Connect with us

Opini

Ketika PBB Tak Berdaya, Gaza Terus Berdarah

Published

on

Gaza kini tergambar jelas di layar dunia sebagai potret duka yang terus berulang: puing-puing bangunan menjadi saksi bisu, suara tangis anak-anak menyatu dengan gemuruh bom, dan wajah-wajah lesu menatap langit yang tak lagi menjanjikan harapan. Dalam laporan terbaru, juru bicara PBB, Stéphane Dujarric, menggambarkan suasana keputusasaan yang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Delapan dari empat belas upaya distribusi bantuan yang dilakukan pekerja kemanusiaan ditolak mentah-mentah oleh otoritas Israel.

Sebanyak 68% dari total 170 permintaan koordinasi bantuan yang diajukan oleh PBB dimentahkan tanpa penjelasan yang memadai. Lebih dari dua juta warga Palestina kini terperangkap dalam situasi kemanusiaan yang memburuk drastis. Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyebut Gaza sebagai “ladang pembantaian”. Sebuah ungkapan yang mengguncang banyak hati, tetapi tidak cukup kuat untuk mendorong perubahan nyata di tingkat internasional. Di tengah kondisi ini, PBB mulai dipertanyakan: apakah lembaga ini masih mampu menjalankan mandatnya secara efektif?

Langit Gaza terus memancarkan cahaya merah akibat serangan udara yang datang silih berganti, sebagaimana dilaporkan oleh koresponden Al Mayadeen. Dalam satu hari, empat puluh lima orang tewas, tiga puluh lima di antaranya di kawasan al-Shuja’iya, sebuah daerah permukiman padat penduduk yang kini rata dengan tanah. Serangan ini bukanlah insiden tunggal, tetapi telah menjadi pola berulang. Sejak 18 Maret, lebih dari 1.400 jiwa melayang dan lebih dari 3.000 orang mengalami luka-luka.

Sementara itu, pasokan listrik untuk instalasi desalinasi air telah diputus sepenuhnya, membuat akses terhadap air bersih menjadi hampir mustahil. Truk-truk bantuan yang membawa makanan dan obat-obatan terhalang masuk, terjebak di perbatasan yang kini disegel secara ketat. Laporan dari UN OCHA mencatat bahwa tak hanya izin konvoi bantuan yang ditolak, tetapi beberapa bahkan menjadi sasaran penembakan. Ini bukan hanya angka; ini adalah potret nyata dari penderitaan dua juta jiwa.

Ironisnya, PBB yang dahulu dibentuk untuk mencegah kekejaman akibat perang dunia, kini justru tampak lemah dan kehilangan kemampuan untuk bertindak tegas. Pernyataan Guterres yang mengutuk keras Israel karena memblokade bantuan kemanusiaan terdengar lantang, tetapi tak memiliki daya paksa untuk menghentikan penderitaan. Bahkan, kompleks PBB di Deir al-Balah diserang tank Israel, mengakibatkan delapan anggota Bulan Sabit Merah Palestina tewas.

Kini, bendera biru-putih PBB pun kehilangan makna sebagai simbol perlindungan. Francesca Albanese, pelapor khusus PBB, menyatakan bahwa agresi ini merupakan yang paling ekstrem sejak Oktober 2023, dengan ribuan korban dari kalangan sipil, jurnalis, hingga tenaga medis. Namun semua kecaman dan pernyataan itu hanya menjadi gema kosong, tak mampu mengubah realitas tragis yang terjadi di lapangan. Kekuasaan PBB kini tampak sangat terbatas.

Kelemahan ini sebagian besar berasal dari struktur internal PBB sendiri. Dewan Keamanan, sebagai lembaga pengambil keputusan utama, kerap mengalami kebuntuan akibat hak veto lima anggota tetap, terutama Amerika Serikat. Negara tersebut hampir selalu memveto resolusi apapun yang berpotensi menekan Israel, menjadikan PBB tak lebih dari sekadar penonton dalam konflik yang melibatkan sekutunya.

Majelis Umum memang bisa mengeluarkan resolusi atau kecaman, tetapi tak memiliki kekuatan hukum mengikat. PBB pun terjebak dalam dilema besar: di satu sisi ia harus menjaga netralitas, namun di sisi lain tak memiliki otoritas yang cukup untuk memaksakan gencatan senjata atau membuka jalur bantuan kemanusiaan. Data penolakan 68% atas permintaan koordinasi bantuan menunjukkan betapa terbatasnya ruang gerak lembaga ini.

Namun, penyebab kebuntuan ini tidak sepenuhnya berasal dari kelemahan internal PBB. Israel berdalih bahwa pembatasan bantuan merupakan bagian dari strategi militer untuk menekan Hamas, yang menolak proposal gencatan senjata dukungan AS karena tak mengakomodasi tuntutan utama Palestina. Argumen ini kemudian dijadikan pembenaran atas pembatasan akses bantuan, meskipun yang paling terdampak adalah warga sipil yang tidak bersalah.

