Connect with us

Opini

Ketika Tulisan Itu Jadi Kenyataan: Sandera di Gaza Kini Menanti Kematian

Published

on

Di sebuah pagi yang kelabu di Tel Aviv, puluhan orang memblokir jalan tol Ayalon, memekikkan pertanyaan yang tajam: “Kenapa mereka masih di Gaza?” Suara itu terdengar parau, bukan karena lelah melawan, tapi karena sudah terlalu lama tenggelam dalam kebisuan pemerintahnya sendiri. Di tengah jalan, mereka mengangkat poster bertuliskan “Never again is now”, seolah sejarah kekejaman yang dulu mereka sumpahi kini hidup di balik pagar-pagar besi dan kebijakan militer mereka sendiri. Ironi tak pernah seburuk ini.

Hanya dua wajah yang muncul dalam video singkat: Evyatar David dan Rom Braslavsky. Tubuh mereka tinggal kerangka, kulit membalut tulang, seperti korban kamp konsentrasi dalam arsip sejarah kelam. Tapi ini bukan tahun 1944, ini 2025. Dan ini bukan hasil kekejaman Nazi, melainkan hasil dari sistem yang konon paling demokratis di Timur Tengah—Israel. Video itu mengguncang publik. Tapi, jangan salah, bukan mengguncang untuk bertindak, hanya mengguncang hati sesaat sebelum kemudian diseret lagi ke kubangan kebijakan perang yang sama.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Delapan bulan lalu, tulisan berjudul “Apa Kabar Para Sandera di Gaza?” mencoba menyibak absurditas ini. Bahwa di tengah deru rudal dan dentuman bom yang menghancurkan Gaza, ada suara kecil yang nyaris tak terdengar: suara para sandera. Tulisan itu menyebut mereka sebagai pion, bukan prioritas. Dan kini, para pion itu benar-benar nyaris mati di papan catur yang tak kunjung berakhir. Kala itu, tulisan tersebut mungkin dianggap sinis. Kini, ia hanya terasa menyedihkan—karena semuanya benar.

Hamas, yang oleh dunia Barat digambarkan sebagai iblis tak berperikemanusiaan, berulang kali menawarkan pertukaran sandera. Tapi pemerintah Netanyahu, seperti pemain poker yang terlalu percaya diri dengan kartunya, menolak semua tawaran dengan dingin. Mungkin ia pikir tawanan itu bisa diselamatkan lewat kemenangan total. Masalahnya, perang ini tidak mengenal kata “total victory,” yang ada hanya total destruction. Dan di antara puing-puing kehancuran itu, para sandera Israel menunggu… kematian.

Salah satu video bahkan memperlihatkan David menggali kuburannya sendiri. Ini bukan adegan film, ini kenyataan. Tulang-tulangnya menyembul keluar dari kulit, matanya kosong, tapi di sekelilingnya, dunia tetap sibuk bersilat lidah. Uni Eropa menyebut videonya “mengganggu.” AS mengatakan “sangat prihatin.” Hamas dikutuk. Sementara Netanyahu? Dia sedang sibuk memastikan satu distrik lagi di Gaza rata dengan tanah, mungkin berharap kemenangan akan muncul dari reruntuhan.

Demonstran di Tel Aviv menyuarakan kalimat yang lebih jujur daripada semua pernyataan resmi pemerintah: “Abandonment of the hostages = destruction of the Third Temple.” Tiba-tiba, para sandera menjadi simbol spiritual, bukan hanya politik. Tapi simbol tetaplah simbol. Tak ada yang benar-benar berniat menyelamatkan mereka. Pemerintah sibuk menjaga citra. Para jenderal sibuk merancang strategi baru. Dan para sandera? Mereka makin kurus, makin sekarat.

Israel menyebut dirinya negara yang tak akan pernah meninggalkan satu pun warganya. Tapi hari ini, janji itu tinggal jargon. Satu sandera dikabarkan tewas dalam serangan udara yang dilakukan tentaranya sendiri. Beberapa lainnya disebut “tidak diketahui keberadaannya.” Seperti apakah bentuk perlindungan warga versi negara ini? Apakah itu artinya melempar bom ke area tempat mereka ditahan lalu berkata, “Kami sudah berusaha”?

Tal Shoham, mantan sandera, mengatakan bahwa makanan sebenarnya ada, tapi para sandera sengaja dibuat kelaparan. Ini pernyataan serius. Tapi apakah yang lebih serius bukanlah kenyataan bahwa pemerintah Israel tahu ini, dan tetap saja memilih mengebom daripada berdialog? Bukankah kita pernah diajari bahwa menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia? Tapi di sini, menyelamatkan satu nyawa tampaknya hanya sah jika itu bisa mendongkrak angka elektabilitas.

Jumlah korban di Gaza kini lebih dari 44 ribu, mayoritas anak-anak dan perempuan. Dan di tengah mayat-mayat kecil itu, pemerintah Israel masih percaya bahwa mereka sedang memenangkan sesuatu. Tapi yang kalah adalah nurani. Dan yang dikorbankan bukan hanya warga Palestina, tapi juga warganya sendiri. Para sandera, yang dulunya dijadikan alasan invasi, kini tak lagi disebut. Mereka tak membawa keuntungan politis, maka mereka ditinggalkan. Seperti pion terakhir yang tak sempat diselamatkan karena Raja terlalu sibuk melindungi dirinya sendiri.

Yang menyedihkan adalah: publik internasional tahu, tapi bungkam. Mereka menyaksikan video sandera kurus kering seperti menonton drama Netflix. Sedih sebentar, lalu scroll ke video kucing. Media pun hanya memuat headline singkat: “Shocking footage of Israeli captives.” Tapi tak ada tekanan serius untuk gencatan senjata. Tak ada mediasi damai yang bermakna. Dunia ini, rupanya, lebih tertarik pada drama daripada solusi.

Di Indonesia, banyak yang bertanya kenapa kita mesti peduli? Jawabannya sederhana: karena kemanusiaan tidak mengenal paspor. Karena penderitaan, baik di Gaza maupun Tel Aviv, bukan soal bendera, tapi soal jiwa. Dan karena ketika sebuah negara mengabaikan warganya sendiri demi ambisi militer, itu adalah alarm moral yang seharusnya terdengar sampai ke ujung dunia.

Delapan bulan lalu, tulisan itu mencoba menjadi suara kecil di tengah kebisingan propaganda. Kini, suara itu tak lagi sendirian. Ada teriakan dari jalanan Tel Aviv, ada air mata dari keluarga sandera, ada keheningan pahit dari tubuh-tubuh kurus yang hanya tinggal menunggu ajal. Sayangnya, semua itu belum cukup untuk menghentikan mesin perang yang tak mengenal kata berhenti.

Netanyahu dan para jenderalnya akan terus mengklaim bahwa ini adalah perang suci melawan teror. Tapi jika memang suci, kenapa begitu banyak darah tak berdosa yang mengalir? Jika ini perang demi sandera, kenapa mereka justru mati di tangan Israel sendiri?

Mungkin sudah saatnya dunia, termasuk kita, menyadari bahwa dalam konflik ini, garis antara korban dan pion semakin kabur. Bahwa ada dua sisi yang sama-sama mengorbankan manusia demi kekuasaan. Dan bahwa satu-satunya jalan keluar bukan melalui tank atau bom, tapi melalui keberanian untuk mengakui kesalahan dan berhenti menambah korban.

Jadi, kalau hari ini Anda masih bertanya: Apa kabar para sandera di Gaza? Maka jawabannya kini jauh lebih getir daripada delapan bulan lalu. Mereka masih di sana. Tapi tak banyak yang peduli. Bahkan pemerintah mereka sendiri.

 

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Sandera Netanyahu, Bukan Hamas: Krisis Kemanusiaan Gaza

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer