Opini
Ketika Gaza Menjerit, Dunia Diam

Ratusan perintah evakuasi yang dikeluarkan Israel di Gaza, termasuk sekitar 30 sejak kegagalan gencatan senjata pada Maret 2025, kembali membuka luka lama yang belum sempat mengering. Menurut analisis Financial Times yang dilansir Al Mayadeen pada Juni 2025, lebih dari 80 persen wilayah Gaza—yang bahkan sebelum 7 Oktober 2023 telah menjadi salah satu wilayah terpadat di dunia—kini masuk dalam zona militer Israel atau berada di bawah perintah evakuasi. Bayangkan sebuah wilayah yang semula sudah padat, kini dipersempit lebih jauh. Ruang hidup menyempit, harapan semakin sesak. Lalu, ke mana lagi warga Gaza bisa pergi? Air, listrik, dan fasilitas medis telah hilang. Puing-puing kini menjadi penanda bisu atas apa yang dulu disebut sebagai rumah.
Di balik angka-angka itu, terdengar jeritan yang tak terdengar. Kementerian Kesehatan Gaza, seperti dikutip Anadolu Agency pada Juni 2025, mencatat 54.470 jiwa telah gugur sejak Oktober 2023. Dalam 24 jam terakhir saja, 52 jenazah dilaporkan tiba di rumah sakit, sementara 503 orang lainnya mengalami luka-luka. Jumlah total korban luka kini mencapai 124.693. Banyak di antara mereka masih terperangkap di bawah reruntuhan, tak tersentuh oleh tim penyelamat yang kelelahan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah manusia—ayah, ibu, anak, dan saudara—yang hilang di tengah dentuman bom dan gelombang kehancuran.
Sejak 18 Maret 2025, serangan Israel kembali menggulung wilayah Gaza, menghapus harapan yang sempat tumbuh dari gencatan senjata di Januari lalu. Gelombang kekerasan baru ini telah menewaskan 4.201 orang dan melukai 12.652 lainnya. Rafah dan Khan Younis menjadi dua titik luka terdalam dari seluruh kehancuran ini. Rafah, yang dulu dikenal sebagai kota perbatasan yang hidup, kini tinggal puing dan debu. Lanskapnya berubah menjadi gurun kering tanpa air bersih, tanpa listrik. Sementara Khan Younis—kota lain di selatan Gaza—ditinggalkan penghuninya akibat evakuasi paksa. Rumah, sekolah, pasar—semua bentuk kehidupan—lenyap tanpa sisa. Di mana letak keadilan dalam penderitaan yang terus menganga ini?
Namun, kehancuran fisik hanyalah satu sisi dari tragedi. Lebih mengkhawatirkan adalah rencana-rencana yang mengisyaratkan niat jangka panjang yang membahayakan. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menurut laporan Al Mayadeen, berencana memusatkan seluruh penduduk Gaza ke area kecil di ujung selatan, dekat perbatasan Mesir, sementara wilayah lainnya akan ditetapkan sebagai zona terlarang. Zona pengungsian yang direncanakan itu tandus, nyaris tanpa sumber daya, dan minim infrastruktur dasar. Para pengamat internasional telah memperingatkan bahwa pengusiran paksa dalam kondisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pembersihan etnis.
Bezalel Smotrich, salah satu menteri dari sayap kanan Israel, bahkan secara terbuka menyatakan dalam sebuah konferensi pada Mei 2025, “Dalam beberapa bulan, Gaza akan hancur,” sambil menegaskan bahwa penduduknya akan dipaksa ke selatan. Apakah ini visi masa depan yang ingin diwujudkan? Gaza, yang sejak lama terkoyak oleh embargo dan konflik berkepanjangan, kini berada di ambang kehancuran total. Dunia menyaksikan semuanya dengan napas tertahan—antara rasa cemas dan rasa tak berdaya.
Situasi di lapangan terus memburuk. Gaza utara telah diratakan; yang tersisa hanyalah reruntuhan, menjadi saksi bisu dari kehancuran sistematis. Koridor Morag—dinamai dari pemukiman Israel yang pernah berdiri sebelum penarikan tahun 2005—kini menjadi batas antara Rafah yang porak-poranda dan Khan Younis yang ditinggalkan. Tak ada sistem sanitasi. Tak ada air yang mengalir. Yang ada hanyalah kepadatan yang menyesakkan. Warga sipil berdesakan dalam ruang-ruang sempit yang bahkan tak layak disebut tempat tinggal. Mereka berjuang sekadar untuk tetap hidup, dari satu hari ke hari berikutnya.
Laporan Al Mayadeen menyoroti krisis kemanusiaan yang terus memburuk: keluarga-keluarga yang tercerai-berai, anak-anak yang kehilangan orang tua, dan harapan yang tergerus oleh waktu. Ini bukan kehidupan. Ini adalah perjuangan tanpa akhir hanya untuk bertahan. Maka pertanyaannya, bagaimana mungkin hati nurani kita—baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya—tidak tergugah oleh penderitaan sebesar ini?
Indonesia bukan pihak asing dalam solidaritas. Sejak 2023, ribuan orang turun ke jalan di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya, menyuarakan dukungan bagi rakyat Palestina. Masjid-masjid mengumandangkan doa dan menggalang bantuan kemanusiaan, mengukuhkan semangat universal untuk kemanusiaan. Kita adalah bangsa yang lahir dari perjuangan melawan penjajahan. Maka, kita tahu persis rasanya kehilangan tanah, rumah, dan martabat. Namun di tengah empati dan dukungan itu, muncul pertanyaan krusial: apakah semua ini cukup jika penderitaan terus berlangsung tanpa ujung?
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbagai negara telah mengecam keras kekerasan ini. Tapi, gencatan senjata yang sempat dicapai tetap rapuh. Mahkamah Pidana Internasional bahkan telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada November 2024 atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Di samping itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional. Namun, apakah langkah hukum internasional ini cukup untuk menghentikan laju kehancuran yang setiap hari memakan korban?
Pertanyaan mendasarnya: jika lebih dari 80 persen wilayah Gaza telah kehilangan kelayakan huni, dan warganya terus dipaksa ke daerah tandus yang nyaris tak memiliki daya dukung hidup, seperti apa masa depan Palestina? Laporan-laporan yang beredar menyiratkan adanya ambisi kelam: pengusiran permanen penduduk Gaza. Ini bukan semata konflik bersenjata. Ini adalah krisis eksistensial. Sebuah upaya sistematis yang mengancam keberlangsungan hidup sebuah bangsa.
Indonesia selama ini terus mendukung solusi dua negara: Palestina dan Israel berdiri berdampingan dalam damai dan kedaulatan. Tapi bagaimana membicarakan solusi dua negara jika Gaza dihancurkan, jika Tepi Barat terus digerogoti oleh permukiman ilegal? Jika tanah telah hilang dan rakyatnya diusir, apa yang tersisa dari ide dua negara itu?
Narasi diplomatik lama tampaknya tak lagi memadai. Solusi dua negara terus digaungkan, tapi fakta di lapangan berbicara lain: kehancuran yang terjadi menuntut tindakan yang lebih konkret dan mendesak. Data dari Anadolu Agency mencatat sejak Maret 2025 saja, 4.201 orang telah tewas, ribuan lainnya terluka. Banyak yang masih tertimbun di bawah reruntuhan, tanpa harapan untuk diselamatkan.
Kita mengutuk ketidakadilan dari kejauhan, mengirim bantuan lewat jalur kemanusiaan. Tapi apakah itu cukup? Ataukah kita punya tanggung jawab moral yang lebih besar? Sebuah dorongan untuk mendesak aksi nyata—tekanan internasional, langkah diplomatik yang lebih keras, atau bahkan langkah ekonomi—agar kekerasan ini benar-benar dihentikan.
Jika Gaza terus menyusut, jika wilayah hidup mereka mengerut ke titik nol, lalu apa arti keadilan dalam peta dunia hari ini? PBB, meski telah mengeluarkan beberapa resolusi gencatan senjata, tetap lumpuh oleh veto negara-negara besar di Dewan Keamanan. Di tengah kebuntuan itu, mungkin saatnya dunia mempertimbangkan opsi-opsi nyata: sanksi ekonomi, boikot, bahkan pengerahan misi penjaga perdamaian. Dunia memang terbelah: sebagian negara mendukung Israel, sebagian lainnya mengecam keras. Di tengah itu semua, warga sipil terus menjadi korban.
Beberapa laporan investigatif menyingkap motif tersembunyi dalam krisis ini. Beberapa analis menyebut penderitaan yang berlangsung justru melayani ambisi pengusiran massal. Jika ini benar, maka dunia dihadapkan pada pilihan moral yang tak bisa dihindari: diam atau bertindak. Apakah kita akan terus menonton sampai semuanya musnah dan tak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan?
Saya tidak bisa berpaling dari kenyataan ini. Penderitaan Gaza adalah luka kemanusiaan yang menuntut jawaban dari akal sehat dan hati nurani. Ini bukan hanya soal Palestina. Ini soal kemanusiaan. Di Indonesia, di Asia, dan di mana pun, kita memiliki tanggung jawab moral untuk lebih dari sekadar bersuara—kita perlu mendorong langkah-langkah nyata. Tekanan diplomatik, embargo, dan dukungan terhadap mekanisme hukum internasional harus menjadi bagian dari strategi bersama.
Saat ini, mungkin langkah paling mendesak adalah mewujudkan gencatan senjata permanen yang disertai dengan bantuan kemanusiaan yang layak dan bebas hambatan. Tapi itu saja tidak cukup. Kita harus menuntut perubahan struktural dalam cara dunia menyikapi tragedi seperti ini. Karena jika 54.470 nyawa yang telah gugur belum cukup menggugah kesadaran global, maka kita perlu bertanya: berapa banyak lagi yang harus mati agar dunia benar-benar peduli?
Gaza sedang berjuang untuk bertahan hidup. Dan kita, sebagai sesama manusia, tak boleh berpaling. Kini saatnya bertanya dengan sungguh-sungguh: Apa yang akan kita lakukan sebelum harapan terakhir benar-benar padam?