Connect with us

Opini

Ketika Menyuarakan Pembelaan Palestina Jadi Kejahatan di AS

Published

on

Dalam kegelapan pagi, derap sepatu bot dan ketukan keras pintu mengguncang kediaman mahasiswa di Ann Arbor, Ypsilanti, dan Canton Township, Michigan. FBI, bersama polisi negara bagian, menyisir rumah-rumah aktivis pro-Palestina dari Universitas Michigan, menyita ponsel, laptop, dan barang pribadi. Empat orang ditahan, kemudian dibebaskan tanpa tuduhan jelas. Students Allied for Freedom and Equality (SAFE) menyebut ini serangan terhadap kebebasan berpendapat, sebuah drama distopia di tanah yang mengagungkan demokrasi.

TAHRIR Coalition, kelompok mahasiswa yang menyerukan divestasi dari Israel, melaporkan petugas di Ypsilanti awalnya menolak menunjukkan surat perintah. Bayang-bayang ketidaktransparan menyelimuti operasi ini, memicu spekulasi: apakah ini soal vandalisme, seperti klaim samar Dana Nessel, atau pembungkaman politik? Kantor Nessel, Jaksa Agung Michigan, sebelumnya menyeret 11 pengunjuk rasa Gaza ke pengadilan atas aksi kampus musim gugur lalu. Kebebasan berekspresi tampaknya punya harga mahal.

Amir Makled, pengacara yang membela salah satu mahasiswa, merasakan cengkeraman intimidasi itu sendiri. Pulang dari Republik Dominika, ia ditahan agen imigrasi federal selama 90 menit, didesak menyerahkan ponselnya. “Ini bukan soal terorisme, ini soal menakut-nakuti,” katanya kepada NPR. Makled, yang membela mahasiswa dan imigran, melihat ini sebagai upaya mencegah advokasi. Di Amerika, tampaknya, membela Palestina bisa membuatmu jadi sasaran.

The Guardian mengungkap lapisan lain dari drama ini: enam dari delapan anggota dewan pengawas Universitas Michigan, yang menyumbang lebih dari $33.000 untuk kampanye Nessel, mendesaknya menindak pengunjuk rasa. Nessel, dengan langkah tak biasa, merebut kasus dari jaksa lokal Eli Savit, yang lebih lunak dengan menolak 36 dari 40 kasus protes November lalu. Politik dan uang tampaknya menari di balik keadilan.

Savit, dosen hukum di Universitas Michigan, pernah bekerja untuk hakim federal dan pengacara Mahkamah Agung. Pendekatannya yang moderat—menawarkan program diversi untuk empat pengunjuk rasa—memicu kemarahan regents pro-Israel. Mereka menginginkan hukuman cepat dan keras, menurut sumber The Guardian. Universitas, melalui polisinya, bahkan mengirim permintaan surat perintah ke Nessel. Ini bukan lagi soal hukum, tapi soal kekuasaan.

Di luar Michigan, cerita ini bukanlah anomali. Administrasi Trump, dengan tangan besinya, mencabut ratusan, mungkin ribuan, visa mahasiswa yang memprotes genosida di Gaza atau mengkritik Israel. Rümeysa Öztürk, mahasiswa doktoral Tufts, dan Mahmoud Khalil, lulusan Columbia, kini menghadapi deportasi karena dukungan mereka pada Palestina. Anggota Kongres Ayanna Pressley, dalam unggahan di X, mengecam ini sebagai pelanggaran kebebasan berpendapat. Negeri kebebasan, katanya, sedang merampas hak.

Michigan menjadi panggung mikro dari teater nasional ini. FBI menolak menjelaskan alasan penggerebekan, hanya mengarahkan pertanyaan ke Nessel, yang bungkam soal hubungan dengan aktivisme Palestina. Namun, pola ini jelas: dari penggerebekan hingga deportasi, aktivis pro-Palestina diperlakukan bak penjahat. Palestine Legal mencatat ratusan kasus sensor dan pelecehan terhadap pendukung Palestina di AS. Kebebasan berpendapat, rupanya, punya batas tak terucap.

Ironisnya, Amandemen Pertama menjamin hak untuk berbicara dan berkumpul. Secara hukum, menyuarakan dukungan untuk Palestina bukan kejahatan. Tapi praktiknya? Penggerebekan, penyitaan, dan interogasi menciptakan efek mengerikan, membuat mahasiswa berpikir dua kali sebelum mengacungkan spanduk. Ketika universitas, yang seharusnya jadi benteng wacana, malah mendorong penindasan melalui regents dan polisi kampus, demokrasi jadi bahan tertawaan.

Laporan MLive menyebut Nessel menyelidiki “vandalisme multiyurisdiksi,” tapi tanpa detail, ini terasa seperti dalih. Jika vandalisme adalah intinya, mengapa FBI—lembaga yang menangani terorisme dan kejahatan federal—turun tangan? Mengapa ponsel Makled jadi target? Ini bukan soal coretan di tembok, tapi soal pesan yang dibawa: Palestina. Di Amerika, pesan itu tampaknya terlalu berbahaya untuk didengar.

Sementara itu, regents Universitas Michigan, dengan sumbangan politik mereka, memainkan peran sutradara bayangan. Donasi $33.000 mungkin kecil di dunia politik, tapi cukup untuk membeli pengaruh. Nessel, dengan mengambil alih kasus dari Savit, menunjukkan bahwa keadilan bisa dibelokkan oleh tekanan. Ini bukan konspirasi; ini fakta yang terdokumentasi oleh The Guardian. Keadilan, di sini, punya aroma kepentingan.

Lalu ada Öztürk dan Khalil, wajah-wajah manusia dari kebijakan deportasi Trump. Mereka bukan penjahat, bukan teroris, tapi mahasiswa yang berani bersuara. Kunjungan senator dan anggota Kongres ke fasilitas imigrasi di Louisiana menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Pressley, McGovern, dan lainnya menyerukan proses hukum yang adil, tapi suara mereka tenggelam dalam gemuruh mesin deportasi. Palestina, bagi mereka, adalah garis merah.

Di kampus-kampus Amerika, aktivisme pro-Palestina bukanlah hal baru. Dari protes divestasi hingga perkemahan solidaritas Gaza, mahasiswa telah lama menjadi ujung tombak perubahan. Tapi ketika universitas sendiri, melalui regents dan polisi kampus, bersekutu dengan penegak hukum untuk membungkam, apa yang tersisa dari idealisme akademik? Universitas Michigan, dengan sejarahnya sebagai pusat aktivisme, kini jadi simbol kemunduran demokrasi.

Makled, dengan keberaniannya menolak menyerahkan ponsel, mewakili perlawanan. Tapi berapa banyak yang sanggup bertahan di bawah tekanan FBI atau ancaman deportasi? Efek mengerikan ini nyata: mahasiswa berhenti berbicara, pengacara berpikir ulang, dan wacana publik menciut. Jika menyuarakan empati untuk Palestina dianggap ancaman, lalu apa makna kebebasan yang diagungkan Amerika di panggung dunia?

Saat derap sepatu bot mereda di Ann Arbor, pertanyaan tetap menggantung: kapan empati jadi kejahatan? Di negeri yang menjanjikan kebebasan, mahasiswa dipaksa memilih antara hati nurani dan keselamatan. Nessel, regents, dan FBI mungkin menyebut ini penegakan hukum, tapi bagi banyak orang, ini adalah pembungkaman. Palestina, dalam narasi mereka, bukan sekadar isu—tapi garis batas antara demokrasi dan distopia.

Kita tertawa pahit pada ironi ini. Negeri yang menjual demokrasi ke seluruh dunia kini menutup mulut anak-anak mudanya. Penggerebekan, deportasi, dan interogasi bukanlah soal vandalisme atau keamanan, tapi soal kontrol. Ketika spanduk pro-Palestina jadi alasan untuk menggedor pintu, kebebasan hanyalah jargon kosong. Amerika, dengan segala kemegahannya, sedang menulis satire terkelamnya sendiri—dan kita semua adalah penonton yang terpana.

Daftar Sumber:

  1. Al Mayadeen. (2025). “FBI, Police Storm Homes of Pro-Palestine Activists in US Michigan.” Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/fbi–police-storm-homes-of-pro-palestine-activists-in-us-mic.
  2. The Guardian. (2025). “How University of Michigan Regents Pressured AG to Charge Pro-Palestine Protesters.”
  3. (2025). “Attorney Amir Makled on Federal Agents’ Attempt to Search His Phone.”
  4. (2025). “AG Nessel Investigating Multi-Jurisdictional Vandalism Tied to UM Protests.”
  5. Palestine Legal. (n.d.). “Reports on Censorship and Harassment of Pro-Palestine Activists in the US.”
  6. X Post by Ayanna Pressley. (2025).
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *