Connect with us

Opini

Ketika Israel Bertengkar dengan Dirinya Sendiri

Published

on

Di tengah kobaran api dan reruntuhan yang menyesakkan di Gaza, sebuah kalimat yang diucapkan dalam ruang kabinet “Israel” menggaung lebih mengerikan dari dentuman bom: “Kami ingin membawa sandera kembali, tapi kami tidak mau mengorbankan seluruh negara demi mereka.” Kalimat itu keluar dari mulut Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan yang lebih mirip juru kampanye pemukiman ketimbang penjaga ekonomi negara. Kata-katanya ditujukan langsung ke Kepala Staf Militer, Eyal Zamir, yang baru saja mengingatkan: ekspansi perang ke Gaza akan membahayakan nyawa para sandera. Namun tampaknya, nyawa warga sipil bahkan yang berasal dari bangsanya sendiri, kini menjadi penghalang bagi proyek ideologis yang lebih besar—proyek “pengosongan Gaza” demi “Netzarim Selatan”, versi mutakhir dari kolonialisme lama.

Zamir tidak bicara sebagai aktivis HAM. Ia bukan pegiat kemanusiaan. Ia kepala militer negara yang sedang membombardir Gaza dengan kekuatan mematikan. Ketika bahkan seorang jenderal perang mulai memberi peringatan akan bahaya ekspansi, itu seharusnya jadi sinyal bahaya yang sangat serius. Tapi tidak bagi Ben Gvir, Menteri Keamanan yang lebih senang jadi tukang provokasi. “Tak ada perang yang dihentikan karena sandera,” katanya, seolah-olah hukum moral dan kemanusiaan adalah kelemahan yang harus disingkirkan demi kemenangan total. Sandera? Risiko. Kematian? Kolateral. Perang? Jalan suci.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sungguh absurd ketika para pejabat negara berlomba adu gagah, bukan dalam strategi membebaskan warga, tapi dalam rencana memperluas penjajahan. Sementara keluarga para sandera berteriak di ruang sidang Mahkamah Agung, berharap hanya didengar, para menteri berteriak di ruang kabinet, berharap lebih banyak darah ditumpahkan. Ini bukan lagi konflik geopolitik atau pertarungan antarstrategi militer. Ini adalah pertunjukan kekuasaan yang haus pengakuan, dan nyawa manusia—baik Yahudi maupun Palestina—telah berubah jadi pion, dikorbankan di altar ego dan ideologi.

Di medan perang, realitas justru bicara lain. Al-Quds Brigades, sayap militer Jihad Islam Palestina, berhasil mengatur penyergapan terhadap unit infanteri “Israel” di Khan Younis. Mereka jebak dalam rumah, pasang ranjau, dan ledakkan saat pasukan masuk. Reinforcements yang datang justru disambut rentetan peluru dan RPG. Di sisi lain, sebuah buldoser lapis baja D9 meledak dihantam bom tongkat berdaya ledak tinggi. Gaza mungkin dihujani bom dan diblokade dari segala arah, tapi perlawanan tetap hidup—dan lebih dari itu, mereka belajar dan beradaptasi. Perang ini telah menunjukkan bahwa menguasai langit bukan jaminan menguasai tanah.

Sementara itu, di Jerusalem, seorang ibu bernama Talik Gvili, ibu dari sandera, diusir dari ruang sidang Mahkamah Agung karena berteriak membela anaknya. Ketika ia berkata, “Jangan gunakan sandera kami untuk kepentingan politik,” hakim menanggapinya dingin: “Ibu tetap tidak boleh bicara.” Tentu, aturan harus ditegakkan. Tapi apakah aturan itu lebih sakral dari jeritan seorang ibu yang anaknya tak tahu apakah masih hidup atau sudah menjadi angka di statistik militer? Kita hidup di dunia di mana protokol mengalahkan empati, dan institusi memilih kenyamanan prosedur dibanding kegelisahan nurani.

Yang lebih getir, ketegangan ini bukan datang dari musuh eksternal, tapi dari dalam. Antara tentara dan menteri. Antara mereka yang mengeksekusi perang dan mereka yang menjualnya di panggung politik. Militer bicara tentang risiko dan kalkulasi. Para menteri bicara tentang kehormatan nasional, imajinasi religius, dan peta pemukiman baru. Di negeri yang bangga menyebut dirinya sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah, kini kita saksikan demokrasi itu diremukkan oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Mungkin memang sudah waktunya untuk bertanya: siapa sebenarnya yang menyandera siapa? Apakah pejuang Palestina yang menyandera warga “Israel”? Atau justru pemerintah mereka sendiri yang menyandera rakyatnya dengan janji kosong kemenangan, sambil mengabaikan nyawa sandera demi proyek pemukiman impian? Ironinya, di tengah semua kekerasan ini, para menteri yang berkoar soal “kemenangan mutlak” tampaknya lebih takut pada kesepakatan damai ketimbang rudal perlawanan. Karena perdamaian mengancam posisi mereka. Perang justru memperpanjang umur kekuasaan.

Dan yang paling menyakitkan dari semua ini adalah bahwa kekerasan telah menjadi bahasa resmi negara. Bukan hanya terhadap Palestina, tapi juga terhadap rakyatnya sendiri—yang bersedih, yang menolak, yang bertanya, yang tidak ikut arus. Setiap suara berbeda akan dibungkam, setiap keraguan dianggap pembangkangan. Maka jangan heran bila suatu hari, tak hanya Gaza yang luluh lantak, tapi juga kepercayaan rakyat terhadap negara mereka sendiri. Ketika tentara mulai bertanya kepada dirinya sendiri: “Untuk apa kami berperang?”—saat itulah negara mulai pecah dari dalam.

Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan datang masa ketika pemerintah dan militer tidak lagi berbicara dalam bahasa yang sama. Ketika instruksi tidak lagi dijalankan sepenuh hati. Ketika pasukan mulai menimbang antara perintah dan nurani. Di situ, kehancuran tak datang dari luar, tapi dari dalam tubuh negara itu sendiri. Sebuah kejatuhan yang bukan karena rudal, tapi karena ketidakmampuan membedakan ideologi dari akal sehat.

Di Indonesia, kita pernah melihat bagaimana perbedaan tajam antara militer dan sipil bisa melahirkan masa kelam. Kita belajar dari sejarah bahwa negara yang dikuasai oleh hasrat ideologis dan meminggirkan pertimbangan kemanusiaan akan berjalan menuju jurang. Dan kita, sebagai bangsa yang pernah dijajah, mestinya lebih peka pada aroma kolonialisme—apalagi jika itu dibungkus dalih keamanan dan agama.

Kini, dunia menyaksikan babak baru yang tak kalah tragis dari babak sebelumnya. Bukan hanya karena darah yang terus tumpah di Gaza, tapi karena absurditas yang dipertontonkan di Tel Aviv dan Yerusalem. Para penguasa bicara seolah negeri ini abadi, seolah tak akan pernah runtuh. Tapi sejarah punya cara mengejutkan. Ia tak butuh rudal untuk menjatuhkan rezim, cukup dengan membuat pemimpinnya percaya bahwa mereka benar sendiri. Sisanya akan dikerjakan oleh waktu, dan rakyat yang kehilangan harapan.

Akhir dari semua ini mungkin tidak akan ditentukan oleh perang atau diplomasi, tapi oleh kelelahan kolektif: tentara yang muak, rakyat yang marah, dan dunia yang tak lagi peduli. Mungkin saat itu, tak perlu ledakan besar. Cukup satu pernyataan jujur dari dalam: “Kami kalah bukan karena musuh terlalu kuat. Tapi karena kami kehilangan arah.”

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer