Connect with us

Opini

Ketika Israel Menjadi Musuh Jurnalisme

Published

on

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengatakan bahwa tentara Israel bertanggung jawab atas hampir 70 persen kematian jurnalis pada 2024, menjadikannya tahun paling mematikan bagi pers sejak CPJ mencatatnya. Laporan yang dirilis pada 12 Februari ini bukan sekadar angka, melainkan bukti bahwa Israel telah menjadikan jurnalisme sebagai musuh yang harus dibungkam dengan cara paling brutal: pembunuhan.

Menurut CPJ, setidaknya 124 jurnalis tewas di 18 negara, 85 di antaranya dihabisi oleh militer Israel. Seolah ini bukan pembunuhan biasa, tetapi program sistematis. Mereka tidak ingin ada saksi, tidak ingin ada yang mencatat, tidak ingin ada yang mengungkap fakta bahwa perang mereka lebih mirip pembantaian yang dihalalkan oleh diamnya dunia.

Demi menjaga keseimbangan berita, media Barat akan terus menyebut ini sebagai “dampak sampingan perang.” Jurnalis yang terbunuh? Yah, mungkin mereka terlalu dekat dengan zona perang. Kamera mereka terlalu tajam, pena mereka terlalu berani. Dan berani di dunia saat ini adalah kejahatan, terutama jika yang kau berani lawan adalah Zionis.

Militer Israel tentu menyangkal. Mereka berkata tidak memiliki cukup informasi untuk memverifikasi insiden-insiden ini. Tentu saja, bagaimana mereka bisa mendapatkan informasi jika sumber informasi telah mereka kubur di bawah reruntuhan Gaza? Bagaimana mungkin ada saksi jika saksi dipastikan tidak akan pernah bisa berbicara lagi?

Dunia jurnalistik internasional seharusnya berteriak. Tapi kebanyakan memilih diam, atau lebih tepatnya, sibuk menggali sudut pandang Israel. Zionis membunuh jurnalis, tapi jurnalis Barat tetap bertanya, “Apa alasan Israel melakukan ini?” Seakan perlu ada justifikasi untuk setiap peluru yang menembus tubuh seorang reporter.

Mungkin inilah saatnya bagi jurnalis di seluruh dunia untuk mengakui siapa musuh utama mereka. Bukan hanya represi pemerintah otoriter atau ancaman kartel narkoba. Bukan hanya penguasa diktator yang membungkam pers. Musuh utama jurnalisme hari ini adalah Israel, yang membunuh mereka dengan senjata dan mencuci tangannya dengan diplomasi.

Organisasi pers global seharusnya menghentikan liputan dari sudut pandang Israel. Mengapa harus memberi ruang bagi propaganda pembunuh? Jika jurnalis tetap memberi panggung kepada mereka, berarti mereka mengamini pembantaian ini. Berita seharusnya datang dari korban, bukan dari pelaku yang mengatur narasi demi mempertahankan citra mereka.

Seharusnya ada boikot terhadap sumber-sumber resmi Israel. Tidak ada wawancara dengan pejabat mereka, tidak ada ruang untuk propaganda mereka di media internasional. Israel telah berubah dari negara penjajah menjadi pembantai pers, dan dunia harus menanggapinya dengan tindakan, bukan sekadar kecaman diplomatis yang tak berarti.

Namun, dunia tidak peduli. Jurnalis Barat tidak merasakan peluru yang menembus dada rekan-rekan mereka di Gaza. Mereka tidak perlu berlari di antara reruntuhan dengan kamera yang lebih berbahaya dari senjata. Mereka tidak perlu menulis berita sambil bertanya apakah ini berita terakhir yang mereka buat sebelum tubuh mereka menjadi headline berikutnya.

Maka, jika jurnalis dunia memilih diam, mari kita akui bahwa mereka bukan lagi jurnalis sejati. Pena mereka tidak berhadapan dengan tank atau misil, hanya dengan editor yang memastikan agar berita mereka tetap sejalan dengan kepentingan pemodal. Mereka bukan jurnalis, hanya tukang ketik yang menunggu gaji di akhir bulan.

Jika jurnalis internasional benar-benar peduli, mereka harus berdiri bersama rekan-rekan mereka yang dibantai. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi bagian dari sistem yang membiarkan kejahatan ini terus terjadi. Pers seharusnya menjadi saksi, bukan alat pembenaran bagi penjajah yang telah membunuh kebebasan pers bersama dengan mereka yang memperjuangkannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *