Tapi jangan khawatir, ini semua demi “keamanan nasional”—frasa suci yang kini dapat membungkam apa saja, bahkan rasa malu.
Microsoft bukan satu-satunya yang bermain dalam simfoni ini. Namun mereka telah menawarkan panggung paling megah. Azure bukan sekadar platform cloud; kini ia adalah ruang interogasi digital, ruang gelap yang tak berisi teriakan tapi hanya metadata. Di dalamnya, tak ada derita fisik, hanya tumpukan file audio yang bisa diakses kapan saja. Dan dari sanalah, keputusan bisa diambil: siapa ditahan, siapa dibunuh, siapa cukup ditakut-takuti.
Unit 8200, yang dijuluki sebagai “NSA-nya Israel”, sudah lama menjadikan rakyat Palestina sebagai laboratorium eksperimen. Kini dengan bantuan Microsoft, mereka naik level. Dulu mereka butuh target khusus untuk disadap. Sekarang? Tidak perlu. Semua orang diawasi. Lebih mudah, lebih cepat, lebih murah. Dan yang paling penting: lebih “legal”, karena semuanya kini berlindung di balik kontrak bisnis dan lisensi perangkat lunak.
Lalu apakah sistem ini berhasil? Jika tolak ukurnya adalah mencegah kekerasan, maka jawabannya: tidak. Serangan 7 Oktober 2023 di Israel tidak berhasil dicegah, meski sistem telah berjalan penuh. Bahkan komandan Sariel mengundurkan diri, mengakui kegagalan intelijen. Tapi teknologi tidak diadili. Azure tidak dihukum. Yang terus-menerus dihukum adalah orang-orang Palestina yang tak tahu bahwa suara mereka, sehari-hari, dijadikan peta kematian.
Di Indonesia, kisah ini seharusnya membangkitkan kegelisahan. Kita hidup di negara dengan trauma terhadap pengawasan: dari Orde Baru yang menyadap lawan politik, hingga kasus-kasus penyadapan ilegal hari ini. Namun kini, teknologi penyadapan tak lagi datang dari aparat dalam negeri, tapi bisa dari luar negeri, dari perusahaan asing yang kita beri tempat dan kekuasaan dalam ekosistem digital nasional. Jika Microsoft bisa begitu dalam membantu operasi militer asing, lalu seberapa jauhkah mereka akan menjaga data warga kita?
Ada ironi yang menggigit ketika melihat para petinggi teknologi bicara soal etika AI dan privasi digital di panggung-panggung TED Talks, sembari diam-diam menyewakan servernya untuk perang dan represi. Mereka bilang teknologi harus berpihak pada kemanusiaan, tapi ketika suara orang-orang tertindas dijadikan peluru digital, mereka hanya menjawab: “kami tidak tahu-menahu”. Enak sekali menjadi tidak tahu.
Dan di tengah itu semua, rakyat Palestina terus hidup dengan rasa takut. Bukan hanya takut akan drone atau rudal, tapi takut karena tidak tahu mana kata-kata yang akan membuat mereka jadi target. Bahkan diam pun bisa berbahaya—karena sistem pengawasan yang baik bisa membaca keheningan sebagai potensi ancaman.
Kisah ini bukan sekadar laporan investigatif. Ini adalah cermin dari masa depan yang sedang kita tuju: masa depan di mana perang tidak lagi dibuka dengan deklarasi, tapi dengan migrasi data ke server. Masa depan di mana privasi bukan hak, melainkan ilusi. Dan masa depan di mana korban perang tidak lagi hanya mereka yang tubuhnya hancur, tapi juga yang jiwanya dilucuti, perlahan-lahan, lewat rekaman telepon yang dikuping oleh algoritma.
Mungkin sekarang saatnya kita bertanya ulang: apakah teknologi memang netral? Ataukah netralitas itu hanya kamuflase dari keberpihakan terhadap kekuasaan?
Dan mungkin, ketika kita sedang berbicara di telepon, tentang hal-hal sepele seperti cuaca, tagihan listrik, atau rindu yang tak tersampaikan, kita bisa jeda sebentar dan bertanya: siapa yang sedang mendengarkan?
Pingback: Google Dibayar Netanyahu $45 Juta Jadi Humas Propaganda Gaza