Mandat PBB yang mengedepankan kemanusiaan menjadi terhimpit di antara konflik kepentingan dan logika militer. Lembaga ini tidak memiliki otoritas untuk memaksa terjadinya gencatan senjata, dan bahkan tidak mampu menjamin distribusi bantuan tanpa persetujuan pihak-pihak yang bertikai. PBB hanya mampu menjadi pengamat tragedi, bukan pelaku perubahan.

Kritik terhadap efektivitas PBB bukanlah hal baru, namun konflik Gaza menjadi cerminan paling telanjang dari keterbatasan lembaga tersebut. Ketika media Haaretz melaporkan rencana Israel memperluas zona penyangga di Rafah dan para ahli memperingatkan pelanggaran hukum internasional, PBB hanya mampu mengeluarkan pernyataan kecaman. Tidak ada sanksi, tidak ada tindakan.

Serangan terhadap infrastruktur sipil seperti rumah sakit dan pusat pengungsian di al-Maghazi dan Khan Younis pun tak bisa dihentikan oleh PBB. Laporan OCHA menyebutkan bahwa konvoi bantuan tak hanya dihalangi, tetapi juga ditembaki. Sayangnya, PBB tak memiliki kekuatan militer sendiri untuk melindungi staf dan aktivitas kemanusiaannya. Ketergantungan pada negara-negara anggota membuatnya lumpuh.

Apakah ini berarti PBB telah kehilangan sepenuhnya relevansinya? Jawabannya tidak sederhana. Di satu sisi, PBB tetap menjadi suara moral dunia. Tanpa laporan, data, dan pernyataan keras dari Guterres atau Albanese, tragedi Gaza bisa saja dilupakan oleh dunia internasional. PBB masih memegang peran sebagai pelapor dan pengingat atas kejahatan kemanusiaan yang tengah terjadi.

Namun di sisi lain, kegagalan untuk mendorong tindakan nyata, membuka akses bantuan, atau menghentikan pemboman membuat kepercayaan terhadap PBB terus terkikis. Gaza menjadi cermin dari batas daya organisasi ini: ia mampu mengungkap luka, namun tidak memiliki kekuatan untuk menyembuhkannya. PBB kini berada dalam posisi serba salah.

Barangkali, relevansi PBB hari ini terletak pada kemampuannya untuk memobilisasi tekanan global dan memicu inisiatif di luar strukturnya sendiri. Ketika laporan PBB menyebut adanya pelanggaran Konvensi Jenewa, tanggung jawab moral bisa dialihkan ke aktor lain: negara-negara regional, organisasi non-PBB, dan masyarakat sipil global yang bisa bergerak lebih lincah.

Namun, upaya ini pun dihadapkan pada tantangan besar: kurangnya solidaritas global, polarisasi politik internasional, dan dominasi kepentingan nasional atas nilai kemanusiaan. Gaza menunjukkan bahwa sistem internasional saat ini tak mampu menjawab kompleksitas konflik modern, dan PBB menjadi simbol ketidakberdayaan itu.

Di antara reruntuhan al-Shuja’iya, tempat anak-anak terjebak dan keluarga hancur, pertanyaan tentang peran dan fungsi PBB menjadi sangat nyata. Jika lembaga ini tak bisa menghentikan kekerasan, melindungi pekerja kemanusiaan, atau sekadar menjamin akses terhadap air bersih, maka publik dunia berhak bertanya ulang: apa gunanya eksistensi PBB hari ini?

Namun, menyalahkan PBB secara total juga tak adil. Dunia internasional, khususnya negara-negara berpengaruh, juga bertanggung jawab atas kebuntuan ini. Mereka yang memilih bungkam, lebih mengedepankan kepentingan ekonomi dan politik daripada keadilan, ikut berperan dalam perpetuasi penderitaan di Gaza. Krisis ini mungkin bukan penutup relevansi PBB, melainkan alarm bahwa kita butuh sistem baru.

Sistem internasional yang lebih adil, efektif, dan bebas dari veto kepentingan. Atau bahkan, lembaga baru yang bisa menjawab jeritan kemanusiaan zaman ini. Sampai momen itu tiba, Gaza akan tetap menanti. Dan PBB akan terus berdiri di persimpangan: menjadi suara moral tanpa taring, di dunia yang terus mencari keadilan sejati.

 

*Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/-israel–denied-68–of-170-humanitarian-aid-requests-in-gaza

https://english.almayadeen.net/news/politics/israeli-airstrikes-kill-45-in-gaza–dozens-in-one-massacre

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *