Connect with us

Opini

Ketika Suriah dan Israel Duduk di Satu Meja

Published

on

Di tengah gejolak dunia yang tak pernah diam, sebuah jabat tangan antara Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan Presiden AS Donald Trump di Riyadh menjadi kilat yang menyambar kegelapan. Jabat tangan itu, sederhana namun sarat makna, mengguncang hati banyak orang—mungkin termasuk kita yang menyaksikan dari jauh, bertanya-tanya: apakah ini awal perdamaian atau sekadar permainan geopolitik baru? Israel, yang awalnya memandang rezim baru Damaskus dengan curiga, kini melunak, membuka saluran komunikasi rahasia di Baku, Azerbaijan. Realitas ini, seperti angin gurun yang berputar, membingungkan sekaligus memikat. Bagaimana sebuah negara yang dilumat perang saudara kini menjadi panggung diplomasi yang bisa mengubah Timur Tengah?

Kita sering lupa betapa rapuhnya harapan di tengah konflik. Suriah, negeri yang terkoyak selama lebih dari satu dekade, kini dipimpin al-Sharaa, sosok yang dulu memimpin Hayat Tahrir al-Sham, kelompok yang pernah dikaitkan dengan al-Qaeda. Israel menuduhnya membantai Alawite dan Druze, bahkan melancarkan serangan udara dekat istana kepresidenan Damaskus. Tapi, dunia berputar cepat. Pekan lalu, Mayor Jenderal Oded Basyuk, kepala Direktorat Operasi IDF, bertemu pejabat senior al-Sharaa di Baku. Pertemuan itu, yang melibatkan Dewan Keamanan Nasional Israel dan dimediasi Turki, bukan sekadar obrolan kopi. Ini adalah langkah nyata menuju sesuatu yang lebih besar—mungkin normalisasi, mungkin tatanan Suriah baru yang tak lagi memusuhi Israel.

Bayangkan, di sebuah ruangan di Baku, di bawah lampu neon yang dingin, para pejabat itu duduk dengan bahasa tubuh tegang, namun penuh harap. Turki, di bawah Recep Tayyip Erdogan, menjadi penutur cerita yang ulung di sini. Badan intelijen mereka, MIT, punya ikatan kuat dengan Damaskus, dan Erdogan tahu betul bagaimana memainkan kartu ini. Pertemuan lain dengan pejabat Turki, yang melibatkan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel Tzachi Hanegbi, menunjukkan betapa seriusnya permainan ini. Turki bukan sekadar penutup luka; mereka ingin Suriah stabil, tapi juga sesuai kepentingan Ankara. Kita, yang kadang hanya melihat berita sambil menyeruput kopi, mungkin bertanya: apa untungnya buat rakyat Suriah biasa?

Dari Jakarta, atau kota kecil di mana kita membaca ini, realitas Suriah terasa jauh, tapi bayangannya dekat. Konflik di Timur Tengah selalu punya cara untuk menyentuh kita—melalui harga minyak, narasi agama, atau sekadar kegelisahan kemanusiaan. Al-Sharaa, yang kini mengunjungi Paris dan bertemu Macron, sedang menapaki jalan licin. Ia berhasil mendorong AS mencabut sanksi, sesuatu yang bahkan Israel, meski awalnya ragu, kini pandang positif. Trump, dengan caranya yang bombastis, melihat ini sebagai peluang menjauhkan Suriah dari Iran. Israel punya mimpi lebih besar: membawa Suriah ke Perjanjian Abraham, aliansi yang dulu tak terbayang melibatkan Damaskus. Tapi, benarkah ini demi stabilitas, atau cuma strategi untuk melemahkan musuh lama seperti Hizbullah?

Kita tak bisa mengabaikan fakta di lapangan. Israel punya kepentingan jelas: melindungi Druze, menjaga zona demiliterisasi di selatan Damaskus, dan memastikan Iran tak lagi punya pijakan kuat di Suriah. Jatuhnya Bashar Assad Desember lalu membuka peluang baru. Hizbullah melemah, proksi Iran terpukul, tapi Rusia masih bertahan dengan pangkalan militernya. Al-Sharaa, dengan konstitusi sementara yang mengusung pemerintahan Islamis selama lima tahun, harus menyeimbangkan semua ini. Ia bicara soal “masa depan cerah” lewat Menteri Luar Negeri Asaad al-Shibani di X, berterima kasih pada Turki dan AS atas pertemuan “konstruktif”. Tapi, di balik kata-kata manis itu, ada rakyat Suriah yang masih hidup di reruntuhan.

Pernahkah kita berhenti, hanya sebentar, untuk membayangkan beban al-Sharaa? Ia harus meyakinkan dunia bahwa ia bukan lagi pemberontak berdarah dingin, tapi pemimpin yang bisa dipercaya. Ia berjalan di Paris, berjabat tangan dengan Trump, tapi di Damaskus, ia harus menjawab pertanyaan rakyatnya: “Mengapa kau dekat dengan Israel, musuh yang menduduki Golan?” Isu Dataran Tinggi Golan, yang tak pernah selesai, adalah duri dalam daging. Normalisasi dengan Israel, meski menggoda bagi elit, bisa memicu kemarahan publik. Di Indonesia, kita tahu betul bagaimana sentimen publik bisa mengguncang kebijakan—bayangkan demonstrasi di depan kedutaan jika normalisasi ini terlalu cepat.

Israel, di sisi lain, bukan pemain baru di Suriah. Selama perang saudara, mereka merawat ribuan pemberontak terluka di rumah sakitnya, beberapa di antaranya terkait al-Sharaa. Ini bukan kebaikan hati semata, tapi pragmatisme. Israel tahu, di tengah kekacauan, saluran komunikasi dengan faksi bersenjata adalah asuransi. Kini, dengan Assad gone, mereka melihat al-Sharaa sebagai peluang, tapi juga risiko. Netanyahu, menurut The Times, khawatir Trump terlalu cepat merangkul Suriah, apalagi dengan rencana negosiasi dengan Iran dan penghentian serangan di Yaman. Di Tel Aviv, ada ketakutan: akankah ini melemahkan posisi Israel di kawasan?

Tapi, mari kita tarik napas. Realitas ini bukan cuma soal elit dan peta strategi. Ada manusia di baliknya—keluarga Druze yang ketakutan, anak-anak Suriah yang tak tahu apa itu sekolah, dan tentara Israel yang menjaga perbatasan dengan hati was-was. Al-Sharaa, dengan segala kontroversinya, tampaknya paham bahwa Suriah tak bisa bangkit tanpa kompromi. Pencabutan sanksi AS, yang awalnya mengejutkan, kini dilihat sebagai jalan keluar dari ekonomi yang ambruk. Tapi, seperti yang kita tahu dari pengalaman di mana pun, sanksi dicabut tak otomatis bikin rakyat sejahtera. Uang mengalir ke elit, bukan ke pasar desa.

Lalu, ke mana arahnya? Normalisasi Israel-Suriah, meski kini terlihat mungkin, masih jalan panjang. Bayangkan sebuah Suriah yang stabil, bebas dari bayang-bayang Iran, bergabung dengan aliansi regional yang dipimpin AS dan Israel. Itu mimpi besar, tapi mimpi yang rapuh. Publik Suriah, yang masih menyimpan luka perang, tak akan mudah menerima Israel sebagai “teman”. Rusia, yang diam-diam masih punya pengaruh, bisa jadi penghalang. Dan Iran, meski terpojok, tak akan menyerah begitu saja. Kita, yang menyaksikan dari jauh, mungkin bertanya: apakah damai itu nyata, atau cuma topeng untuk kekuatan baru?

Di ujung cerita ini, ada secercah cahaya, tapi juga bayangan panjang. Pertemuan di Baku, jabat tangan di Riyadh, dan kata-kata manis di X adalah langkah nyata. Tapi, seperti angin di gurun, semuanya bisa berubah. Suriah baru, yang mungkin lebih pro-Israel, sedang lahir, tapi kelahirannya penuh risiko. Kita hanya bisa menunggu, dengan hati penuh harap dan pikiran penuh tanya, sambil berdoa agar manusia di balik narasi ini tak lagi jadi pion di papan catur.

Sumber:

https://www.ynetnews.com/article/sjbr113mbge

https://english.almayadeen.net/news/politics/israeli–syrian-officials-met-secretly-in-baku–report

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *