Opini
Ketika Nestlé Tersandung Skandal di Prancis

Air. Sesuatu yang kita anggap sebagai simbol kesucian dan kemurnian. Namun siapa sangka, di balik kejernihannya, bisa tersembunyi kebohongan yang mengendap lama, tak terlihat. Pada 19 Mei 2025, Senat Prancis merilis laporan mengejutkan: pemerintah Prancis, di level tertingginya, menutupi pelanggaran serius Nestlé Waters dalam pengolahan air mineral. Salah satu merek yang terlibat adalah Perrier, ikon air mineral dunia yang dikenal dengan botol hijau dan gelembung elegannya.
Bagi banyak orang, Perrier bukan hanya air. Ia adalah bagian dari gaya hidup. Ia hadir di meja makan restoran mewah, terpampang dalam iklan bergengsi, bahkan muncul dalam film-film sebagai lambang kesegaran berkelas. Namun kini, kesan elegan itu tercoreng. Kita diajak untuk melihat lebih dalam: apakah yang selama ini kita minum benar-benar murni? Atau hanya citra yang dibungkus kemasan rapi?
Aku membayangkan seorang barista di Paris, menuang Perrier ke dalam gelas kaca dengan potongan lemon, menyajikannya dengan senyum, tanpa tahu bahwa di balik label “natural mineral water” itu, ada cerita panjang tentang pelanggaran, manipulasi, dan kebungkaman. Skandal ini bukan sekadar tentang air yang tercemar atau label yang menipu. Ini tentang kepercayaan yang retak. Tentang sistem yang lebih memilih melindungi kepentingan raksasa bisnis daripada hak konsumen.
Uni Eropa memiliki aturan ketat: air mineral alami tak boleh diolah dengan cara yang mengubah sifat dasarnya. Namun, menurut laporan Senat, Nestlé Waters selama bertahun-tahun menggunakan filter ultraviolet dan karbon aktif pada beberapa produknya—Perrier, Hepar, dan Contrex. Proses ini secara teknis melanggar regulasi yang berlaku. Artinya, air yang dijual dengan harga premium itu sejatinya sudah tak lagi memenuhi definisi “alami” sebagaimana yang dipahami publik. Dalam kata lain, ini adalah bentuk penipuan konsumen yang dikemas dalam citra kemewahan.
Yang lebih mengejutkan, Nestlé sudah mengetahui pelanggaran ini sejak 2020, ketika manajemen baru menemukan praktik tersebut. Tapi alih-alih terbuka, mereka justru mendekati pemerintah Prancis pada 2021 untuk mencari “solusi” secara diam-diam. Bukannya menyelesaikan masalah secara transparan, mereka malah menyusun strategi penutupan. Pernyataan resmi dari Nestlé pada 2024 mengatakan bahwa mereka bekerja sama dengan otoritas, dan air mereka “tetap aman dan murni.” Namun jika benar murni, mengapa mereka membayar denda €2 juta untuk menghindari proses hukum lebih lanjut? Ada sesuatu yang tidak sinkron di sini.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah peran pemerintah Prancis. Laporan Senat menyebut adanya pertemuan antar-kementerian pada Oktober 2021 yang menjadi awal dari “strategi penutupan yang disengaja.” Artinya, negara ikut ambil bagian dalam menutupi pelanggaran. Bahkan keputusan untuk mengizinkan Nestlé beralih ke mikrofiltrasi—metode yang dianggap lebih legal—diambil oleh pejabat tingkat tinggi, termasuk Kantor Perdana Menteri dan Istana Elysee. Meski Perdana Menteri Elisabeth Borne diklaim tak diberi tahu secara langsung, laporan menyebut bahwa Presiden Emmanuel Macron dan Sekretaris Jenderal Istana Elysee, Alexis Kohler, telah mengetahui pelanggaran ini sejak 2022.
Kita bertanya-tanya, mengapa mereka memilih diam? Apakah karena tekanan ekonomi dari perusahaan multinasional sebesar Nestlé? Atau karena hubungan politik dan kepentingan diplomatik? Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah. Kebungkaman yang menggantung ini justru memperkuat kecurigaan publik bahwa ada permainan di balik layar.
Sebagai orang Indonesia, aku tak bisa tidak merasa dekat dengan skandal ini. Air mineral adalah bagian dari hidup sehari-hari kita. Di rumah, aku selalu membeli merek tertentu, percaya bahwa itu lebih aman daripada air keran. Di warung-warung kecil Jakarta, botol air kemasan berjejer rapi, menjanjikan “kemurnian alami.” Tapi setelah membaca laporan ini, aku mulai ragu. Jika di negara seketat Prancis saja pelanggaran bisa ditutupi, bagaimana dengan pengawasan di Indonesia?
Nestlé adalah korporasi raksasa. Denda €2 juta tampak besar, tapi bagi mereka itu tak lebih dari biaya operasional. Sementara konsumen kecil, seperti kita, tak punya pilihan selain percaya pada label dan iklan. Laporan Senat menekankan bahwa “penipuan konsumen” ini seharusnya ditindaklanjuti secara hukum, namun sampai sekarang belum ada langkah konkret. Sungguh menyakitkan ketika melihat perusahaan kecil harus berjuang keras menjaga kejujuran, sementara raksasa bisa menyembunyikan kesalahan di balik koneksi dan pengaruh.
