Opini
Ketika Kebenaran Harus Datang dari Penjajah Baru Dunia Mau Mendengar

Ada yang tak pernah berubah dari wajah keadilan global: ia sering tuli ketika suara korban datang dari tempat yang dianggap “kurang kredibel.” Tapi mendadak membuka telinga lebar-lebar saat pelaku yang berbicara. Itulah yang sedang kita saksikan dalam tragedi kemanusiaan paling brutal abad ini: Gaza.
Berita yang dipublikasikan Haaretz pada 26 Juni lalu, memuat kesaksian mengerikan dari sejumlah tentara Israel yang mengaku menerima perintah langsung untuk menembak warga Palestina yang tak bersenjata di titik distribusi bantuan. Bahkan dalam kondisi tanpa ancaman. Satu tentara menggambarkan area sekitar titik distribusi bantuan GHF (Gaza Humanitarian Foundation) sebagai “ladang pembantaian,” tempat peluru, mortir, dan peluncur granat digunakan untuk mengusir orang-orang lapar yang hanya ingin mengambil sebungkus makanan.
Kita tak sedang membicarakan perang antar pasukan bersenjata. Kita tidak sedang menyaksikan pertempuran dua kekuatan militer. Kita sedang melihat sebuah pembantaian massal terhadap manusia yang kelaparan, dilakukan dengan senjata berat, oleh pasukan yang mengklaim diri sebagai “tentara paling bermoral di dunia.”
Namun, yang lebih menyakitkan dari fakta tersebut adalah reaksi dunia: sepi.
Kekejaman Lama, Respon Baru
Perlu digarisbawahi bahwa praktik ini bukan hal baru. Sejak awal agresi zionis ke Gaza, laporan demi laporan dari wartawan lokal Palestina, organisasi HAM independen, dan warga sipil telah membanjiri media sosial dan jaringan komunikasi bawah tanah. Mereka mengabarkan bagaimana tentara Israel menembaki warga sipil, membombardir rumah sakit, merusak jaringan air dan listrik, hingga melumpuhkan sistem pangan dan bantuan.
Namun semua itu seolah tidak cukup untuk menggugah simpati global—atau bahkan hanya sekadar diberitakan secara luas di media Barat. Tidak cukup kuat untuk memaksa Dewan Keamanan PBB bersidang darurat dengan hasil nyata. Tidak cukup sahih bagi lembaga-lembaga dunia untuk menyebutnya sebagai kejahatan perang.
Anehnya, ketika laporan datang dari Haaretz, sebuah surat kabar asal Israel, barulah muncul riak kecil perhatian. Sejumlah outlet media internasional mulai mengutip. Beberapa tokoh mulai mengungkapkan “kekhawatiran.” Padahal inti laporan itu persis seperti yang telah diteriakkan oleh warga Palestina selama berbulan-bulan: bahwa tentara Israel sengaja membunuh warga sipil, bahkan yang sedang mengambil bantuan makanan.
Lantas, mengapa dunia baru mulai menoleh sekarang?
Kebenaran yang Tergantung dari Siapa yang Mengucapkannya
Itulah wajah asli ketidakadilan informasi global. Kebenaran, rupanya, bukan hanya soal fakta dan bukti. Tapi juga tergantung dari siapa yang menyampaikannya. Ketika korban sendiri yang bersuara, mereka dianggap penuh amarah, bias, dan tidak objektif. Tapi ketika pelaku—atau setidaknya orang dalam sistem pelaku—yang bersaksi, mendadak semua menganggapnya valid dan layak dipercaya.
Ini bukan sekadar bias biasa. Ini adalah bentuk penyangkalan struktural terhadap suara korban. Ini juga menunjukkan bahwa sistem pengetahuan dunia hari ini masih berakar pada kolonialisme epistemik, di mana yang berhak mendefinisikan “kebenaran” hanyalah mereka yang berasal dari pusat kekuasaan: negara-negara Barat dan sekutu-sekutunya.
Dalam konteks Palestina, hal ini menjadi sangat fatal. Karena selama puluhan tahun, narasi perjuangan mereka selalu dipinggirkan, dianggap sebagai “konflik”, bukan penjajahan. Digambarkan sebagai perang antar dua pihak setara, bukan antara penjajah dan yang dijajah. Dalam kerangka narasi itu, bahkan pembunuhan massal pun bisa dicat sebagai “operasi militer,” dan warga sipil yang mati hanya akan dikenang sebagai “korban samping.”
Dari Operasi Militer ke Ladang Pembantaian
Laporan dari Haaretz menyebut bahwa praktik pembunuhan ini bukan kejadian acak. Ia memiliki nama kode militer: “Operation Salted Fish,” yang mengacu pada permainan anak-anak “Red light, green light.” Bahkan nama operasinya saja sudah menunjukkan kekejian yang dibungkus dengan permainan psikologis. Manusia kelaparan dijadikan objek permainan hidup-mati. Seolah-olah pertempuran di Gaza hanyalah panggung latihan militer bagi tentara-tentara muda Israel.
Kesaksian para prajurit semakin mempertegas bahwa Gaza sudah tidak dianggap sebagai wilayah manusia. Seorang tentara bahkan berkata, “Gaza sudah menjadi tempat dengan hukum sendiri. Kematian manusia tidak berarti apa-apa.” Ini bukan hanya pengakuan, tapi penegasan: bahwa bagi sebagian pasukan Israel, membunuh warga sipil di Gaza bukan lagi tindakan luar biasa. Tapi rutinitas.
Yang lebih mengerikan lagi adalah adanya insentif ekonomi dalam kehancuran. Seorang veteran mengatakan bahwa kontraktor diberi 5.000 shekel untuk setiap rumah yang mereka hancurkan. Maka kehancuran Gaza tidak hanya dilandasi kebencian, tapi juga dimonetisasi. Genosida telah menjadi industri.
Dunia yang Diam dan Normalisasi Kejahatan
Sampai hari ini, belum ada sanksi keras dari negara-negara besar. Tidak ada sidang darurat yang mengarah pada tindakan konkret. Tidak ada embargo senjata kepada Israel, padahal semua negara tahu bahwa senjata-senjata itu digunakan untuk membunuh anak-anak dan orang tua di Gaza.
Diamnya dunia adalah bentuk normalisasi terhadap kejahatan. Ketika pembunuhan massal dibiarkan tanpa konsekuensi, maka dunia mengirimkan pesan: bahwa ada kelompok manusia yang boleh dibunuh tanpa hukuman, asal pelakunya adalah sekutu politik dan ekonomimu.
Apa bedanya dengan logika rasis kolonial di masa lalu? Apa bedanya dengan ketika apartheid dianggap sah selama ia mendukung kepentingan Barat?
Penutup: Kebenaran Tak Boleh Menunggu “Sumber yang Kredibel”
Laporan Haaretz penting karena membuka celah dalam tembok kebohongan yang dibangun selama ini. Tapi kita tidak boleh membiarkan dunia terus menunggu kebenaran datang dari mulut penjajah, sementara korban tak pernah diberi ruang bersuara.
Suara Palestina adalah suara paling sahih dalam menceritakan penderitaan Palestina. Setiap foto, video, tulisan, dan teriakan mereka seharusnya cukup untuk menggugah dunia—tanpa harus disahkan dulu oleh media Israel.
Kita harus membalikkan arah logika global: bukan “kita baru percaya jika pelaku yang bicara”, melainkan “kita harus segera bertindak karena korban sudah terlalu lama menjerit.”