Connect with us

Opini

Ketika Rudal Iran Menembus Mitos Superioritas “Israel”

Published

on

Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi sebuah negara yang dibangun di atas mitos kekuatan mutlak selain ketika realitas menghantam tepat di jantungnya. Dalam waktu kurang dari dua pekan, Iran membuktikan bahwa superioritas militer “Israel” bukanlah takdir yang tak tergoyahkan, melainkan konstruksi yang rapuh—siap runtuh saat diguncang oleh keberanian dan ketepatan.

“Israel”, yang selama ini dikenal dengan keangkuhannya dalam percaturan militer Timur Tengah, kini harus menelan pil pahit: 18.000 warganya menjadi tunawisma, lebih dari 3.000 luka-luka, dan ribuan lainnya dikepung trauma yang tak terlihat. Tak satu pun dari tiga tujuan strategis yang dicanangkan Benjamin Netanyahu dalam perang melawan Iran berhasil dicapai. Bahkan lebih buruk: mereka tak hanya gagal, mereka dipermalukan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Retorika yang Runtuh

Perang ini dimulai dengan fanfare yang dikenal publik dunia: Netanyahu mendeklarasikan bahwa operasi militer terhadap Iran ditujukan untuk menghancurkan program nuklirnya, memusnahkan kemampuan misil balistiknya, dan memutus pendanaannya terhadap kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Hamas.

Tetapi seperti semua ambisi yang lahir dari kesombongan, narasi itu meledak di udara—bersama rudal-rudal Iran yang melesat menembus langit “Israel”.

Laporan dari Haaretz sendiri—bukan media Iran, bukan suara perlawanan—mengonfirmasi bahwa Iran masih memiliki persediaan uranium yang cukup untuk beberapa senjata nuklir. Bahwa program misilnya tetap berdiri, dan bahwa tak ada mekanisme yang menghentikan dukungan Iran terhadap jaringan perlawanan regional.

Retorika Netanyahu berubah menjadi ironi tragis. Seorang pemimpin yang ingin tampil seperti penyelamat nasional malah menjadi simbol kegagalan strategis paling memalukan dalam sejarah negeri itu.

Pemerintah Absen, Rakyat Menjerit

Saat rudal-rudal Iran menghantam fasilitas militer dan strategis di tanah pendudukan, rakyat yang selama ini dipompa dengan retorika keamanan oleh negara, justru dibiarkan sendirian. Tak ada koordinasi, tak ada sistem evakuasi terpadu, tak ada kehadiran negara. Di mana kekuatan super yang selama ini dibanggakan?

Data dari Komite Pengawas Negara “Israel” menyebutkan 45.000 lebih klaim kompensasi telah diajukan. Dari kerusakan rumah, kendaraan, hingga fasilitas umum. Namun, lebih dari itu adalah klaim-klaim batin rakyat yang dikhianati oleh negaranya sendiri: para pengungsi yang tidur di hotel tanpa tahu apa hak mereka, anak-anak yang menyaksikan kehancuran rumah mereka, dan orang-orang tua yang tak tahu ke mana lagi harus pergi.

Knesset sendiri mengecam bahwa kegagalan seperti ini telah berulang selama dua dekade. Seolah-olah negara ini hanya tahu bagaimana berperang, tapi tidak pernah belajar bagaimana menyelamatkan warganya.

Iran Tidak Hanya Menyerang, Tapi Menghancurkan Ilusi

Lebih dari 50 misil Iran menghantam fasilitas strategis, termasuk pusat riset dan markas militer, seperti Weizmann Institute—sesuatu yang bahkan tidak dikonfirmasi secara terbuka karena sensor pers militer.

Sensor itu menyembunyikan bukan hanya data kerusakan, tetapi juga rasa malu nasional. Tidak ada tentara yang bisa melindungi harga diri nasional jika masyarakat sudah tidak percaya pada negara. Dan sensor yang diberlakukan hanya menambah aroma busuk ketakutan yang coba disembunyikan.

Iran tidak sekadar mengirim misil; mereka mengirim pesan: “Kami tidak takut.” Dan lebih penting lagi, “Kalian pun bisa terluka.”

Perang Ini Tidak Dimenangkan di Medan Tempur, Tapi di Dalam Kesadaran

Perang ini mungkin telah selesai secara militer. Tapi efeknya sedang membusuk di dalam kesadaran kolektif masyarakat “Israel”. Trauma meningkat, klinik-klinik kejiwaan penuh sesak, dan para pasien—baru maupun lama—kembali ke ruang konsultasi dengan luka yang lebih dalam dari sekadar fisik.

Dalam waktu singkat, Iran menyalakan api yang membakar keyakinan paling dalam dari masyarakat “Israel”: bahwa mereka aman. Bahwa pertahanan udara mereka tak tertembus. Bahwa perang hanya akan dirasakan oleh musuh-musuh mereka—bukan oleh anak-anak mereka sendiri.

Dan ketika mitos keamanan itu hancur, tak ada lagi kekuatan yang bisa menyatukan bangsa itu. Yang tersisa hanyalah rasa takut dan saling menyalahkan.

Netanyahu dan Politik yang Memakan Rakyatnya Sendiri

Netanyahu boleh saja menjadi politisi terlama yang menjabat sebagai perdana menteri dalam sejarah “Israel”, tetapi ia juga bisa jadi akan dikenang sebagai pemimpin yang menjerumuskan bangsanya ke dalam krisis strategis, sosial, dan psikologis yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Perang ini menjadi semacam cermin buruk dari kepemimpinannya: otoriter, tidak terkoordinasi, penuh ambisi kosong, dan yang paling penting—tanpa tanggung jawab.

Sementara para pemukim terluka dan kehilangan rumah, Netanyahu dan kabinetnya saling lempar tanggung jawab. “Siapa yang seharusnya memimpin koordinasi?” tanya para anggota parlemen. Jawabannya tak pernah jelas, karena dalam sistem yang penuh kepalsuan dan obsesi akan kekuasaan, tak ada ruang untuk pertanggungjawaban.

Dunia Melihat, dan Dunia Tertawa Hambar

Mungkin yang paling ironis adalah bahwa dunia—terutama publik dunia Global South—tidak lagi terkejut dengan kegagalan “Israel”. Dalam konteks kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di Gaza, dunia melihat perang ini sebagai bentuk karma. Balasan alam atas kejahatan yang selama ini dibungkus dengan narasi “pembelaan diri”.

Maka tidak aneh jika di banyak kota dunia, dari Teheran hingga Caracas, dari Beirut hingga Cape Town, perang ini justru dirayakan sebagai kemenangan simbolik: bahwa “Israel” bukanlah monster yang tak terkalahkan. Bahwa keberanian masih bisa menembus baju zirah teknologi tercanggih.

Penutup: Deterensi Itu Nyata

Truth is, we were deterred,” tulis Haaretz. Sebuah kalimat yang pendek, tapi berdarah. Dalam konteks geopolitik, deterensi bukan hanya soal siapa yang memiliki senjata lebih besar, tetapi siapa yang berani menggunakannya dan siap menanggung risikonya.

Iran telah membuktikan bahwa mereka tidak hanya memiliki kekuatan, tapi juga keberanian. Dan ketika keberanian bertemu akurasi, bahkan negara dengan senjata nuklir pun bisa bertekuk lutut secara psikologis.

Maka, jika perang ini punya satu pelajaran utama: mitos itu bisa hancur. Dan ketika sebuah mitos kekuatan hancur, yang tersisa hanyalah realitas getir tentang ketidaksiapan, kehancuran moral, dan masa depan yang mengguncang.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer