Opini
Ketika Reuters Bungkam Soal Genosida Gaza

Bayangkan sebuah dunia di mana kata-kata bisa menyelamatkan nyawa, tetapi justru dipelintir agar penderitaan terlihat normal. Bayangkan sebuah ruang redaksi yang katanya menjunjung tinggi objektivitas, tetapi lebih memilih menyebut “perang” ketimbang “genosida,” seakan-akan ribuan jasad anak-anak di Gaza hanyalah korban sampingan dari sebuah duel ksatria. Ironis, bukan? Dunia sedang terbakar, tetapi media besar justru meniup asap ke mata kita, membuat pandangan kabur, seolah-olah kebenaran itu sekadar opsi, bukan kewajiban.
Reuters, kantor berita yang selama puluhan tahun menjadi acuan global, kini tengah disorot bukan karena prestasinya, melainkan karena pilihannya bungkam pada istilah paling tepat: genosida. Dari ratusan laporan tentang Gaza, hanya segelintir yang berani menuliskan kata itu, itupun dibungkus dengan kalimat penyangkalan dari Israel. Seakan-akan menyebut genosida itu dosa, sementara membiarkan ratusan ribu kematian menjadi statistik dingin adalah bentuk kebajikan jurnalistik. Saya rasa, di titik ini, absurditas telah berubah menjadi norma.
Ada yang lebih memilukan lagi. Di saat Reuters berhati-hati memilih kata agar tidak menyinggung penguasa, ratusan jurnalis Palestina telah terbunuh. Mereka bukan sekadar “kolateral damage.” Mereka diburu. Mereka diincar. Gaza kini tercatat sebagai zona paling mematikan bagi jurnalis sejak perang saudara Amerika. Namun, di mata media arus utama, fakta ini tak layak jadi headline, hanya sisipan. Ironi itu menusuk: mereka yang mati demi menyuarakan kebenaran justru dilupakan oleh mereka yang hidup dari industri kebenaran.
Dalam laporan internal yang bocor, sejumlah jurnalis Reuters sendiri mengaku resah dengan keberpihakan redaksi. Mereka sampai menulis 26 halaman penuh kritik terhadap gaya liputan perusahaan. Ada yang akhirnya memilih mundur, menulis email perpisahan yang getir: “Nilai saya tak lagi sejalan dengan perusahaan.” Bayangkan, jurnalis yang memenangkan Pulitzer bersama Reuters, kini harus melihat mantan kantornya menulis berita tentang kematiannya dengan diksi seakan-akan ia adalah anggota milisi. Anas al-Sharif bukan hanya dibunuh oleh peluru Israel, tetapi juga oleh kalimat-kalimat Reuters yang menolak menyebutnya sebagai apa adanya: jurnalis.
Kita semua tahu, bahasa bukan sekadar kata. Bahasa adalah senjata. Ketika Reuters menyebut tragedi Gaza sebagai “war,” publik membayangkan dua pihak setara. Padahal, faktanya timpang: puluhan ribu warga sipil Palestina dibantai, sementara jumlah korban di pihak Israel jauh lebih sedikit. Dalam metafora sederhana: ini bukan duel tinju, melainkan pemukulan massal, di mana satu pihak diikat tangannya lalu dihajar habis-habisan. Tapi Reuters memilih menyebutnya pertarungan. Betapa manisnya eufemisme itu bagi telinga mereka yang tak mau peduli.
Saya teringat pada cara media Barat meliput Ukraina. Rusia langsung dicap “penjahat perang,” bahkan “genosida” muncul dengan ringan di layar-layar mereka. Tak ada keraguan, tak ada penyangkalan yang lebih menonjol daripada tuduhan. Tetapi saat menyangkut Israel, standar itu tiba-tiba menguap. Kata “genosida” hanya muncul 14 kali dari 300 laporan Reuters, itupun hampir selalu dalam bentuk: “Israel denies genocide.” Kalau bukan ironi, apa namanya? Jika ini bukan standar ganda, maka mungkin definisi objektivitas sudah dimonopoli oleh kekuasaan.
Masalahnya bukan hanya semantik. Masalahnya adalah dampak. Reuters, dengan jangkauan miliaran pembaca, menjadi rujukan banyak media lain. Apa yang mereka tulis disalin ulang, dibagikan, disebarkan ke seluruh dunia. Jadi ketika Reuters memilih kata “conflict,” maka jutaan orang akan melihat Gaza hanya sebagai “konflik.” Padahal, “konflik” itu terdengar biasa saja—seperti cekcok di jalan raya. Bagaimana kita bisa membangkitkan empati global jika bahasa yang dipakai sejak awal sudah menumpulkan rasa?
Apakah ini sekadar kelalaian? Rasanya terlalu naif untuk percaya itu. Ada tekanan geopolitik, ada kepentingan bisnis, ada lobi yang kuat. Media besar bukan sekadar perekam peristiwa, mereka juga bagian dari arsitektur kekuasaan global. Mereka tahu betul apa yang mereka tulis, dan apa yang mereka sembunyikan. Craig Mokhiber, mantan pejabat HAM PBB, sudah menuliskannya: media Barat secara sadar menutupi genosida, mendistorsi realitas, dan mendewakan narasi Israel. Apa bedanya dengan propaganda, kalau pada akhirnya fungsi informasi justru menjadi alat pembenaran?
Sebagian orang mungkin akan berkata: “Ya sudah, jangan baca Reuters, cari media lain.” Tapi tak semudah itu. Reuters adalah sumber primer bagi ribuan media di dunia, termasuk di Indonesia. Ketika mereka bias, bias itu menetes ke bawah, merembes ke koran lokal, ke portal berita daring, hingga akhirnya sampai ke grup WhatsApp keluarga kita. Kita pikir kita membaca berita, padahal kita sedang menelan framing. Inilah kenapa kritik terhadap Reuters penting, bukan sekadar soal Gaza, tapi soal masa depan jurnalistik itu sendiri.
Di Indonesia, kita pernah merasakan bagaimana media bisa memainkan narasi untuk kepentingan tertentu. Kadang isu kecil bisa dibesar-besarkan, kadang tragedi besar dipoles jadi berita biasa. Dan kita semua tahu, ketika kata-kata dimanipulasi, maka ingatan kolektif kita juga dimanipulasi. Apa yang nanti anak cucu kita baca tentang Gaza, mungkin bukan tentang genosida, tapi tentang “perang.” Bukan tentang ribuan anak yang terkubur, tapi tentang “konflik berkepanjangan.” Betapa mengerikannya jika sejarah ditulis dengan bahasa yang sengaja dilembutkan.
Reuters mungkin akan berdalih bahwa mereka menjaga “imparsialitas.” Tapi apa artinya imparsial ketika realitas sudah begitu jelas? Apakah menyebut “genosida” ketika ribuan mayat bergelimpangan dianggap tidak netral? Apakah menyebut “Palestina” ketika jutaan orang kehilangan tanahnya adalah sikap politik? Jika netral berarti mengaburkan fakta, maka netralitas itu tak lebih dari pengkhianatan terhadap kebenaran.
Pada akhirnya, kita harus belajar membaca media dengan kacamata kritis. Reuters, BBC, CNN, New York Times—mereka semua masih bisa menjadi sumber informasi. Tapi jangan pernah berhenti bertanya: apa yang mereka pilih untuk ditulis, dan apa yang mereka sengaja hilangkan? Kita harus berani melengkapi dengan sumber lain: laporan NGO, jurnalis independen, bahkan suara dari warga Gaza sendiri. Karena di dunia yang penuh manipulasi ini, kebenaran tidak lagi turun dari atas, tapi harus kita gali sendiri.
Dan saya rasa, saat melihat ironi ini, kita tak bisa hanya marah. Kita juga harus tersenyum getir. Sebab di era ketika kamera dan pena seharusnya lebih tajam daripada senjata, ternyata bahasa pun bisa dijadikan alat pembantaian. Gaza dihancurkan dengan bom, tetapi narasinya dihancurkan dengan diksi. Dan Reuters memilih menjadi bagian dari penghancuran itu.