Opini
Ketika Kayu Menjadi Senjata: Pesan Terakhir Yahya Sinwar bagi Palestina

Sebuah drone melayang di atas reruntuhan, merayapi bangunan yang telah hancur. Ia mendekat, lalu menyorot sosok di lantai dua, duduk di atas sofa. Wajahnya terselubung *kaffiyeh*, tubuhnya berlumuran debu dan darah. Yahya Sinwar, pemimpin yang gigih itu, menatap lurus ke arah mesin terbang itu. Tangan kanannya terluka, tapi ia masih meraih sebatang kayu—benda sederhana yang tak berarti di tengah kekuatan militer yang mendominasi langit. Tapi bukan kayu itu yang penting, melainkan keberanian yang mendasarinya. Dengan kayu di tangannya, Sinwar menunjukkan bahwa perlawanan tidak mengenal batas—bukan soal senjata yang dipegang, tetapi tekad yang membara dalam jiwa.
Kayu itu dilempar, dan drone itu terpaksa menghindar. Bukan hanya sekedar kayu, tapi itu adalah simbol, pesan dari seorang pemimpin yang telah siap menyerahkan estafet perjuangan kepada ribuan pejuang lainnya. Di bawah bombardir tank dan artileri yang menghujani rumah itu, Sinwar tidak mati sebagai sosok yang kalah. Ia gugur sebagai simbol perlawanan yang tak pernah padam.
Kehadiran Sinwar di garis depan membuktikan bahwa semua tuduhan Israel tentang dirinya bersembunyi di bawah tanah, berlindung di balik warga sipil, hanyalah kebohongan. Sinwar berdiri di atas tanah yang hancur, menghadapi musuh langsung, membuktikan bahwa setiap klaim zionis hanya ilusi. Pembenaran yang digunakan untuk membunuh warga sipil demi menarget Sinwar kini jatuh dan tidak beralasan.
Dalam momen-momen terakhirnya, Sinwar juga menyampaikan pesan lain. Dia telah melemparkan tongkat perjuangan kepada generasi berikutnya. Kematian bukanlah akhir; perlawanan tidak akan berhenti. Gugurnya Sinwar adalah kebangkitan baru bagi perjuangan Palestina. Setiap peluru, setiap bom, hanya memperkuat tekad pejuang untuk terus maju.
Namun, yang paling menggugah adalah kesadaran Sinwar akan nasibnya sendiri. Berkali-kali ia menyatakan keinginannya untuk syahid. “Hadiah terbesar yang bisa mereka berikan adalah membunuhku,” katanya pada 2021. Baginya, kematian di medan pertempuran adalah kemuliaan yang tak tertandingi. “Kami tidak takut mati di jalan Allah, kami hanya takut mati di tempat tidur seperti ternak.”
Syahidnya Yahya Sinwar bukanlah kemenangan bagi Israel, tapi justru kekalahan yang paling menyakitkan. Mereka tidak hanya membunuh seorang pemimpin, tetapi membangunkan ribuan Sinwar baru yang siap melanjutkan perlawanan. Kematian Sinwar bukanlah akhir, melainkan awal dari gelombang kebangkitan yang tak terhentikan.