Opini
Klaim Perdamaian: Siapa yang Benar-benar Berjasa untuk Gaza?

Gencatan senjata Gaza baru saja tercapai, tapi di balik itu, ada permainan klaim yang penuh ironi. Dua tokoh besar, Presiden Joe Biden dan Presiden terpilih Donald Trump, saling berebut untuk disebut sebagai pahlawan yang membawa perdamaian. Tidak jauh dari situ, Hamas malah mengucapkan terima kasih kepada Iran, Hizbullah, Ansarullah Yaman, dan kelompok perlawanan dari Irak, yang jelas-jelas tidak duduk di meja perundingan. Ironis, bukan?
Biden dan Trump, meski berbeda partai dan latar belakang, sepakat pada satu hal: gencatan senjata ini adalah buah dari upaya mereka. Trump dengan percaya diri menyatakan bahwa tanpa intervensinya, kesepakatan ini tidak mungkin tercapai. Sementara Biden, yang sudah bekerja keras sepanjang masa jabatannya, merasa bahwa gencatan senjata ini adalah hasil dari diplomasi gigihnya. Lalu, siapa yang sebenarnya berperan dalam perundingan ini?
Biden dengan angkuh mengklaim bahwa gencatan senjata ini adalah hasil diplomasi yang dia pimpin, menekankan tekanan yang diberikan kepada Hamas serta perubahan situasi regional. Sementara Trump, yang baru saja memasuki masa transisi kepresidenan, merasa berhak mengklaim kemenangan dengan mengirim utusannya untuk bernegosiasi. Sebuah pameran klaim dan kebanggaan yang lebih mirip sebuah perayaan diri ketimbang kebijakan luar negeri yang seimbang.
Namun, jika kita lihat dari perspektif Hamas, klaim tersebut tidak begitu menarik. Alih-alih memberikan ucapan terima kasih kepada dua tokoh ini, Hamas malah berterima kasih kepada negara-negara yang tidak terlibat langsung dalam perundingan: Iran, Hizbullah, Ansarullah Yaman, dan kelompok perlawanan dari Irak. Bagi Hamas, kemenangan bukanlah soal siapa yang duduk di meja perundingan, tetapi siapa yang benar-benar ada untuk Palestina dalam perjuangannya.
Mereka yang tak ada di meja perundingan inilah yang memberikan dukungan nyata di lapangan. Iran, Hizbullah, Ansarullah Yaman, dan Irak memberikan bantuan militer, moral, dan logistik yang jauh lebih konkret daripada klaim-klaim yang dikeluarkan oleh para pemimpin dunia yang justru menjadi bagian dari masalah. Ketika Israel melancarkan serangan brutal ke Gaza, mereka adalah pihak yang hadir dalam perlawanan, memberikan kekuatan dan semangat.
Sementara itu, AS yang terus-menerus mengirimkan bantuan senjata kepada Israel untuk menghancurkan Gaza, merasa berhak mencatatkan diri dalam sejarah sebagai pahlawan gencatan senjata. Betapa menggelikan! Negara yang menjadi penyokong utama agresi militer Israel, kini muncul dengan klaim untuk menjadi pahlawan perdamaian. Keberpihakan AS kepada Israel selama ini malah menjadi pemicu konflik yang semakin parah, yang merenggut ribuan nyawa di Gaza.
Namun, begitulah politik internasional bekerja. Di balik klaim-klaim megah tentang perdamaian, ada permainan kekuasaan, kepentingan strategis, dan agenda tersembunyi yang sering kali mengabaikan hak-hak dan penderitaan rakyat Palestina. Gencatan senjata ini mungkin menjadi langkah kecil menuju penghentian kekerasan, tapi itu tidak serta-merta menghapus fakta bahwa di balik perundingan itu, ada banyak tangan yang terluka dan darah yang tumpah.
Pemerintah AS dengan segala kebijakannya terus berupaya memperbaiki citra mereka, tetapi kenyataannya adalah kebijakan luar negeri yang tidak pernah lepas dari kepentingan untuk mempertahankan hegemoni mereka di Timur Tengah. Sementara itu, negara-negara yang benar-benar berdiri di sisi Palestina, meski tidak terlibat dalam diplomasi resmi, menunjukkan bahwa solidaritas sejati tidak selalu ditemukan di balik meja perundingan, melainkan di medan pertempuran, di tengah-tengah rakyat yang berjuang.
Pada akhirnya, gencatan senjata ini bukanlah kemenangan bagi siapa pun yang mengklaim diri sebagai pahlawan. Sebaliknya, ia adalah kemenangan bagi mereka yang sejatinya berjuang untuk keadilan, yang rela berkorban tanpa peduli siapa yang mendapatkan kredit. Jika sejarah mencatat siapa yang benar-benar berjasa bagi Palestina, mungkin nama-nama seperti Nasrallah, Haniyeh, dan bahkan para pejuang Gaza akan lebih layak disebut, bukan Biden atau Trump.