Opini
Ketika Gaza Dibom, Para Pemimpin Arab Berpuisi

Di bawah langit Baghdad yang berdebu dan bau retorika lama, KTT Arab 2025 membuka tirainya dengan gegap gempita seruan gencatan senjata di Gaza, negara Palestina merdeka, dan kesatuan sikap untuk krisis regional—Suriah, Sudan, Lebanon. Sementara itu, di Gaza yang terkepung, bom Israel terus meluncur seperti kembang api kematian, menewaskan warga sipil tak bersenjata. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan angka mengerikan: 53.272 syahid, 120.673 luka sejak 7 Oktober 2023. Sejak gagalnya gencatan senjata pada 18 Maret, tambahan 3.131 tewas, 8.632 luka, dan entah berapa lagi yang menjadi arwah tak bernisan di bawah reruntuhan. Di tengah simfoni retorika para pemimpin, realitas di lapangan menampar: solidaritas Arab tampak seperti opera sabun dengan naskah basi dan pemain yang terlalu menikmati kostumnya.
Bayangkan, di aula mewah KTT, para pemimpin tampil anggun bak model fashion diplomatik, berpidato dengan semangat membara yang hanya menyala di podium. Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi membuka acara dengan menyebut agresi Israel sebagai “kampanye sistematis” untuk mengusir Palestina, menuduh Israel menjadikan kelaparan sebagai senjata. Kata-katanya tajam, tapi realitasnya tumpul: Mesir, yang berbatasan langsung dengan Gaza, belum juga—atau tidak mau?—menggerakkan satu truk bantuan pun menyeberangi Rafah. Hamas, dalam pernyataan getirnya, menuntut sanksi terhadap “penjajah fasis” dan mengungkap kebenaran pahit: Gaza dicekik bukan hanya oleh Israel, tetapi oleh keheningan dunia Arab. Ini bukan sekadar krisis; ini adalah absurditas geopolitik, di mana panggung penuh orator, tapi tidak satu pun membawa air saat rumah terbakar.
Mari tarik napas dan buka lembar data. Lebih dari 2,5 juta jiwa di Gaza hidup di bawah bayang-bayang kematian. Hamas menyebutnya genosida, dan angka-angka mendukung: 53.272 nyawa melayang, mayoritas warga sipil, anak-anak, dan lansia. El-Sisi mengecam Israel yang “tak mengampuni anak atau orang tua,” tapi di mana tindak lanjutnya? Mesir berjanji menggelar konferensi rekonstruksi Gaza—setelah perang selesai. Setelah! Ini seperti datang ke pemakaman dengan membawa vitamin. Sementara itu, Mahmoud Abbas, dengan raut wajah penuh empati yang tampak seperti dipahat dari marmer, menyebut Gaza menghadapi “genosida dan kolonialisme,” lalu menyerukan “satu negara, satu hukum, satu senjata.” Sebuah visi yang mulia, tentu saja, hingga kita menyadari bahwa meminta Hamas meletakkan senjata sama seperti menyuruh burung berhenti terbang—mimpi yang indah, tapi tetap mimpi.
Bandingkan dengan respons Eropa terhadap Ukraina. Ketika Rusia menyerang pada 2022, Eropa tidak sekadar berpidato. Mereka bergerak: sanksi ekonomi menghantam Rusia, tank Leopard dari Jerman, rudal dari Inggris, dan lebih dari €90 miliar digelontorkan untuk bantuan militer dan kemanusiaan. Empat juta pengungsi Ukraina disambut bak tamu kehormatan, koridor ekspor gandum dibuka demi mencegah krisis pangan. Eropa menanggung inflasi, krisis energi, hingga protes jalanan—tetapi tetap teguh. Dunia Arab? Mereka memanaskan mikrofon dan podium, tapi truk bantuan pun macet di naskah birokrasi. Ini bukan cuma kontras; ini slapstick tragedi, di mana panggung politik Arab penuh kata-kata api, tapi kaki mereka terikat pada sofa kemapanan. Mereka bukan tak punya rem, mereka tak pernah menginjak gas.
Ada ikatan yang seharusnya menjadi bahan bakar moral dunia Arab: saudara seiman. Al-Quds dengan Al-Aqsa bukan sekadar tanah; ia simbol iman, identitas, dan sejarah. Yordania menyuarakan peran kustodiannya atas situs suci, tapi di mana mobilisasi umat? Di masjid-masjid Jakarta, khotbah Jumat bergema doa untuk Palestina, tapi di KTT Arab, ikatan iman berubah menjadi nada-nada diplomasi yang tak bernyawa. Solidaritas Islam seharusnya lebih kuat daripada ikatan sekuler Eropa, tapi nyatanya Eropa menunjukkan kesungguhan, sementara dunia Arab tampil seperti orkestra tanpa konduktor—bising, tapi tak terarah. Mungkin mereka pikir adzan politik cukup tanpa gerakan salat kemanusiaan.
Lebih ironis lagi, ancaman Israel tak hanya menghantam Gaza. Lebanon menolak pemukiman ulang pengungsi dan menuntut Israel mundur dari wilayahnya. Suriah mengecam pelanggaran di Golan. Mesir sadar konflik ini bisa menjadi bom waktu regional. Namun entah mengapa, semua ancaman ini hanya masuk daftar pidato, bukan strategi. Bandingkan lagi dengan Eropa: invasi Rusia dianggap ancaman eksistensial. Polandia, Baltik, Finlandia bereaksi cepat, tak peduli biaya. Dunia Arab? Mereka seperti penonton debat soal asap sambil mengabaikan rumah sendiri yang sudah tinggal arang.
Laporan KTT memuat pernyataan penuh gairah. Menlu Aljazair menyebut Palestina sebagai “tugas historis dan moral.” Somalia dan Sudan mengklaim Palestina sebagai inti persatuan Arab. Namun, ketika Hamas meminta bantuan konkret, semua menjadi sunyi. Resolusi PBB untuk menyelidiki kejahatan perang Israel justru diajukan Spanyol. Spanyol! Sebuah negara Eropa yang tak berbagi iman maupun sejarah dengan Palestina, tapi lebih vokal dari Riyadh atau Kairo. Ini bukan hanya ironi; ini adalah satire tragis yang layak dipentaskan dalam festival absurditas. Kalau ada Oscar untuk kategori “Aktor Pendukung Terdiam di Tengah Genosida”, sebagian besar kursi KTT akan dipenuhi pemenangnya.
Konteks kita di Indonesia justru membuat ini makin pahit. Di sini, rakyat turun ke jalan, galang dana, kampanye boikot. Sementara di dunia Arab, yang memiliki kedekatan geografi dan ikatan spiritual lebih dalam, kita melihat teater politik yang berputar-putar. Mesir tak membuka Rafah. Yordania berbicara soal Al-Quds, tapi tekanannya hanya bergema di ruang rapat. UEA dan Bahrain sibuk berdansa dengan normalisasi, seolah Gaza hanya mimpi buruk yang bisa diabaikan setelah bangun tidur. Kita di Indonesia, dengan segala keterbatasan, justru berteriak lebih keras dibanding beberapa ibu kota Arab yang memilih sunyi demi kenyamanan geopolitik. Rupanya, jarak bukan penghalang empati—tapi kepentingan, ya.
Sikap saya jelas: dunia Arab harus belajar malu. Solidaritas mereka untuk Palestina, meski dibalut kata-kata indah, adalah refleksi dari retorika tanpa roh. Ikatan iman, ancaman kemanusiaan, dan risiko regional seharusnya cukup menjadi alasan untuk bertindak. Tapi seperti kata Hamas, dunia menyaksikan “genosida di depan mata yang lumpuh.” Eropa, dengan segala krisisnya, memberi pelajaran tentang solidaritas: tindakan, pengorbanan, hasil. Dunia Arab, dengan seluruh warisan sejarah dan kekuatan ekonomi, justru berhenti di podium—dan bahkan podium itu pun tak menghasilkan gema.
Tulisan ini bukan sekadar kritik; ini undangan untuk berpikir. Bayangkan seorang anak Gaza terkubur di puing-puing, menunggu bantuan yang tak kunjung tiba. Bayangkan seorang ibu di Lebanon, hidup dalam kecemasan akan serangan berikutnya, tapi tak melihat tetangganya bersiap. Lalu bayangkan Eropa, dengan segala tantangannya, terus mengirim truk demi truk ke Ukraina. Dunia Arab, dengarlah: solidaritas bukan soal retorika, tapi keberanian. Kalian punya iman, sejarah, dan alasan. Tapi sejarah hanya mencatat mereka yang bertindak. Jika terus begini, dunia akan mengingat kalian bukan sebagai pelindung Palestina, tapi sebagai penonton drama yang terlalu sibuk menghafal naskahnya sendiri. Dan kita, dari jauh, hanya bisa menyaksikan sambil tersenyum getir, menunggu keberanian yang entah kapan datang—kalau memang masih ada yang tersisa.