Opini
Ketika Israel Tak Lagi Anak Emas Amerika

Tahun ini, Israel seperti menghadiri pesta ulang tahun yang mereka selenggarakan sendiri—tapi mendapati bahwa semua tamu penting justru asyik berjoget di ruangan sebelah. Bahkan sahabat karibnya, Amerika Serikat, tampak lebih sibuk bersulang dengan para pangeran Teluk daripada memeluk mesra tuan rumah yang dulu selalu didahulukan dalam setiap urusan.
Washington, di bawah komando Donald Trump yang kini kembali menjabat sebagai Presiden AS setelah menumbangkan Biden dalam duel politik paling brutal dekade ini, mulai menunjukkan wajah yang berbeda. Ini bukan Trump 2016 yang sibuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem sambil menandatangani piagam dengan pena emas. Ini Trump 2025 yang punya agenda besar: mengamankan jalur energi, memotong kerugian, dan—maaf—jika perlu, merelakan sekutu yang dianggap beban.
Dalam beberapa pekan terakhir, gelagat ini makin nyata. Pemerintah Trump secara resmi mendorong gencatan senjata antara kelompok Hamas dan mediator seperti Qatar dan Mesir. Dan ironinya, proses itu dilakukan tanpa kehadiran Israel di meja utama. Netanhayu tentu tidak senang. Tapi apa daya, dunia berubah.
Israel, yang selama ini menikmati posisi anak emas Washington, kini seperti siswa teladan yang baru saja dapat surat peringatan. Sebelumnya, apapun yang mereka lakukan, selalu ada AS di belakang mereka—memveto resolusi PBB, menambah bantuan militer, menyuplai senjata, hingga menenangkan opini publik global dengan diplomasi khas Hollywood. Tapi kini, Amerika seolah menatap ke arah lain, mencari peluang baru yang lebih “menguntungkan secara strategis”.
Trump sendiri, dengan gaya khasnya, tidak banyak berbasa-basi. Ia menyampaikan pesan damai dari Riyadh sambil menggandeng mitra-mitra Teluk yang siap menggelontorkan dana dalam jumlah besar. Qatar, Uni Emirat Arab, bahkan Arab Saudi—semuanya masuk dalam daftar mitra potensial yang bisa membantu membentuk “Tata Ulang Timur Tengah”. Dan menariknya, semua itu dilakukan tanpa menempatkan Israel sebagai aktor utama.
Jika ini adalah panggung, maka Israel tampak seperti bintang lama yang terus tampil dengan gaya lama, saat penonton sudah pindah ke genre baru. Meski rudal masih meluncur dari Gaza dan jet tempur masih meraung di langit Rafah, dunia—terutama Amerika—tampaknya sudah mulai muak dengan sinetron berdarah yang tak kunjung selesai ini.
Dan masyarakat Israel sendiri mulai resah. Sebagian mulai bertanya, mengapa ribuan nyawa sudah melayang tapi para sandera belum kembali? Mengapa ekonomi makin goyah, opini global makin buruk, dan tetangga-tetangga Arab kini lebih tertarik berdiplomasi dengan musuh bebuyutan kita daripada dengan kita sendiri?
Netanyahu, sang maestro politik, tampak kehabisan jurus. Selama bertahun-tahun, ia sukses memainkan kartu keamanan untuk menyatukan koalisi dalam negeri dan mempertahankan dukungan internasional. Tapi sekarang, kartu itu mulai lusuh. AS di bawah Trump tidak lagi membagi keprihatinan yang sama. Mereka lebih khawatir jalur perdagangan Laut Merah terganggu karena serangan kelompok Houthi dari Yaman, ketimbang menghitung jumlah roket yang jatuh di Sderot.
Yang lebih menyakitkan, dalam forum-forum diplomatik terkini, Israel mulai merasa tersisih. Saat pembicaraan tentang masa depan Gaza dilakukan, para pemain utama justru negara-negara Arab bersama Amerika, dengan perwakilan Eropa sebagai bumbu pelengkap. Israel hadir, tapi sebagai pengamat, bukan pengendali. Seperti mantan kekasih yang masih datang ke acara keluarga tapi tak lagi ditanya pendapat.
Trump, yang dikenal pragmatis, tentu tidak melihat loyalitas sebagai nilai utama. Bagi dia, hubungan internasional adalah tentang “deal”, dan jika deal baru menjanjikan stabilitas, pengurangan biaya militer, serta peluang dagang lebih besar, maka itu yang akan ia pilih. Maka wajar jika Netanyahu mulai kehilangan waktu tayang di Fox News, dan lebih sering melihat nama Mohammed bin Salman atau Tamim bin Hamad di depan kamera.
Sementara itu, aktor lain di kawasan Timur Tengah mulai memainkan perannya dengan lincah. Iran, seperti biasa, tenang tapi menghitung. Mereka sadar, selama perhatian dunia tertuju ke meja negosiasi, maka gerakan poros perlawanan bisa leluasa bergerak. Yaman, Hizbullah, bahkan milisi di Irak, semuanya siap menjadi duri di sisi Israel jika situasi semakin tak terkendali.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah kontemporer, Israel tampak lebih defensif daripada ofensif. Mereka tak lagi bisa mengandalkan “dukungan mutlak” dari Washington. Bahkan, bantuan militer mulai dibatasi secara teknis dengan klausul-klausul “kemanusiaan”. Sekutu-sekutu lama mulai bersikap hati-hati. Uni Eropa pun, meski tetap setengah hati, mulai mengeluarkan pernyataan yang sedikit lebih keras terhadap pelanggaran HAM di Gaza.
Di dalam negeri Amerika sendiri, opini publik mulai berubah. Kaum muda, aktivis kampus, bahkan sebagian komunitas Yahudi liberal mulai mempertanyakan arah kebijakan AS terhadap Israel. Trump tentu mencium angin itu. Dan sebagai politisi ulung, ia tahu: popularitas dalam negeri lebih penting dari sekadar mempertahankan reputasi luar negeri yang stagnan.
Maka, jadilah Israel hari ini seperti kapal yang masih kuat, tapi kehilangan kompas. Mereka tetap memiliki kekuatan militer superior, teknologi intelijen mutakhir, dan jaringan lobi yang luas. Tapi dalam dunia yang berubah cepat, itu semua tak lagi menjamin posisi “anak emas”. Dunia tak lagi tunduk pada satu narasi. Dan Amerika, kini tampaknya, mulai sadar bahwa anak emas pun bisa bikin tagihan terlalu mahal.
Namun, bukan berarti ini akhir dari hubungan istimewa itu. Politik luar negeri adalah drama panjang. Ada plot twist, cliffhanger, bahkan episode-episode filler. Mungkin setelah ini Israel akan menemukan strategi baru untuk merebut kembali panggung. Atau mungkin, mereka akan belajar untuk hidup dalam dunia yang lebih multipolar, tempat tidak ada lagi yang benar-benar di atas segalanya.
Bagi kita yang menonton dari kejauhan—dari balik layar ponsel, di sela riuhnya debat pilpres lokal, atau sambil menyeruput kopi sachet—semua ini bisa terasa jauh. Tapi dunia ini saling terhubung. Ketika Israel tak lagi jadi anak emas Amerika, maka peta politik global pun ikut berubah. Dan ketika perubahan itu datang, siapa tahu, suara dari Jakarta pun bisa terdengar lebih keras dari biasanya.
Karena begitulah dunia bekerja sekarang: yang dulu kecil bisa tiba-tiba berpengaruh, dan yang besar bisa kehilangan cahaya jika tak tahu diri.