Opini
Ketika Narasi Perang Netanyahu Kehilangan Daya

Ada yang getir sekaligus ironis dalam sebuah bangsa yang selalu membanggakan “ketangguhan” militernya, tetapi kini separuh lebih rakyatnya justru meragukan arah perang yang tengah dijalankan. Survei terbaru menunjukkan 46 persen warga Israel menilai operasi militer di Gaza kecil kemungkinan menumbangkan Hamas, sedangkan yang percaya pada kemenangan hanya 38 persen. Angka ini seperti alarm yang meraung, tanda bahwa propaganda kemenangan Netanyahu mulai lapuk, dan rakyatnya tidak lagi mudah ditipu dengan jargon perang tanpa ujung.
Di negeri mana pun, kepercayaan publik adalah bahan bakar politik. Di Israel, bahan bakar itu kini makin tipis, ibarat tangki mobil yang terus dipaksa berjalan di padang pasir. Pemerintah bisa saja terus mengumandangkan retorika “Hamas kian lemah”, namun rakyat bertanya: kalau memang lemah, kenapa 48 sandera masih terjebak dalam kurungan lebih dari 700 hari? Kalau Hamas sudah runtuh, mengapa masih bisa meluncurkan roket dan membuat video propaganda yang menyayat nurani keluarga korban?
Saya rasa, di sinilah letak absurditasnya. Netanyahu berbicara tentang kemenangan, tetapi wajah-wajah keluarga sandera di Tel Aviv justru memperlihatkan kebalikannya: penderitaan panjang yang belum terselesaikan. Narasi kemenangan pemerintah bertabrakan dengan realitas sehari-hari. Rakyat kehilangan keyakinan bukan karena mereka kurang nasionalis, tetapi karena mereka sadar sedang dibawa ke dalam perang tanpa peta jalan keluar. Seperti orang yang dijanjikan jalan tol, tetapi yang ditemui hanya jalan buntu.
Hasil survei lain menambah bara dalam bara. Lebih dari separuh warga Israel, 52 persen, ingin komisi independen menyelidiki kegagalan peristiwa 7 Oktober 2023. Artinya, mereka tidak percaya Netanyahu bisa menilai dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang dianggap gagal mencegah tragedi terbesar justru diberi wewenang penuh untuk menunjuk orang-orang yang akan menyelidikinya? Ini sama saja seperti seorang siswa yang menuliskan nilai ulangannya sendiri—dan berharap semua orang percaya.
Kondisi ini membuka celah besar dalam tubuh politik Israel. Netanyahu memang masih berkuasa lewat koalisi sayap kanan dan kelompok religius, tapi legitimasi moralnya semakin rapuh. Ketika rakyat lebih percaya pada komisi independen ketimbang pada perdana menteri mereka, bukankah itu tanda jelas bahwa fondasi kepemimpinan sedang retak? Dalam sejarah politik mana pun, keretakan semacam ini bisa menjadi awal runtuhnya bangunan besar. Netanyahu mungkin belum jatuh, tapi tanah di bawah kakinya sudah longgar.
Perang di Gaza, yang semula diproyeksikan sebagai ajang “pemulihan harga diri” pasca 7 Oktober, justru berbalik arah. Ia berubah menjadi kubangan lumpur yang menelan energi bangsa, menguras anggaran, dan mengikis rasa percaya. Rakyat Israel, seperti halnya rakyat mana pun, punya batas kesabaran. Mereka bisa menahan diri ketika bom pertama jatuh, tapi ketika berbulan-bulan berlalu tanpa hasil nyata, mereka mulai bertanya-tanya: untuk apa semua ini? Apakah kita masih berperang untuk keamanan, atau sekadar untuk menyelamatkan kursi Netanyahu?
Ironinya, semakin rakyat meragukan perang, semakin besar pula kemungkinan Netanyahu akan menggandakan taruhannya. Ia bisa saja memperluas konflik ke Lebanon atau Iran, demi menciptakan rasa darurat nasional yang membuat publik kembali bersatu di belakangnya. Tetapi seperti pemain judi yang terus mempertaruhkan chip terakhir, langkah semacam ini berisiko jadi bumerang. Jika gagal, bukan hanya Netanyahu yang runtuh, tetapi juga legitimasi militer Israel yang selama ini dijadikan kebanggaan nasional.
Kita tahu, perang bukan sekadar soal peluru dan tank. Ia juga soal narasi, soal janji, soal imajinasi kemenangan yang ditanamkan ke benak rakyat. Ketika imajinasi itu runtuh, perang berubah menjadi beban. Survei yang menunjukkan kepercayaan publik mulai retak adalah bukti bahwa rakyat Israel kini melihat perang di Gaza bukan lagi sebagai jalan menuju keselamatan, melainkan lorong gelap tanpa ujung. Dan di lorong itu, suara-suara keluarga sandera terdengar lebih nyaring daripada pidato Netanyahu.
Saya teringat ungkapan lama: pemimpin yang kehilangan kepercayaan rakyatnya ibarat burung tanpa sayap. Ia bisa berteriak tentang langit, tapi tak lagi mampu terbang. Netanyahu masih bisa menguasai panggung politik, masih bisa memainkan retorika tentang bahaya Hamas, tetapi tanpa dukungan mayoritas, setiap kata yang ia ucapkan hanya bergema kosong. Publik kini menuntut bukan sekadar kemenangan di medan perang, melainkan kepulangan sandera, strategi pasca-Hamas, dan transparansi. Tiga hal yang hingga kini tak mampu ia berikan.
Masa depan Netanyahu dengan sendirinya terikat pada masa depan perang di Gaza. Jika perang terus berjalan tanpa arah, kepercayaan publik akan makin luntur, dan tekanan politik akan kian besar. Ia bisa saja bertahan, seperti pemimpin lain yang mengandalkan koalisi keras kepala. Tetapi bertahan bukan berarti memimpin. Ia hanya menunda kejatuhan, menunggu badai berikutnya yang lebih besar. Dan badai itu bisa datang kapan saja—dari jalanan Tel Aviv, dari suara militer, atau dari komisi independen yang akhirnya terbentuk.
Pada akhirnya, angka-angka dalam survei bukan sekadar statistik dingin. Mereka adalah potret jiwa bangsa yang letih, kecewa, dan kehilangan arah. Rakyat Israel mulai meragukan perang yang katanya untuk keamanan mereka sendiri. Mereka melihat pemimpin yang lebih sibuk menjaga posisinya daripada menuntaskan misi penyelamatan. Jika ada yang harus dibaca dari hasil survei ini, maka pesannya sederhana: narasi kemenangan Netanyahu sudah kehilangan daya, dan masa depannya kini tergantung pada benang tipis bernama kepercayaan publik.
Apakah ia bisa memulihkannya? Saya ragu. Karena setiap hari yang berlalu tanpa solusi bagi 48 sandera, tanpa visi pasca-Hamas, dan tanpa tanggung jawab atas 7 Oktober, adalah hari yang mengikis habis sisa-sisa legitimasi itu. Dan ketika legitimasi hilang, perang ini bukan lagi tentang Hamas melawan Israel, melainkan tentang Netanyahu melawan waktu.
Sumber: