Connect with us

Opini

Ketika Rakyat Melawan Kebijakan Pro-Zionis

Published

on

Di tengah gemerlap lampu kota dan hiruk pikuk rutinitas harian, ada denyut protes yang pelan-pelan mengalun menjadi riuh. Bukan di tanah yang langsung mencium debu Gaza, bukan pula di jalan-jalan yang dipenuhi pos pemeriksaan militer. Denyut itu terdengar di Oslo, Berlin, dan Washington—tempat di mana demokrasi sering dipajang di etalase, tetapi kebijakan luar negeri terkadang terasa seperti produk cacat yang tetap dijual mahal. Ada pemandangan yang menggelitik ironi: ketika rakyat bersuara lantang menolak agresi zionis, pemerintah mereka justru menambah stok senjata dan mengirim dukungan politik.

Norwegia, negeri yang citranya kerap diasosiasikan dengan Nobel Perdamaian, ternyata bukan pengecualian. Warganya turun ke jalan, membawa poster dan bendera Palestina, menyerukan penghentian kekerasan di Gaza. Mereka tahu betul bahwa solidaritas bukan sekadar kata indah di pidato pejabat, tetapi aksi yang harus menembus dinginnya kebijakan yang beku. Di Jerman, negara yang secara historis memiliki beban sejarah besar terhadap Yahudi, kini terjadi perubahan signifikan dalam opini publik. Laporan menunjukkan mayoritas rakyat mulai mendesak pemerintah untuk menekan zionis demi kemanusiaan Gaza. Di Amerika Serikat, fenomenanya bahkan lebih dramatis. Survei menunjukkan mayoritas warga menolak serangan militer zionis di Gaza, sebuah sikap yang berseberangan dengan kebijakan resmi Washington yang terus memasok bantuan militer dan politik.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Apa artinya semua ini? Dalam demokrasi ideal, suara rakyat adalah kompas moral dan politik negara. Namun kenyataan sering kali lebih sinis: pemerintah bisa saja menutup telinga rapat-rapat sambil pura-pura sibuk menyesap kopi diplomasi. Ketika kebijakan pro-zionis tetap berjalan di tengah penolakan publik, pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah pemerintah mendengar, melainkan apakah mereka peduli. Seolah ada jurang yang makin lebar antara rakyat yang menuntut keadilan dan elit yang nyaman bernegosiasi di ruang ber-AC dengan perwakilan lobi politik.

Kekuatan opini publik bukanlah mitos. Sejarah modern penuh dengan contoh di mana suara massa berhasil membelokkan arah kebijakan negara. Perang Vietnam adalah salah satu bukti: tekanan domestik yang masif memaksa AS menarik pasukannya, meski awalnya pemerintah mati-matian mempertahankan intervensi militer. Di Afrika Selatan, gerakan anti-apartheid internasional—didorong oleh protes publik di berbagai negara—memaksa pemerintah dunia untuk menjatuhkan sanksi ekonomi dan diplomatik. Artinya, rakyat memang bisa mengubah kebijakan, tapi hanya jika protes mereka konsisten, massif, dan terorganisir.

Masalahnya, pemerintah yang sudah kadung bersandar pada aliansi strategis sering memperlakukan aspirasi rakyat seperti musik latar: terdengar, tapi tidak mempengaruhi arah langkah. Di Jerman, tekanan terhadap zionis masih dihadapkan pada kendala politik domestik—rasa bersalah historis, kekuatan lobi, dan narasi keamanan regional. Di AS, industri pertahanan dan kelompok lobi pro-zionis punya pengaruh yang membuat politisi ragu memutus tali dukungan, meski rakyatnya sudah memberi sinyal jelas. Bahkan di Norwegia, yang relatif kecil pengaruhnya dalam geopolitik global, keberanian pemerintah untuk mengubah sikap sering kali diikat oleh kalkulasi diplomatik dan ekonomi.

Tetapi di balik itu, ada tanda-tanda pergeseran penting. Media sosial menjadi medan utama di mana opini publik dibentuk dan disebarkan tanpa sensor pemerintah. Rekaman video serangan di Gaza, foto anak-anak yang menjadi korban, dan laporan lapangan jurnalis independen langsung sampai ke layar ponsel warga di Eropa dan Amerika. Ini menciptakan rasa kedekatan emosional yang tak bisa dibendung oleh propaganda resmi. Bahkan, di beberapa kasus, narasi media arus utama yang cenderung bias mulai ditantang oleh gelombang informasi dari akar rumput.

Konteks ini juga relevan bagi kita di Indonesia. Meski jarak ribuan kilometer memisahkan Jakarta dari Gaza, isu Palestina tetap menjadi urat nadi politik luar negeri kita. Pemerintah Indonesia selama ini konsisten menyuarakan dukungan terhadap Palestina, tetapi solidaritas rakyat jauh melampaui sekadar diplomasi. Demonstrasi, penggalangan dana, hingga kampanye di media sosial menunjukkan bahwa isu ini bukan sekadar wacana politik, tetapi bagian dari kesadaran kolektif. Namun, kita juga tahu, di negeri-negeri yang pemerintahnya justru pro-zionis, perjuangan rakyat mereka lebih berat. Mereka harus melawan arus kebijakan yang justru memihak pelaku agresi.

Fenomena ini menarik: rakyat di negara-negara pendukung zionis tidak sedang membela “pihak luar” semata, mereka sedang membela integritas moral negara mereka sendiri. Mereka menolak menjadi bagian dari sejarah yang memihak penindas. Ada semacam pembangkangan moral yang, meski tidak selalu tercatat di berita utama, perlahan mengikis legitimasi kebijakan pro-zionis. Dan inilah yang membuat pemerintah, cepat atau lambat, harus merespons—entah dengan retorika simbolis atau dengan perubahan kebijakan nyata.

Kita mungkin tergoda untuk skeptis: bukankah lobi politik dan kepentingan ekonomi terlalu kuat untuk dilawan? Betul, tetapi sejarah membuktikan bahwa opini publik yang konsisten bisa menjadi faktor penentu. Bahkan jika tidak mengubah kebijakan secara langsung, tekanan dari rakyat bisa membatasi ruang gerak pemerintah, memaksa mereka mengubah retorika, atau menunda langkah-langkah strategis yang terlalu kontroversial. Di era digital, reputasi internasional sebuah negara bisa hancur hanya karena satu kebijakan yang dianggap melanggar nilai kemanusiaan.

Yang lebih penting, gerakan rakyat ini membongkar kemunafikan yang selama ini dibiarkan menggantung di udara. Pemerintah Barat gemar mengajar negara lain tentang demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi di saat yang sama menutup mata terhadap pelanggaran serius jika pelakunya adalah sekutu strategis. Ironi ini kini terekspos terang-terangan, dan rakyat mereka sendirilah yang memegang lampu sorotnya.

Jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas, apa yang terjadi di Norwegia, Jerman, dan AS adalah cermin bahwa demokrasi tidak pernah selesai di kotak suara. Pemilu mungkin memberi pemerintah mandat, tapi mandat itu tidak berarti cek kosong untuk mengabaikan suara rakyat di antara dua periode pemilihan. Demonstrasi, petisi, dan gelombang opini publik adalah bagian sah dari mekanisme koreksi dalam demokrasi. Bahkan, di saat pemerintah mengabaikan, rakyat bisa menjadi satu-satunya pengingat bahwa kemanusiaan tak boleh dikorbankan demi geopolitik.

Pada akhirnya, pertanyaan yang lebih menggelitik adalah: apakah protes ini akan menjadi sekadar catatan kaki dalam sejarah, ataukah akan tercatat sebagai titik balik di mana rakyat memaksa pemerintah mereka berpaling dari kebijakan pro-zionis? Jawabannya tergantung pada apakah protes itu bertahan, menguat, dan menemukan bentuk tekanan yang efektif. Jika tidak, pemerintah akan tetap berjalan di jalur lama, dengan sesekali melirik ke belakang untuk memastikan gelombang perlawanan itu tidak terlalu tinggi.

Bagi rakyat yang sudah berdiri di jalan-jalan Berlin, Washington, dan Oslo, perjuangan ini mungkin terasa seperti menabrak tembok. Tapi sejarah selalu berpihak pada mereka yang menolak diam di hadapan ketidakadilan. Dan jika suara-suara itu terus menggaung, suatu hari nanti, tembok itu bisa saja retak—bukan karena satu pukulan besar, tetapi karena ribuan ketukan kecil yang tak pernah berhenti.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer