Opini
Ketika Kehidupan di Inggris Makin Susah

Hujan gerimis membasahi trotoar London, seolah langit ikut meratapi dompet warga yang semakin tipis. Di sudut kedai kopi, seorang pria menatap cangkirnya, menghitung-hitung apakah ia masih bisa memesan scone. Survei GfK baru saja mengumumkan kabar buruk: kepercayaan konsumen Inggris anjlok ke -23, titik terendah dalam 17 bulan. Biaya hidup melonjak, pajak naik, dan ancaman tarif Trump mengintai. Selamat datang di era “hidup makin susah”.
Tagihan energi kini seperti monster yang menggerogoti rekening bank. Ofgem, dengan santainya, menaikkan batas harga energi sebesar 6,4%, sehingga rata-rata rumah tangga kini harus merogoh £1,849 per tahun, naik dari £1,738. Bayangkan, tambahan £111 hanya untuk menyalakan lampu dan menghangatkan rumah! Sementara itu, pajak dewan, bea materai, dan pajak jalan ikut-ikutan naik, seolah pemerintah berlomba-lomba menguras kantong rakyat. Konsumen Inggris, kata GfK, kini lebih pesimistis daripada saat Partai Buruh mulai berkuasa. Bukankah ini ironi? Partai yang menjanjikan kesejahteraan malah menyambut rakyat dengan tagihan yang bikin jantungan.
Lalu, ada drama tarif dari seberang Atlantik. Presiden Trump, dengan gaya koboinya, mengancam tarif 10% untuk sebagian besar barang Inggris dan 25% untuk baja, aluminium, serta otomotif. Meski ditunda 90 hari untuk negosiasi, bayang-bayang inflasi sudah menghantui. Neil Bellamy dari GfK bilang, konsumen tak hanya berjuang dengan kenaikan biaya April, tapi juga waswas dengan prediksi inflasi tinggi. Barang impor bakal lebih mahal, dan dompet rakyat yang sudah seret kini harus bersiap lebih seret lagi. Negosiasi perdagangan dengan AS? Oh, semoga saja tak berakhir seperti drama Brexit yang tak kunjung usai.
Kehidupan sehari-hari kini seperti permainan bertahan hidup. Di supermarket, ibu-ibu memandang rak roti dengan penuh kalkulasi: beli yang murah atau pulang dengan tangan kosong? GfK melaporkan indeks kepercayaan konsumen turun empat poin, melampaui prediksi ekonom yang “hanya” memperkirakan -21. Angka -23 ini bukan sekadar statistik; ini cerminan wajah muram rakyat yang terjepit antara gaji stagnan dan harga yang tak kenal ampun. Dua tahun terakhir, krisis biaya hidup—didukung suku bunga tinggi dan lonjakan harga energi—telah memaksa jutaan keluarga memotong pengeluaran. Liburan? Barang mewah? Itu cuma mimpi di zaman “pajak dan tagihan adalah raja”.
Sementara itu, sektor industri tak kalah kelam. Produsen Inggris, menurut survei sebelumnya, terpaksa memangkas produksi karena pesanan domestik dan ekspor merosot. Bayangkan, pabrik-pabrik yang dulunya berdengung kini sepi, hanya karena rakyat tak lagi mampu membeli dan pasar global tercekik tarif. Perekonomian Inggris, yang konon dipantau ketat oleh pemerintah dan Bank of England sejak 1970-an, kini seperti pasien yang sesak napas. Indeks GfK adalah alarmnya, tapi sepertinya lonceng itu cuma berbunyi tanpa ada yang berlari memadamkan api.
Pemerintah, oh maaf, maksud saya para pemimpin yang sibuk berdebat di Westminster, sepertinya punya bakat khusus untuk memperumit hidup rakyat. Kenaikan pajak dewan dan bea materai diumumkan dengan wajah datar, seolah-olah rakyat punya pohon uang di halaman belakang. Partai Buruh, yang menang dengan janji perubahan, kini seperti sedang menulis babak baru dalam buku pegangan “Cara Membuat Rakyat Menderita”. Dan Bank of England? Mereka sibuk menjaga suku bunga tinggi untuk “mengendalikan inflasi”, tapi lupa bahwa inflasi itu sendiri sudah seperti tamu tak diundang yang merusak pesta keuangan rakyat.
Lalu, apa solusi yang ditawarkan? Negosiasi perdagangan dengan AS, kata mereka. Tapi, mari kita realistis: bernegosiasi dengan Trump seperti bermain catur dengan seseorang yang lebih suka membakar papan permainannya. Sementara itu, di dalam negeri, tak ada tanda-tanda subsidi energi atau keringanan pajak untuk meringankan beban rakyat. Malah, Ofgem seolah bangga dengan kenaikan tarif energi, seakan-akan rakyat Inggris punya hobi mengumpulkan tagihan seperti koleksi perangko. Ini bukan lagi soal kebijakan; ini soal empati yang hilang di lorong-lorong kekuasaan.
Rakyat Inggris kini seperti pelari maraton yang dipaksa berlari dengan beban batu di punggung. Mereka tak hanya menghadapi kenaikan biaya hidup, tapi juga ketidakpastian global yang membuat masa depan tampak kelabu. GfK bilang, pesimisme ini adalah yang terburuk sejak Partai Buruh berkuasa. Tapi, apa bedanya partai mana yang memerintah jika hasilnya sama: dompet kosong dan harapan yang makin pudar? Konsumen yang dulunya optimis kini berpikir dua kali untuk membeli secangkir kopi, apalagi merencanakan liburan.
Dan jangan lupakan ketimpangan yang kian lebar. Kelompok berpenghasilan rendah adalah yang paling terpukul. Mereka tak punya tabungan untuk menahan gempuran tagihan, tak punya investasi untuk melindungi kekayaan. Sementara itu, para elit di kota-kota besar masih bisa menikmati makan malam mewah, seolah krisis ini cuma berita di koran pagi. Ini adalah Inggris modern: negeri yang bangga dengan sejarahnya, tapi lupa bahwa rakyatnya sedang berjuang untuk membayar tagihan listrik.
Apa yang bisa dilakukan? Mungkin pemerintah bisa belajar dari dongeng: berhenti berpura-pura jadi ksatria penyelamat dan mulai bertindak. Subsidi energi untuk kelompok miskin, misalnya, atau moratorium pada kenaikan pajak yang tak masuk akal. Tapi, melihat rekam jejak mereka, harapan itu seperti menunggu matahari bersinar di tengah badai Inggris. Sementara itu, rakyat terus berjuang, menghitung koin demi koin, berharap suatu hari kehidupan tak lagi terasa seperti hukuman.
Kembali ke kedai kopi tadi, pria itu akhirnya memutuskan untuk tidak memesan scone. Ia menyesap kopinya pelan-pelan, seolah ingin memperpanjang kenikmatan kecil di tengah hidup yang makin susah. Di luar, hujan terus turun, dan di dalam, dompet rakyat Inggris terus menipis. GfK mungkin menyebutnya -23, tapi bagi rakyat, itu bukan angka—itu adalah cerita tentang perjuangan, ketidakpastian, dan sindiran pahit pada sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Daftar Sumber
- (2025). UK Consumer Confidence Index April 2025. Laporan survei kepercayaan konsumen Inggris.
- (2025). Energy Price Cap Update: April 2025. Pengumuman kenaikan batas harga energi.
- Bellamy, N. (2025). Pernyataan dalam laporan GfK tentang dampak kenaikan biaya hidup dan tarif AS pada konsumen Inggris.
- Kementerian Perdagangan Inggris. (2025). Pembaruan negosiasi perdagangan Inggris-AS terkait penundaan tarif selama 90 hari.
- Bank of England. (1970-2025). Data historis pemantauan indeks kepercayaan konsumen sebagai indikator ekonomi.