Connect with us

Opini

Ketika Spanyol Menentang Kenaikan Target Belanja Militer NATO

Published

on

“Gagasan itu tidak hanya tak masuk akal, tapi juga kontraproduktif.” Begitu tulis Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez, dalam surat terbukanya kepada Sekjen NATO, Mark Rutte. Ia menolak usulan peningkatan belanja militer negara-negara anggota NATO menjadi 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebuah penolakan yang tak hanya tegas, tapi juga sarat makna. Di tengah dunia yang seolah terus meluncur ke arah militerisme membabi buta, Spanyol memilih untuk tidak ikut arus.

Maka muncul pertanyaan: Di tengah desakan kolektif aliansi militer terbesar di dunia, beranikah sebuah negara mengatakan tidak? Spanyol melakukannya. Negara itu saat ini hanya mengalokasikan sekitar 1,3% dari PDB-nya untuk belanja militer, jauh di bawah target 2% yang selama ini menjadi standar NATO. Dan kini, ketika tekanan meningkat untuk menaikkannya hingga 3,5%, bahkan 5% dari PDB—Spanyol menolak. Bukan karena tidak mampu, tapi karena memilih untuk menggunakan haknya sebagai negara berdaulat.

Sikap ini menjadi penegasan bahwa tidak semua negara siap menggadaikan prioritas sosial-ekonominya demi mengejar fantasi keamanan kolektif yang mahal dan penuh syarat. Ketika Sekjen NATO—yang kini berada di bawah pengaruh kuat AS dan bekas Presiden Donald Trump—menyerukan pemotongan anggaran sosial demi pertahanan, suara seperti milik Spanyol menjadi semakin langka dan berharga. Karena siapa lagi yang masih berani bertanya: ke mana sebenarnya arah aliansi ini?

Kritik terhadap usulan belanja militer tidak datang dalam ruang hampa. Donald Trump, yang sejak masa jabatannya selalu menggaungkan tuduhan bahwa negara-negara Eropa “menumpang” pada kekuatan militer AS, kini kembali mendorong retorika lama: bayar lebih atau keluar dari perlindungan. Rutte, yang menggantikan Jens Stoltenberg sebagai Sekjen NATO, tampaknya membawa semangat Trump ini lebih jauh ke dalam forum resmi. Ia bahkan menyarankan agar negara-negara Uni Eropa memangkas program sosial demi membiayai pertahanan. Pernyataan yang, pada akhirnya, mengaburkan garis antara kebutuhan keamanan dan keinginan memperbesar industri senjata.

Kita tahu, industri militer bukanlah entitas yang berdiri tanpa kepentingan. Ia adalah bagian dari kompleks industri besar yang memerlukan pembenaran terus-menerus untuk eksistensinya. Kenaikan anggaran berarti kenaikan kontrak. Kontrak berarti keuntungan. Dan keuntungan, bagi banyak elite, lebih berharga ketimbang kesejahteraan publik. Maka tak heran jika narasi ancaman terus diproduksi, dikemas rapi, dan disalurkan ke publik lewat media dan pernyataan resmi.

Sebagaimana dikatakan Presiden Rusia, Vladimir Putin, ancaman Rusia terhadap NATO adalah kebohongan yang tak masuk akal. Di forum ekonomi internasional di St. Petersburg, ia menyebut bahwa ketakutan yang dibangun negara-negara Barat terhadap Rusia tak lebih dari dalih untuk menaikkan pajak dan mengalihkan dana publik ke kantong perusahaan senjata. Boleh jadi, Putin memiliki kepentingan dalam pernyataan itu. Tapi kita pun harus jujur bertanya: seberapa besar kebenaran yang diselipkan dalam retorika tersebut?

Karena di tengah ketegangan global yang terus membara, sulit membedakan antara ancaman nyata dan ancaman yang dibentuk demi justifikasi belanja. Bila benar Rusia akan menyerang negara-negara NATO dalam lima tahun mendatang, seperti yang disebutkan Rutte dan diamini oleh PM Inggris Keir Starmer, apakah belanja militer akan benar-benar menjamin keamanan? Ataukah itu hanya upaya menenangkan ketakutan yang mereka sendiri ciptakan?

Indonesia, meski bukan bagian dari NATO, tidak bisa memandang isu ini sebagai semata urusan Eropa. Pola pikir global yang memprioritaskan alokasi dana ke sektor militer memengaruhi arah kebijakan banyak negara berkembang. Ketika negara-negara besar menaikkan anggaran militernya, negara-negara kecil akan merasa perlu mengikuti—demi terlihat kuat, demi reputasi, demi “stabilitas nasional”. Padahal, di banyak wilayah Indonesia, infrastruktur dasar, kesehatan, pendidikan, dan pangan masih jauh dari layak.

Kita sering mendengar bahwa anggaran negara adalah cerminan dari nilai-nilai yang dipegang pemerintah. Jika demikian, nilai apa yang tercermin saat 5% dari PDB dialokasikan untuk militer, sementara layanan dasar diabaikan? Bukankah lebih tepat bila ketahanan sosial dan ekonomi dijadikan garis pertahanan pertama? Dalam masyarakat yang adil, sekolah dan rumah sakit bukan sekadar fasilitas—mereka adalah tembok pertahanan pertama dari kerusuhan, dari radikalisme, dari disintegrasi.

Surat Pedro Sanchez juga menyiratkan hal yang mendalam: bahwa menjadi sekutu tak harus berarti mengikuti semua arah yang ditetapkan pemimpin. “Sebagai sekutu yang berdaulat, kami memilih untuk tidak melakukannya.” Kalimat itu, di tengah atmosfer global yang penuh tekanan geopolitik, terasa seperti nafas segar. Ia menolak tunduk atas nama ‘kesatuan’, dan memilih jalan reflektif atas nama rakyatnya.

Format KTT NATO yang akan datang pun tampak mencerminkan betapa sedikit ruang diskusi yang tersisa. Hanya satu pertemuan kerja selama dua setengah jam—dipersingkat karena Trump tidak suka pertemuan panjang. Ironi yang pahit: aliansi pertahanan yang menentukan masa depan dunia diputuskan dalam waktu sependek itu, demi selera satu orang.

Tentu, keamanan adalah hal penting. Tapi apa artinya keamanan jika diperoleh dengan mengorbankan kebutuhan dasar? Apa gunanya aliansi yang kuat secara militer jika masyarakatnya hidup dalam ketimpangan dan ketakutan ekonomi? Dan mengapa kebijakan yang memengaruhi jutaan nyawa selalu dibungkus dalam narasi ancaman tanpa ujung?

Spanyol menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk pilihan lain. Pilihan yang tidak didasarkan pada tekanan, tapi pada pemikiran yang rasional dan keberanian menjaga prioritas rakyat. Dunia tidak selalu harus dibentuk oleh mereka yang paling keras bersuara. Kadang, suara yang pelan tapi jernih justru membawa arah yang lebih waras.

Dan kita, sebagai bagian dari masyarakat dunia, patut mempertanyakan: apakah kita ingin hidup dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh logika senjata, atau dalam dunia yang memaknai keamanan dengan keadilan dan kesejahteraan? Karena dalam ketegangan yang terus mengancam, pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi bisa ditunda.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *