Opini
Ketika Zionis Kekurangan 10 Ribu Pasukan untuk Serbu Gaza

Militer zionis diperkirakan kekurangan setidaknya 10.000 prajurit untuk menjalankan tahap operasi militer berikutnya di Jalur Gaza. Begitu bunyi laporan resmi yang keluar dari Channel 12, media yang tentu saja tidak akan sembarangan mengabarkan kekurangan di tubuh militernya. Artinya, di balik baju baja dan jargon kehebatan, ada lubang besar yang mulai kelihatan. Bayangkan mau menguasai Kota Gaza—wilayah terpadat di Jalur Gaza—tapi pasukannya sendiri kurang. Itu seperti mau menguras lautan dengan ember bocor.
Di lapangan, Kota Gaza bukan sekadar kota. Sebelum perang, populasinya sudah di atas 760 ribu jiwa, dan itu hanya angka resmi. Kini, setelah 22 bulan perang, jumlahnya membengkak karena ribuan pengungsi dari wilayah lain berdesakan di sana, mendirikan tenda di atas puing, hidup di antara reruntuhan. Inilah medan tempur yang ingin mereka kuasai: kota padat yang bahkan burung pun sulit terbang tanpa menabrak atap rumah. Dan ironinya, mereka sendiri yang mengirim orang-orang itu lari ke sana lewat bom dan peluru. Sekarang, mereka mengeluh karena kota itu penuh.
Masalahnya bukan cuma soal kurangnya tentara. Ada cerita yang lebih getir: kekurangan suku cadang kendaraan tempur karena boikot perusahaan asing. Inilah bentuk perlawanan yang sering dianggap remeh tapi efeknya mematikan pelan-pelan. Mirip seperti pedagang di pasar yang diam-diam sepakat untuk tidak menjual sayur ke pengepul yang suka merampas. Tak perlu senjata, cukup bikin dapur mereka kekurangan bahan, maka hari-hari jadi runyam. Kalau truk militer tak bisa jalan, tank mogok, atau peralatan macet di tengah operasi, itu bukan sekadar kerugian logistik—itu undangan terbuka bagi lawan untuk menyerang.
Dan di balik semua itu, ada hantu yang lebih menakutkan dari roket Hamas: angka-angka di buku kas negara. Yedioth Ahronoth menghitung, kalau mereka nekat menduduki Gaza, biayanya bisa tembus 32 sampai 49 miliar dolar AS per tahun. Angka itu mungkin terdengar abstrak bagi kita, tapi kalau dirupiahkan, bisa setara membangun ribuan sekolah baru atau memperbaiki jutaan rumah di Indonesia. Defisit anggaran mereka bisa melonjak ke 7%, dan peringkat kredit—yang bagi negara sama pentingnya seperti reputasi bagi pedagang—bisa anjlok. Dan kalau sudah begitu, investor kabur, utang makin mahal.
Seorang analis ekonomi mereka, Gad Lior, bahkan bilang pendanaan rencana itu bakal memaksa pemerintah memangkas anggaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Bayangkan, anak-anak sekolah kekurangan buku, rumah sakit kekurangan obat, hanya demi membiayai perang yang tak ada ujungnya. Ditambah pajak baru untuk rakyat sendiri. Kalau di sini, kira-kira seperti menaikkan harga beras dan BBM, tapi gajimu tetap—itu pun kalau tidak dipotong.
Biaya operasionalnya pun gila-gilaan. Mobilisasi 250 ribu tentara cadangan dan amunisi menghabiskan sekitar 94 juta dolar per hari—ya, per hari. Dalam sebulan, antara 2,7 sampai 3 miliar dolar. Kalau dihitung sampai akhir 2025, totalnya bisa menembus 8,1 hingga 13,5 miliar dolar hanya untuk perang. Dan itu belum termasuk biaya “mengurus” Gaza setelah mereka kuasai: antara 2,7 sampai 4 miliar dolar per bulan. Ironisnya, biaya ini juga mencakup penyediaan air, listrik, dan makanan untuk rakyat Gaza yang mereka bombardir sendiri.
Dari sini, jelas bahwa mereka sedang terjebak di tiga arah. Dari depan, medan perang yang keras kepala dan tidak mau tunduk. Dari samping, kekurangan logistik dan pasokan. Dari belakang, ekonomi yang mulai megap-megap. Ini seperti orang yang mau berkelahi di pasar tapi lupa bawa teman, dompet kosong, dan sandal jepitnya putus. Satu lawan mungkin bisa ditangani, tapi tiga sekaligus? Itu salah satu resep untuk celaka.
Yang membuatnya lebih ironis, mereka terjebak dalam masalah yang mereka buat sendiri. Mereka yang memulai pendudukan, mereka yang memicu eksodus penduduk, mereka pula yang menciptakan kebutuhan logistik raksasa yang kini membebani ekonomi mereka. Dunia mulai menutup pintu, bukan hanya lewat kecaman di PBB, tapi dengan langkah praktis seperti boikot barang dan jasa. Dan ini menyakitkan, karena perang tidak hanya dimenangkan dengan senjata, tapi juga dengan arus barang, uang, dan legitimasi politik.
Bagi kita di sini, gambaran ini mungkin terasa seperti cerita karma yang berjalan cepat. Lalu lintas kejahatan dan balasannya tidak lagi menunggu generasi berikutnya. Kita sedang melihatnya live, seperti sinetron yang sudah kehilangan plot tapi aktornya masih memaksa main. Bedanya, yang jadi taruhannya bukan rating TV, tapi nyawa manusia dan stabilitas kawasan.
Namun jangan salah sangka, ini bukan berarti lawan mereka otomatis menang. Justru, kondisi seperti ini sering membuat pihak yang terdesak jadi makin nekat. Mereka mungkin akan menambah kekerasan untuk menutupi kelemahan, atau mencari kambing hitam di dalam negeri untuk mempersatukan opini publik. Dan itu yang berbahaya: perang bisa makin liar justru karena mereka tahu sedang kalah di perhitungan jangka panjang.
Pada akhirnya, persoalan ini menunjukkan bahwa menguasai sebuah wilayah bukan sekadar soal kekuatan militer. Ada ongkos sosial, ongkos politik, dan ongkos ekonomi yang berjalan beriringan. Gaza bukan tanah kosong yang bisa dipatok seenaknya, tapi rumah bagi jutaan orang yang punya hak untuk hidup. Setiap meter tanah yang mereka rebut berarti bertambahnya beban yang harus mereka pikul. Dan seperti pepatah pasar: siapa yang serakah mengambil banyak dagangan sekaligus, biasanya malah menjatuhkan semuanya.
Kini, zionis berada di persimpangan. Maju berarti terjebak lebih dalam, mundur berarti mengakui kegagalan. Dua-duanya pahit, dan dunia sedang menunggu mereka menelan salah satunya. Sementara itu, rakyat Gaza—di tengah reruntuhan—tetap berdiri. Bukan karena mereka tidak takut, tapi karena mereka tahu tanah ini satu-satunya yang mereka punya. Dan itulah yang, pada akhirnya, tidak bisa dibeli dengan miliaran dolar, tank, atau tentara.