Perrier di Prancis bukan sekadar air. Ia simbol budaya. Disajikan dengan irisan lemon di teras kafe, muncul di film-film Perancis, bahkan diartikan sebagai representasi gaya hidup sehat dan mewah. Tapi kini, fakta bahwa sumber air di Vergèze telah diolah dengan metode yang dilarang membuat simbol itu runtuh. Pemerintah Prancis mengizinkan Nestlé menggunakan mikrofiltrasi setelah negosiasi selama 18 bulan. Tapi menurut Senat, keputusan ini diambil terlalu cepat dan tanpa transparansi. Sementara Nestlé menyatakan bahwa “filter baru kami telah disetujui otoritas, dan kami berkomitmen pada transparansi,” laporan Senat membuktikan sebaliknya: transparansi itu tak pernah benar-benar ada.
Di sinilah muncul pertanyaan penting: apa yang sebenarnya menghalangi kejujuran? Apakah karena takut reputasi hancur? Atau karena ada tekanan ekonomi-politik yang tak bisa dihindari? Kebenaran tampaknya tak cukup kuat ketika berhadapan dengan kepentingan besar.
Yang sering terlupakan dalam skandal seperti ini adalah sisi manusianya. Bayangkan para pekerja di pabrik Nestlé, yang hanya menjalankan perintah tanpa tahu bahwa proses yang mereka jalankan melanggar hukum. Bayangkan petugas kesehatan di tingkat lokal yang mencoba memeriksa kualitas air, tapi tak punya kuasa melawan kekuatan korporasi. Seorang temanku pernah berkata, “Kalau merek besar saja bisa bohong, apa lagi yang bisa dipercaya?” Kalimat itu awalnya terdengar sinis, tapi kini terasa masuk akal.
Namun, apakah kita hanya bisa marah dan kecewa? Aku rasa tidak. Ada langkah konkret yang bisa kita ambil. Konsumen bisa mulai menuntut transparansi. Misalnya, dengan meminta label yang lebih jelas tentang proses pengolahan air. Kita juga bisa mendukung merek lokal yang lebih terbuka soal sumber dan proses produksinya. Di Indonesia, ada beberapa produsen air kemasan kecil yang mulai memamerkan asal usul air mereka dan proses pengolahannya secara jujur. Mereka bisa jadi alternatif yang layak didukung.
Tentu saja, boikot terhadap Nestlé terdengar menggoda sebagai bentuk protes. Tapi kita tahu, itu bukan langkah mudah. Nestlé memiliki ratusan produk, dari kopi instan hingga susu bayi. Sulit untuk benar-benar memisahkan diri dari produk mereka, apalagi jika sudah menjadi bagian dari konsumsi harian. Maka langkah yang lebih realistis adalah menuntut regulasi yang lebih ketat. Kita bisa mendorong pemerintah Indonesia, melalui Badan POM, untuk mengadopsi sistem audit independen seperti yang disarankan oleh laporan Senat Prancis. Pengawasan terhadap klaim “alami” pada label juga harus diperketat, agar konsumen tidak lagi jadi korban citra yang menipu.
Aku membayangkan sebuah petisi publik, mungkin dimulai dari komunitas kecil di platform seperti X atau Change.org, yang menuntut transparansi dan pengawasan lebih terhadap produk air kemasan. Petisi semacam itu bisa menjadi percikan awal dari perubahan yang lebih besar. Kita memang tidak bisa mengalahkan Nestlé, tapi kita bisa mempersulit mereka untuk menyembunyikan kesalahan.
Dalam pembelaannya, Nestlé tetap menekankan bahwa mereka melaporkan pelanggaran sejak 2021 dan telah melakukan perbaikan. Mereka mengklaim bahwa air mereka tetap aman dan sesuai standar. Namun laporan Senat memperlihatkan bahwa sejak awal, Nestlé tidak jujur dan justru mendapat perlindungan dari negara. Ironi ini terlalu pahit untuk diabaikan: air mineral, simbol kemurnian, justru menjadi lambang manipulasi. Pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan publik, malah terlibat dalam strategi penutupan demi menyelamatkan citra.
Pagi ini, di warung kopi dekat rumah, aku memesan air mineral seperti biasa. Tapi ada jeda sesaat sebelum aku membuka botolnya. Sebuah keraguan muncul. Dulu, aku percaya label “alami” berarti sesuatu. Kini, aku tak yakin lagi.
Pada akhirnya, skandal ini adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa pelanggaran tak hanya terjadi di negara berkembang. Bahkan di Prancis, yang sering jadi contoh negara dengan regulasi ketat, kebohongan bisa merembes melalui celah kekuasaan. Kita, sebagai konsumen, punya peran untuk terus bertanya, mempertanyakan, dan menuntut kejujuran. Aku membayangkan seorang pelajar di Yogyakarta, membaca berita ini dan mulai memeriksa botol air di mejanya. Mungkin, ia akan bertanya, “Apa yang bisa aku lakukan?” Itu pertanyaan kecil, tapi penting. Karena perubahan besar selalu berawal dari rasa ingin tahu yang sederhana.
Sumber: