Connect with us

Opini

Ketika Pembunuhan Jurnalis Jadi Strategi Militer Israel

Published

on

Jumlah jurnalis yang gugur di Gaza kini telah mencapai 228 orang. Angka ini bukan sekadar statistik, bukan pula sekadar deretan nama di barisan berita duka, melainkan peta nyawa yang sengaja dipetakan ulang oleh rudal-rudal Israel. Terbaru, Ismail Abu Hatab, seorang jurnalis yang tidak hanya memotret reruntuhan bangunan, tapi juga menyusun narasi dari puing-puing kemanusiaan, turut gugur. Konon, dia pernah menggelar pameran foto di luar negeri. Barangkali itulah dosanya: terlalu berani menunjukkan wajah asli penjajahan ke dunia internasional. Sebuah keberanian yang di mata Israel jelas tidak bisa dibiarkan hidup terlalu lama.

Israel, tentu saja, akan memberikan pernyataan standar: “Kami sedang menyelidiki.” Pernyataan itu biasanya diikuti dengan ekspresi muka serius dari jubir militer berseragam lengkap, dilatari bendera biru-putih dengan bintang enam sudut. Mereka menyelidiki—konon—mengapa seorang jurnalis bisa berada di tempat yang ‘tidak seharusnya’. Sebuah tempat yang kebetulan juga adalah tempat lahirnya, rumahnya, keluarganya, dan semua kenangan yang belum sempat ia tulis. Ya, menurut logika zionis, jurnalis Palestina seharusnya bekerja dari planet lain, bukan dari Gaza. Apalagi kalau mereka membawa kamera. Kamera, bagi Israel, lebih berbahaya daripada roket. Karena kamera bisa merekam kebohongan. Dan kebohongan, kalau terekam, bisa jadi bumerang yang menyakitkan, bahkan bagi mereka yang sudah kebal malu.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang menarik, Israel selalu mengklaim sebagai negara demokrasi satu-satunya di Timur Tengah. Tapi jenis demokrasinya ini agak unik: mereka percaya pada kebebasan pers, asal persnya tidak menulis apa-apa. Mereka menjunjung tinggi hak asasi manusia, asalkan manusianya bukan Palestina. Dan mereka sangat peduli pada akuntabilitas, selama tidak ada yang mempertanyakan angka-angka korban sipil. Bahkan di tanah air, kita punya istilah untuk tipe demokrasi seperti ini: demokrasi ala kadarnya, versi militeris, anti kritik, dan sangat pro-imunitas internasional.

Israel tahu benar bahwa membunuh jurnalis adalah cara tercepat untuk membunuh kebenaran. Kalau mereka menargetkan milisi, bisa jadi dunia akan tanya: mana buktinya? Tapi kalau mereka membunuh orang yang pegang kamera, bukti itu ikut terkubur bersama jenazahnya. Praktis, efisien, dan tentu saja… tidak terlalu menyita waktu media briefing.

Dan memang, di dunia pasca-fakta seperti sekarang, siapa yang peduli pada jurnalis? Lebih banyak orang menghabiskan waktu mengedit selfie daripada membaca laporan lapangan. Jadi ketika satu jurnalis mati, dunia hanya mengangkat bahu. Dua jurnalis mati, orang mulai berhenti membagikan infografis. Tiga jurnalis mati, akun-akun media sosial berganti topik: kembali ke gosip selebriti. Tapi 228? Ah, itu level statistik. Statistik, seperti biasa, punya kemampuan magis untuk membuat kita kehilangan empati.

Padahal jurnalis seperti Abu Hatab bukan hanya peliput. Ia penjaga ingatan. Ia saksi. Ia pengumpul serpih-serpih kemanusiaan di antara bom fosfor dan puing sekolah. Ia menulis bukan untuk viral, tapi karena kalau ia tidak menulis, dunia akan hanya mengenal Gaza dari peta—dan bukan dari darah yang mengalir di sana setiap hari.

Tapi di mata Israel, semua itu adalah ancaman. Apa jadinya jika dunia tahu bahwa yang dibunuh bukanlah militan, tapi anak-anak yang sedang bermain layangan? Atau bahwa rumah sakit tidak diserang karena menyembunyikan senjata, melainkan karena menyembuhkan terlalu banyak orang Palestina? Maka sebelum dunia sadar, jurnalisnya harus diamkan dulu. Bungkam. Redam. Kubur.

Tentu saja, para jurnalis itu tidak membawa senjata. Tidak punya pangkalan militer. Tidak ikut pelatihan perang. Tapi mereka membawa sesuatu yang lebih berbahaya: kata. Dan kata, kalau sampai jatuh ke tangan netizen yang masih punya empati, bisa jadi mimpi buruk buat reputasi Israel. Maka peluru lebih cepat daripada klarifikasi. Daripada repot-repot menghadapi kecaman internasional, lebih baik matikan sumbernya langsung. Tidak perlu repot berdebat. Toh, jurnalis yang mati tidak akan bisa membuat thread panjang di Twitter/X.

Yang lebih absurd adalah ketika negara-negara Barat ikut menyebarkan narasi bahwa “kami mengutuk kekerasan terhadap jurnalis, tapi mari kita lihat dulu situasinya secara objektif.” Objektif? Coba bayangkan bila seorang jurnalis CNN tewas dibom saat meliput konflik—apa reaksi mereka? Tapi karena yang terbunuh adalah jurnalis Palestina, mendadak objektivitas menjadi tameng untuk ketidakpedulian.

Di Indonesia, kita mengenal pepatah: siapa yang menanam, dia yang menuai. Tapi tampaknya Israel sedang asyik menanam teror dan menuai diam. Mereka menanam kebohongan, dan menuai pengakuan diplomatik. Mereka menanam apartheid, dan menuai paket bantuan militer. Sungguh, keajaiban abad ini bukan pada teknologi AI, tapi pada kemampuan sebuah negara kolonial menjual dirinya sebagai korban sambil terus membantai warga sipil setiap hari.

Ada yang bilang Israel takut pada Hamas. Tapi yang lebih mereka takutkan adalah jurnalis yang menyaksikan kejahatan mereka secara langsung. Karena Hamas bisa mereka labeli sebagai teroris. Tapi jurnalis? Terlalu rumit. Maka lebih baik dibereskan saja—biar tidak merepotkan di kemudian hari. Seperti pepatah mereka sendiri (yang tentu saja tidak pernah mereka katakan secara terbuka): “Satu foto bisa menghancurkan satu batalion propaganda.”

Lalu dunia? Dunia menonton. Dunia berdoa. Dunia berdiskusi di forum PBB yang dipenuhi jargon-jargon legal yang tak pernah benar-benar mencegah apapun. Dunia menunggu “penyelidikan yang transparan,” meskipun hasilnya bisa ditebak: tidak cukup bukti, atau kalaupun ada, tidak cukup penting.

Tapi jangan khawatir. Mungkin lima tahun dari sekarang akan ada film dokumenter pemenang Oscar tentang jurnalis-jurnalis Gaza yang gugur. Mungkin akan ada konser amal di Eropa yang hasilnya disumbangkan ke LSM. Dan mungkin, suatu hari, anak-anak korban akan tumbuh dewasa dan membaca ulang laporan-laporan Abu Hatab. Lalu mereka akan tahu bahwa ayah mereka bukan sekadar korban, tapi pelawan.

Karena meski tubuh mereka dibungkam, narasi mereka terus berjalan. Kematian jurnalis bukan akhir cerita, tapi awal perlawanan. Sebab satu-satunya hal yang lebih kuat dari peluru adalah memori yang tak mau mati. Dan selama dunia masih punya orang-orang yang membaca, melihat, dan mengingat, maka Israel tak akan pernah sepenuhnya menang. Sebab mereka bisa membunuh jurnalis, tapi mereka tidak bisa membunuh kebenaran yang sudah terlanjur menyebar.

Dan itu, pada akhirnya, adalah satu-satunya ketakutan mereka yang paling nyata.

 

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Pembantaian Jurnalis Gaza dan Diamnya Dunia

  2. Pingback: Panggilan Terakhir Jurnalis Gaza: Ujian Sejati Media Dunia

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer