Opini
Ketika Gaza Menjerit, Dunia Islam Sibuk Cari Aman?

“Ini tanggung jawab para ulama umat untuk menyeru jihad di jalan Allah demi membela rakyat Palestina.”
Suara itu datang dari garis depan, dari tanah yang tak pernah benar-benar damai. Bukan dari ruang ber-AC, bukan dari forum dialog antaragama, bukan pula dari konferensi internasional dengan kopi hangat dan sesi foto bersama. Suara itu datang dari Syaikh Shams al-Din Sharaf al-Din, Mufti Agung Yaman, yang berdiri di tengah reruntuhan, dikelilingi blokade, diserang, dan tetap menyeru dunia Islam. Tapi seperti gema yang hilang di padang tandus, suaranya hanya kembali kepada dirinya sendiri. Dunia Islam mendengarkah? Atau sedang sibuk merapikan dasi dan menjaga hubungan bilateral?
Di saat Gaza menjerit, ketika seorang anak menggigit karton basah karena sudah tiga hari tak makan, sebagian kita malah ikut lomba membuat poster solidaritas dengan font yang kekinian. Sementara bayi-bayi meregang nyawa di bawah puing, kita menyusun caption Instagram: “Pray for Gaza 🕊️ #SavePalestine”. Seruan jihad? Terlalu ekstrem, kata sebagian. Mengganggu kestabilan nasional, kata yang lain. Maka seruan itu, seperti amplop undangan yang ditolak kantor pos, tak pernah sampai ke tangan mereka yang dituju.
Yaman, negara yang dilanda perang, embargo, dan kelaparan, justru mengirim pesan yang tak semua negara berdaulat berani ucapkan. Seperti paradoks yang menampar: yang paling miskin, justru paling berani. Sementara mereka yang menikmati kekayaan dan ketenangan di istana dan vila mewah, lebih sibuk menimbang-nimbang apakah mendukung Palestina bisa merusak hubungan dagang dengan sponsor-sponsor global mereka.
Ada sesuatu yang sakit dalam tubuh umat ini. Bukan hanya tubuh Palestina yang remuk, tapi tubuh kolektif umat yang kehilangan rasa. Lihatlah bagaimana sebagian ulama memilih diam demi menjaga akses ke panggung-panggung resmi. Mereka lebih fasih bicara soal perbedaan mazhab daripada menyuarakan penderitaan Gaza. Kita ini umat yang kuat dalam berdebat soal fiqih wudhu, tapi gagal bersepakat soal darah anak-anak yang ditumpahkan zionis.
Mari kita jujur. Ketika para pemuda Ansarullah Yaman meluncurkan rudal ke arah pelabuhan-pelabuhan pendukung zionis, berapa banyak dari kita yang benar-benar bersyukur? Atau malah diam-diam merasa khawatir, jangan-jangan serangan itu bikin harga minyak naik? Solidaritas kita terlalu banyak dibubuhi catatan kaki dan disclaimer. Kita bilang mendukung Palestina, tapi jangan sampai menyerempet hubungan diplomatik dengan negara-negara donor. Kita bersedih atas korban sipil, tapi tidak mau disebut berpihak pada kelompok yang dicap teroris oleh media barat. Maka kita memilih netral. Netral, dalam perang pembantaian. Netral, di tengah genosida.
Dan yang paling menyedihkan: sebagian umat bahkan mulai menyalahkan Palestina. “Kenapa tidak menyerah saja?” tanya mereka, seperti orang yang menyuruh burung agar berhenti mengepakkan sayapnya karena sangkar terlalu sempit. Mereka lupa, bahwa mempertahankan martabat bukanlah soal menang atau kalah, tapi soal tetap menjadi manusia ketika dunia ingin menginjakmu seperti debu.
Lihatlah Arab Saudi. Negeri yang konon pemimpin dunia Islam itu lebih sibuk menyambut turis dan menggelar konser daripada merespons jeritan Gaza. Mereka lebih khawatir pernyataan dukungan terhadap Palestina akan merusak citra “Vision 2030” mereka. Di mana suara lantang para raja dan amir? Mungkin sedang tenggelam di balik suara gemerlap Coldplay dan Justin Bieber.
Tapi mari jangan hanya menuding para penguasa. Bagaimana dengan kita? Kita yang membaca ini sambil duduk nyaman, scrolling berita sambil ngopi, lalu merasa sudah cukup berperan karena membagikan postingan solidaritas? Kita bangga karena ikut aksi damai satu kali, lalu kembali ke rutinitas duniawi yang nyaman. Kita merasa marah, tapi tidak cukup untuk mengorbankan kenyamanan. Kita tersentuh, tapi tidak cukup untuk mengubah gaya hidup. Kita simpati, tapi tidak sampai pada empati. Dan Gaza tetap sendiri.
Barangkali kita lupa, bahwa solidaritas sejati itu bukan hanya urusan retorika, bukan cuma soal amal sumbangan. Ini soal keberpihakan. Dan keberpihakan itu bukan netralitas. Ia tidak bisa duduk di dua kursi. Ia harus memilih: berdiri bersama tertindas, atau diam bersama penindas. Dan dalam diam itu, kita bersekongkol, meski hanya dengan keheningan.
Ironisnya, sebagian besar umat Islam hari ini lebih takut pada opini publik barat daripada pada murka Tuhan. Mereka lebih patuh pada algoritma media sosial daripada pada suara hati nurani. Dan mereka lebih percaya pada “narasi berimbang” ala newsroom internasional daripada pada rekaman nyata anak-anak yang terbunuh. Dunia Islam hari ini begitu khawatir disalahpahami, hingga lupa bagaimana menjadi benar.
Jadi ketika Mufti Agung Yaman berseru, “di mana suara para ulama?”—barangkali kita tahu jawabnya. Suara itu tenggelam di antara jadwal podcast motivasi dan tausiyah tentang “menjadi muslim produktif di era digital”. Ketika Gaza hancur, kita masih sibuk menyusun strategi konten agar engagement naik.
Tentu, tidak semua diam. Masih ada segelintir yang bergerak. Tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk disebut gelombang, dan terlalu sunyi untuk disebut arus. Mereka melawan bukan hanya zionis, tapi juga kemunafikan kolektif yang lebih takut pada sanksi ekonomi daripada kutukan sejarah. Di saat seperti ini, kita butuh lebih dari doa. Kita butuh keberanian. Bukan keberanian di atas mimbar, tapi di tengah pasar. Bukan sekadar berbicara, tapi berbuat.
Mungkin, suatu hari nanti, anak-anak Gaza yang selamat akan bertanya: apa yang kalian lakukan saat kami dibantai? Dan kita hanya bisa menjawab dengan kepala tertunduk: kami menggelar lomba puisi, menyusun poster, dan… mengganti foto profil.
Dan itulah jawaban paling jujur dari dunia Islam yang katanya satu tubuh. Ketika Gaza menjerit, dunia Islam memang… sibuk cari aman.