Opini
Ketika Trump Tagih Eropa Bayar Perang Ukraina

Di tengah dentingan konferensi pers dan aroma minyak mentah yang diseret angin diplomasi dari Asia Timur, Donald Trump kembali memukul meja geopolitik dengan gaya khasnya: vulgar, transaksional, dan pongah. Dengan mulut yang tak pernah berhemat diksi, ia menyerukan bahwa saatnya Uni Eropa membayar biaya bantuan militer untuk Ukraina. Bukan sekadar himbauan manis ala diplomat Eropa yang menjemukan, tapi ultimatum yang berdengung keras: “EU will take on the costs of our military support to Ukraine.” Begitu katanya, seolah Amerika telah cukup murah hati menyokong demokrasi di tanah yang tak ia injak, dan sekarang waktunya bagi sekutu tua itu untuk bayar tagihan.
Ada absurditas yang menggantung di udara ketika seorang presiden Amerika berbicara soal solidaritas, lalu menyematkan label harga di ujungnya. Solidaritas, seperti yang pernah kita kenal, adalah perkara prinsip dan keyakinan. Tapi di tangan Trump, ia berubah menjadi nota pembelian, lengkap dengan pajak ekspor dan potongan diskon untuk siapa saja yang mau tunduk. Bahwa Ukraina masih berkubang dalam tanah merah akibat serangan Rusia tampaknya tidak relevan; yang penting, siapa yang bayar tank, peluru, dan pelatihan tempurnya.
Bukan kali ini saja Trump memperlakukan aliansi seperti bisnis properti. Dalam benaknya, NATO bukan lagi pakta pertahanan transatlantik, melainkan semacam waralaba militer di mana tiap anggota wajib setor uang dan loyalitas. Ia tidak membaca sejarah dengan cara yang sama seperti para diplomat Eropa yang berpendidikan tinggi dan penuh basa-basi. Trump membaca sejarah seperti ia membaca kontrak: cari untung, minimalisir beban. Maka ketika ia mengusulkan agar Eropa menanggung beban Ukraina, itu bukan gertakan; itu cetak biru visi dunia versi Trump: Amerika tidak lagi menjadi pengaman dunia secara cuma-cuma.
Ironisnya, Eropa, dengan segala wacana otonomi strategis dan nilai-nilai universalnya, tetap gemetar di hadapan suara keras dari Gedung Putih. Seperti siswa sekolah menengah yang tak bisa berkata tidak kepada wali kelas yang galak, Uni Eropa bergeming. Padahal, jika bicara angka, Eropa bukan makhluk lemah. Produk Domestik Bruto kolektif mereka hampir menyamai Amerika. Tapi infrastruktur militer, ketergantungan intelijen, dan trauma masa silam membuat mereka seperti perokok yang berusaha berhenti tapi terus membeli rokok secara sembunyi-sembunyi dari minimarket sebelah.
Jadi, bisakah Eropa menolak? Secara teoritis, tentu bisa. Tapi teori bukanlah kekuatan dalam dunia internasional; kekuatan adalah kekuatan. Dan kekuatan dalam era Trump bukan hanya soal misil dan drone, tapi juga soal siapa yang paling nekat memainkan kartu terakhir. Trump tahu betul bahwa ia bisa membalikkan meja jika keinginannya tak dituruti. Ia telah melakukannya berkali-kali—keluar dari perjanjian iklim, keluar dari kesepakatan nuklir Iran, keluar dari UNESCO. Kalau bisa keluar dari sejarah, mungkin ia akan mencobanya juga.
Kebijakan ini, tentu saja, bukan hanya menohok Eropa. Ia menyimpan pesan yang lebih luas: bahwa dunia pasca-Trump tidak akan pernah kembali seperti sedia kala. Komitmen internasional, bantuan luar negeri, bahkan perang melawan tirani, kini tunduk pada logika kasir dan kalkulator. Kita tidak lagi hidup dalam dunia dua blok yang jelas antara demokrasi dan otoritarianisme, tapi dalam pasar bebas moral di mana setiap tindakan luar negeri harus menghasilkan keuntungan atau minimal menghindari kerugian.
Trump, dalam segala keanehannya, sebenarnya hanya menarik tirai yang selama ini menyembunyikan kenyataan tak mengenakkan: bahwa selama puluhan tahun, banyak negara memang menumpang pada keamanan yang dibayar oleh AS. Ia hanya mengatakan apa yang selama ini dipikirkan oleh para jenderal dan pebisnis minyak di Washington: “apa untungnya buat kita?” Bedanya, ia mengatakannya keras-keras, tanpa filter, tanpa tata krama diplomatik, dan itulah yang membuat dunia—terutama Eropa—panik.
Eropa, dalam hal ini, sedang terjepit. Di satu sisi, mereka tahu bahwa membiarkan Ukraina sendirian sama saja membuka jalan bagi Rusia untuk melangkah lebih jauh. Di sisi lain, publik Eropa mulai lelah dengan perang yang tak selesai, krisis energi, dan inflasi yang memukul dapur rumah tangga. Di Prancis, partai-partai kanan melonjak karena janji akan mengutamakan urusan dalam negeri. Di Jerman, ada keraguan soal keefektifan dukungan berkelanjutan terhadap Kyiv. Dan semua itu membuat ancaman Trump jadi semakin mengakar: karena ketika sekutu mulai ragu, maka siapa yang bisa disalahkan kalau AS memutuskan menarik diri?
Kalau ini adalah film, maka kita sedang berada di adegan di mana sang raja melempar mahkota ke lantai dan berkata, “Kalau kalian mau tetap di bawah lindunganku, bayar sewanya.” Dan Eropa, meski kesal, tetap memungut mahkota itu dengan diam-diam.
Narasi ini juga memaksa kita bertanya: ke mana dunia akan bergerak jika pemimpin global mulai berperilaku seperti pemilik restoran yang mengejar nota belum dibayar? Apakah solidaritas tinggal kenangan? Apakah NATO akan menjadi klub eksklusif dengan iuran anggota? Apakah Ukraina, yang dulunya simbol perlawanan dan keberanian, kini berubah jadi bon panjang yang tak ada ujungnya?
Dan di tengah semua itu, tak salah jika kita merasa getir. Ada yang retak dalam tatanan global, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tarif atau bantuan militer. Dunia kehilangan moral bersama. Dan dalam dunia tanpa moral bersama, maka pemenangnya bukanlah mereka yang benar, tapi mereka yang paling keras menuntut ganti rugi.
Di Indonesia, kita mungkin hanya penonton. Tapi jangan salah, dampaknya bisa mampir ke pasar lokal dan geopolitik regional. Ketika dunia mulai menghitung untung rugi dari membantu negara lain, kita pun harus bersiap: jangan sampai, di masa depan, solidaritas terhadap Palestina, terhadap Rohingya, terhadap siapa pun, dinilai dari berapa dolar yang bisa dihasilkan dari simpati itu.
Trump mungkin kasar, tapi ia sedang mencerminkan logika zaman: dunia sedang dikomersialisasi secara brutal. Dan jika tak ada yang melawan narasi itu, kita semua hanya akan jadi pelanggan pasif dalam supermarket geopolitik.
Pingback: Eropa Ditodong Zelensky: Menolak atau Memenuhi? - vichara.id
Pingback: Frustrasi Trump dan Retaknya Hubungan AS-UE
Pingback: Tentara Bayaran, Mineral, dan Damai Ala Trump -