Opini
Ketika Nobel Menjadi Simbol Kekuasaan yang Berdarah

Benjamin Netanyahu menominasikan Donald Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Ya, Anda tidak salah baca. Di tengah kepulan asap dari puing-puing Gaza, di sela jeritan anak-anak yang kehilangan orang tuanya, di antara serpihan rumah sakit dan sekolah yang diratakan oleh bom pintar—seorang perdana menteri yang sedang diburu oleh Mahkamah Pidana Internasional mengajukan sekutunya yang membiayai senjata sebagai duta perdamaian. Dunia diam, kamera-kamera diplomasi beralih sorot, dan kita pun dibiarkan duduk terpaku, mencoba memahami logika dari lelucon paling getir yang pernah ditampilkan dalam panggung geopolitik abad ini.
Di Gedung Putih yang hangat, Netanyahu menyodorkan surat nominasi itu pada Trump sembari berkata, “He’s forging peace as we speak.” Barangkali saat itu, tepat ketika kalimat itu meluncur dari mulutnya, rudal sedang menghantam sebuah apartemen di Rafah. Barangkali saat Trump tersenyum menerima kertas itu, sepasang anak kembar sedang ditarik dari reruntuhan. Tapi semua itu tidak penting, bukan? Yang penting adalah pencitraan. Yang penting adalah siapa yang memegang mikrofon, siapa yang punya hak mengubah tragedi menjadi diplomasi, dan siapa yang cukup kuat untuk menyebut pembantaian sebagai proses menuju “stabilitas regional.”
Lucunya, sementara dua kepala negara ini bersulang di Washington, sekelompok rabbi Yahudi turun ke jalan. Bukan untuk mendukung, tapi untuk mengecam. Mereka menyebut Netanyahu sebagai penjahat perang. Mereka membawa poster-poster yang jauh lebih jujur dibanding pidato-pidato panjang di ruang PBB. “Return the land to Palestinians,” tulis mereka. Tapi tentu saja, suara rabbi Yahudi yang menyerukan keadilan tidak cukup seksi untuk diberitakan media-media besar. Tidak semenarik “deal” baru yang dibungkus dalam narasi damai.
Sementara itu, di Beit Hanoun, para pejuang Palestina menyergap konvoi militer Israel. Enam tentara tewas, lebih dari sepuluh lainnya terluka. Serangan itu terjadi hampir bersamaan dengan pertemuan Netanyahu dan Trump bersama utusan mereka di Washington. Sebuah ironi yang terlalu telanjang untuk diabaikan. Kematian dan diplomasi berjalan beriringan, saling menyuapi. Yang satu menabur api, yang lain menggelar karpet merah.
Trump, tentu saja, tetap dalam peran favoritnya: sang pengatur panggung. Ia bilang Hamas ingin damai. Ia bicara tentang kesepakatan. Tentang gencatan senjata. Tentang rencana yang disusun dengan mediator Qatar dan Mesir. Tapi jangan salah, ini bukan damai dalam arti damai. Ini seperti menawarkan air di tengah kebakaran, tapi dengan syarat rumahnya harus diratakan dulu. Damai versi Washington dan Tel Aviv adalah diamnya musuh setelah dibungkam. Adalah hilangnya perlawanan, setelah habis tempatnya untuk bertahan hidup.
Netanyahu pun kembali melontarkan ide lamanya—“voluntary migration.” Konsep yang terdengar manis di atas kertas, seperti tawaran pilihan hidup baru. Tapi semua orang tahu ini bukan soal pilihan. Ini soal tekanan. Ini soal menjadikan Gaza tak layak huni, memaksa orang-orang untuk hengkang, lalu menyebutnya sebagai “keputusan pribadi.” Kalau rumahmu dibom, sekolah anakmu hancur, air tak mengalir, dan bantuan tak masuk, lalu kamu memutuskan pergi, apakah itu masih bisa disebut sukarela? Atau itu bagian dari proyek pemurnian demografis yang dibungkus dengan kata-kata manis seperti “kebebasan memilih”?
Dan mari jangan lupakan bahwa Netanyahu sedang dicari oleh ICC. Ia dituduh melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kebijakan hukuman kolektif yang sistematis. Tapi anehnya, dia masih bisa melancong, memberikan pidato, bahkan mencalonkan sekutunya untuk Nobel. Ini seperti seorang mafia yang sedang diburu interpol, tapi diundang memberi kuliah umum tentang etika. Dunia kita, tampaknya, sudah sangat lihai membedakan hukum untuk si kuat dan si lemah.
Yang lebih lucu (atau tragis?) adalah bahwa dunia seolah baik-baik saja dengan ini semua. Tidak ada jeda moral. Tidak ada ruang untuk refleksi. Yang ada hanya perlombaan untuk tampil netral. Tapi netralitas di tengah penindasan adalah keberpihakan terselubung. Dunia yang terlalu sibuk menjaga “keseimbangan narasi” sering kali menjadi cermin dari keberpihakan kepada pelaku kejahatan. Dan mungkin memang kita sudah hidup di zaman di mana kemunafikan bukan lagi dosa, tapi keterampilan diplomatik.
Kadang saya bertanya, apa yang sebenarnya diinginkan oleh kekuatan-kekuatan besar itu? Apakah “perdamaian” yang mereka maksud benar-benar untuk menghentikan perang, atau hanya jeda untuk mempersiapkan perang berikutnya? Karena jika benar-benar menginginkan damai, mengapa Gaza justru dibakar habis? Mengapa anak-anak harus membayar dengan tubuh mereka yang hancur demi pertemuan-pertemuan penuh basa-basi itu?
Dalam konteks lokal, kita pun ikut kebingungan. Indonesia yang selama ini dikenal mendukung Palestina, kini harus menonton lakon absurd ini dari layar kaca, dengan ekspresi getir. Mungkin sebagian rakyat masih percaya bahwa suara solidaritas punya makna. Tapi apakah suara itu cukup keras untuk menembus gedung-gedung rapat di mana bom dan bantuan kemanusiaan dibicarakan dalam kalimat yang sama?
Lalu kita kembali ke pertanyaan paling mendasar: jika perdamaian bisa diberikan kepada siapa saja yang paling banyak membungkam perlawanan, masihkah kita bisa percaya pada makna perdamaian itu sendiri? Mungkin Nobel hari ini bukan lagi soal prestasi moral, tapi semacam simbol kuasa—tanda bahwa seseorang telah cukup berjasa menjaga dominasi, menekan perlawanan, dan mengatur narasi agar dunia tetap nyaman dalam kebisuannya.
Apa yang tersisa dari kewarasan global bukanlah institusi, bukan pula penghargaan. Yang tersisa adalah mereka yang masih mampu marah, yang masih merasa mual ketika melihat simbol-simbol kemanusiaan digunakan untuk menutupi kejahatan kolektif. Dan selama masih ada yang menolak tertawa pada lelucon berdarah ini, maka harapan belum sepenuhnya mati. Karena dunia mungkin telah kehilangan banyak hal, tapi selama masih ada yang berani berkata “ini tidak benar”, masih ada ruang untuk menyembuhkan luka itu.
Jadi, saat Trump menerima surat nominasi Nobel itu dengan senyum tipis dan Netanyahu berdiri di sampingnya penuh percaya diri, barangkali yang kita lihat bukanlah dua negarawan, tapi dua aktor dalam drama murahan yang memamerkan prestasi di atas kuburan massal. Kita yang menyaksikan boleh tertawa getir, atau menangis dalam diam. Tapi satu hal yang pasti: sejarah tidak akan lupa siapa yang menyalakan api dan siapa yang menyiram bensin lalu menyebutnya air.