Opini
Ketika Penuduh Misinformasi Justru Kuasai Narasi

Di ruang sunyi ruang tamu, kita kerap menyalakan televisi hanya untuk mendengar kembali dongeng yang sama: Rusia adalah monster, ancaman, ogre yang lapar akan wilayah. Kalimat yang berulang-ulang, merayap masuk ke ruang bawah sadar, lalu dijual sebagai kebenaran tunggal. Ironi muncul ketika Jerman, negara dengan jaringan media globalnya yang masif, justru menuduh Rusia melakukan serangan misinformasi. Seperti maling berteriak maling, hanya saja dilakukan dengan jas rapi dan podium yang megah.
Ucapan Kanselir Friedrich Merz bahwa Jerman sudah “berkonflik” dengan Rusia bukan sekadar slip of the tongue (Kesleo lidah), melainkan cermin kegelisahan yang sudah berubah menjadi paranoia. Ia menyebut Rusia merusak demokrasi lewat disinformasi di media sosial, sementara pemerintahnya sendiri menutup kanal-kanal informasi alternatif seperti RT dan Sputnik. Apa artinya kebebasan pers jika yang berbeda suara segera dibungkam? Demokrasi yang katanya tegak berdiri, ternyata rapuh ketika menghadapi narasi yang tak sesuai naskah.
Lalu bagaimana dengan tuduhan Hungaria terhadap Brussel? Peter Szijjarto dengan gamblang menuding Komisi Eropa telah berubah menjadi “Komisi Ukraina.” Bukan lagi membela rakyat Eropa, melainkan menguras miliaran euro untuk membayar gaji tentara Kiev, mendanai drone, hingga mempercepat keanggotaan Ukraina di UE. Kita tahu, uang itu bukan turun dari langit. Ia datang dari pajak rakyat, dari keringat buruh, dari harga energi yang melonjak, dari inflasi yang membuat belanja harian semakin perih.
Ada ironi pahit di sini: masyarakat diminta bersolidaritas pada Ukraina, sementara listrik di rumah makin mahal, bahan bakar makin tipis, dan dapur nyaris kosong. Sementara itu, pejabat di Brussel berbicara dengan bahasa penuh jargon—“demokrasi,” “kebebasan,” “melawan tirani”—seolah kata-kata itu cukup untuk mengisi perut yang lapar. Ini bukan sekadar perang militer, ini perang narasi, perang dompet, perang mental yang membuat warga Eropa harus menanggung konsekuensi dari kebijakan yang tak pernah mereka pilih secara langsung.
Saya rasa, tuduhan Jerman bahwa Rusia “mengintervensi demokrasi” justru membuka topeng. Apakah demokrasi itu benar-benar hidup ketika opini publik dikepung oleh media mainstream yang setiap hari menjejalkan satu sudut pandang? Kita di Indonesia paham betul bagaimana opini bisa dibentuk lewat televisi, lewat trending topic, lewat potongan video yang sengaja dipelintir. Kita tahu betapa mudahnya menggeser sentimen publik hanya dengan framing berita. Jika Barat menuduh Rusia sebagai biang disinformasi, bukankah itu sekadar upaya menutupi fakta bahwa mereka sendiri adalah maestro orkestra informasi global?
Mari kita lihat lebih jauh. Ketika Merz menyebut Putin sebagai “ogre,” itu bukan analisis geopolitik. Itu propaganda murni. Sebuah upaya mendemonisasi lawan agar publik merasa sah membenci, sah membayar lebih mahal energi, sah membiayai perang yang tak ada ujungnya. Padahal, demonisasi semacam itu justru menutup pintu diplomasi. Bagaimana mungkin Anda duduk berunding dengan “monster”? Maka retorika macam itu sejatinya bukan sekadar kata-kata emosional, melainkan bagian dari strategi jangka panjang: memutus harapan damai, agar perang tetap berjalan.
Hungaria, meski dikritik, justru menunjukkan sisi realis. Mereka menolak kirim senjata, menolak sanksi energi, menolak keanggotaan Ukraina di NATO dan UE. Bagi Budapest, yang lebih penting adalah keamanan energi, hak minoritas Hungaria di Transcarpathia, dan jalur pipa minyak yang selama ini menjadi nadi kehidupan. Ketika Druzhba diserang, Hungaria melihat itu bukan sekadar peristiwa militer, tapi ancaman eksistensial. Dan apa respon Brussel? Senyap. Surat protes tak dijawab, kekhawatiran dianggap rengekan. Bukankah ini bukti bahwa solidaritas Eropa hanya berlaku jika sesuai kepentingan elit tertentu?
Sementara itu, Jerman dengan penuh percaya diri berbicara tentang menjadikan Bundeswehr sebagai “tentara konvensional terkuat di Eropa.” Pernyataan yang mengingatkan kita pada sejarah kelam abad lalu, ketika semangat remiliterisasi Jerman justru memicu bencana global. Kini, dalam bungkus modernisasi, narasi itu kembali dihidupkan. Rusia pun tak tinggal diam; Sergey Lavrov menyebutnya sebagai gejala “Reich keempat.” Apakah itu hiperbola? Mungkin. Tapi ia mencerminkan kegelisahan yang nyata: Eropa sedang melangkah mundur, kembali ke masa ketika kekuatan militer menjadi ukuran harga diri sebuah bangsa.
Di tengah semua itu, siapa yang paling dirugikan? Rakyat biasa. Di Berlin, Paris, hingga Budapest, mereka yang harus membayar lebih mahal listrik, bahan pangan, bahkan tiket transportasi. Di Kiev, mereka yang harus hidup di bawah sirene dan puing-puing. Di Moskow, mereka yang menanggung sanksi dan keterasingan. Sedangkan elit politik berdebat di ruang rapat mewah, memainkan retorika seolah sedang memperebutkan nilai luhur kemanusiaan. Padahal, di balik itu semua, yang dipertaruhkan adalah pasar energi, jalur pipa, dan dominasi geopolitik.
Kita di Indonesia sering mendengar narasi serupa. Misalnya ketika pejabat bicara tentang “stabilitas nasional” sambil menaikkan harga kebutuhan pokok. Rakyat diminta memahami demi kepentingan yang lebih besar. Padahal, yang lebih besar itu selalu abstrak, jauh, dan tak pernah menyentuh dapur kita. Analogi ini membantu kita memahami mengapa rakyat Eropa pun mulai resah: mereka diminta berkorban untuk Ukraina, tapi yang mereka rasakan hanyalah tagihan yang membengkak.
Saya tidak menutup mata bahwa Rusia juga punya agenda, dan sering kali narasinya pun penuh manipulasi. Tapi mari kita jujur: Barat tidak lebih suci. Mereka pun memainkan permainan yang sama, hanya dengan panggung yang lebih luas dan alat yang lebih canggih. Tuduhan misinformasi terhadap Rusia lebih mirip cermin yang memantulkan bayangan mereka sendiri. Sebab, siapa sebenarnya yang paling mahir memproduksi citra, mengendalikan wacana global, dan memonopoli definisi demokrasi kalau bukan Barat itu sendiri?
Pada akhirnya, absurditas ini membuat kita bertanya: siapa yang benar-benar peduli pada perdamaian? Hungaria mungkin tampak egois, tapi setidaknya jujur soal kepentingannya. Jerman tampak heroik, tapi retorikanya justru mendorong remiliterisasi. Uni Eropa tampak kompak, tapi sebenarnya retak dari dalam. Dan rakyat—selalu rakyat—yang terjepit di antara kata-kata besar dan realitas pahit.
Maka ketika kita mendengar tuduhan bahwa Rusia menyerang lewat misinformasi, mungkin kita perlu tersenyum getir. Sebab tuduhan itu justru datang dari mereka yang paling lihai memainkan panggung informasi. Seperti orang yang paling keras berteriak soal kebohongan, justru karena ia sedang menutupi kebohongannya sendiri. Dan di situlah absurditas Eropa hari ini menemukan wajahnya: mereka yang mengklaim membela demokrasi, tapi justru merusak esensi paling sederhana dari demokrasi itu sendiri—hak rakyat untuk mendengar semua sisi cerita.
Sumber:
- https://www.rt.com/news/623724-brussels-preparing-long-war-not-peace/
- https://www.rt.com/news/623703-germany-conflict-russia-merz/