Connect with us

Opini

Ketika Sirene Tak Lagi Menenangkan: Kekalahan Psikologis di Negeri Iron Dome

Published

on

Di tengah gemuruh rudal dan jerit sirene, satu pernyataan dari Menteri Transportasi Israel, Miri Regev, mencuat dan memantik kekhawatiran: “Kami tidak akan mengizinkan warga Israel untuk bepergian ke luar negeri pada tahap ini. Hanya turis, pengunjung bisnis, atau diplomat yang akan diizinkan.”

Pernyataan ini muncul lewat akun X pada 17 Juni 2025, dan seketika menjadi penanda bahwa krisis telah bergeser—bukan sekadar soal rudal yang meluncur dari langit, tapi juga tentang kegelisahan yang mengakar di tanah yang dikenal memiliki salah satu sistem pertahanan udara paling canggih di dunia.

Iron Dome yang selama ini menjadi kebanggaan Israel tampaknya tak cukup ampuh menenangkan ketakutan manusiawi. Larangan keluar negeri bukanlah kebijakan biasa, melainkan cerminan dari ketegangan yang tak lagi bisa ditutupi. Di Indonesia, kita mungkin merasa jauh dari konflik tersebut. Tapi, bayangkan sejenak: bagaimana jika sirene itu terdengar di Jakarta? Jika pesan evakuasi mendadak muncul di ponsel kita? Apakah kita akan merasa terperangkap, sebagaimana yang kini dirasakan sebagian warga Israel?

Serangan besar-besaran dari Iran menjadi latar dari kegelisahan itu. Lebih dari 400 rudal diluncurkan sejak Jumat, seperti dikutip Reuters pada 18 Juni 2025. Bagi sebagian orang, angka itu mungkin sekadar statistik. Tapi bagi mereka yang tinggal di Tel Aviv dan sekitarnya, itu berarti langit yang gelap, udara yang bergetar, dan ketidakpastian yang mencengkeram. Bahkan Iron Dome—yang selama ini menjadi simbol ketangguhan Israel—tidak bisa mencegat semuanya. Laporan The Independent pada 18 Juni 2025 menyebutkan bahwa sistem itu kewalahan. Dan ketika rudal berhasil menembus, dampaknya tragis: 13 orang tewas, 370 terluka, menurut NBC News pada 15 Juni 2025.

Dalam suasana mencekam itu, larangan perjalanan dikeluarkan. Tapi seperti banyak kebijakan darurat lainnya, tidak semua orang siap patuh. Di sisi lain, muncul fenomena baru: pelarian diam-diam menggunakan yacht. Haaretz pada 17 Juni 2025 melaporkan bahwa sejumlah warga Israel yang mampu membayar hingga 6.000 shekel demi menyewa kapal pribadi, melarikan diri ke Cyprus dari marina di Herzliya, Haifa, dan Ashkelon. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi refleksi dari rasa takut yang tidak dapat diredakan dengan pernyataan resmi pemerintah.

Jika kita berkaca ke Indonesia, kita mengenal kepanikan massal dalam konteks yang berbeda. Ingat bagaimana warga Yogyakarta mengungsi saat Merapi meletus? Atau ketika tsunami di Aceh menggulung daratan, dan masyarakat menyelamatkan diri tanpa menunggu instruksi resmi? Kita juga mengenal fenomena mudik di masa pandemi COVID-19, meski larangan pemerintah berlaku, banyak yang tetap pulang dengan cara masing-masing. Hal serupa kini terjadi di Israel. Ketika negara berkata “jangan pergi”, mereka tetap mencari jalan keluar. Sebab naluri bertahan sering kali lebih kuat daripada aturan.

Sementara itu, otoritas Israel berusaha mengelola krisis lewat strategi evakuasi udara. Reuters melaporkan bahwa hingga 150.000 warga Israel yang sedang berada di luar negeri sedang dijemput pulang lewat operasi darurat. Namun, ironisnya, mereka yang di dalam negeri justru ingin pergi. Di sinilah ketegangan menjadi semakin jelas. Apa arti “keamanan” jika rakyatnya ingin keluar dari negaranya sendiri? Apakah strategi negara cukup menenangkan bila kepercayaan publik mulai rapuh?

Kontras mencolok terlihat dari sisi Iran. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dalam pidato pada 19 Juni 2025 menegaskan posisi negaranya: perlawanan akan terus berlanjut. Tidak ada seruan evakuasi. Tidak ada publikasi kepanikan. Justru, seperti dilaporkan NBC News pada 14 Juni 2025, unjuk rasa dukungan terhadap pemerintah terjadi di Teheran. Al Jazeera memang mencatat laporan tentang penimbunan barang dan kemacetan pada 16 Juni 2025, tetapi secara naratif, Iran tampak berhasil menjaga wajah ketahanan nasional.

Tentu Iran juga menderita. Laporan dari Al Jazeera dan Times of India menyebutkan 220 hingga 639 korban tewas akibat serangan Israel. Namun yang membedakan adalah cara negara membingkai krisis: antara menonjolkan kontrol dan stabilitas, atau memperlihatkan retak dalam sistem sosial. Dan sejauh ini, Iran tampaknya berhasil mempertahankan semangat kolektif warganya.

Di titik ini, kita perlu melihat bahwa kekalahan tidak selalu diukur dari jumlah korban atau kekuatan militer. Ada dimensi lain yang kerap luput: kekalahan psikologis. Dan di sinilah Israel tengah goyah. Ketika rakyatnya sendiri mulai merasa tak aman di negaranya. Ketika larangan bepergian diiringi pelarian. Ketika publik tak lagi percaya bahwa negaranya mampu melindungi mereka. Maka Iron Dome tak lagi cukup. Sebab perang ini telah berpindah ke ranah batin, ke ruang-ruang ketakutan yang tak bisa dijangkau radar.

Di Indonesia, kita punya memori kolektif tentang bagaimana masyarakat bereaksi dalam tekanan besar. Saat pandemi melanda, saat bencana datang, atau bahkan saat konflik sosial terjadi, kita juga pernah merasa gentar. Tapi pelajaran yang muncul adalah satu: solidaritas dan ketahanan sosial menjadi pelindung terakhir ketika sistem goyah. Pertanyaannya: apakah Israel masih memilikinya?

Perang psikologis ini kini menjadi medan utama. Ketika Iran memperingatkan evakuasi untuk Tel Aviv, dan Israel membalas dengan larangan perjalanan, dunia melihat bahwa konflik bukan hanya soal rudal yang diluncurkan, tapi tentang cara bangsa merespons ancaman. Tentang bagaimana rakyat mempercayai pemerintahnya. Tentang keyakinan bahwa tanah air adalah tempat yang aman.

Laporan-laporan dari Haaretz, Reuters, hingga Al Jazeera telah memperlihatkan dengan gamblang: sistem pertahanan terbaik pun tak bisa melindungi dari keretakan kepercayaan. Dan ketika warga Israel mulai mencari kapal untuk kabur dari negaranya sendiri, maka ini bukan sekadar pelarian—ini adalah sinyal bahwa Israel tengah kalah. Bukan kalah secara militer, tapi secara psikologis. Dan dalam banyak perang, kekalahan semacam inilah yang paling sulit dipulihkan.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *