Connect with us

Opini

Ketika Dunia Mulai Sadar, Israel Mulai Takut

Published

on

Barak Sari, seorang penasihat strategi senior di Channel 12—media arus utama Israel—tak sedang membuat satire ketika ia menulis di akun X miliknya. Tapi ironisnya, isi tulisannya justru terasa seperti satire paling pahit untuk negeri yang selama puluhan tahun memoles wajahnya dengan air mata buaya dan menyembunyikan kuku tajam di balik selimut “hak membela diri”. Ia menceritakan bagaimana temannya dari Amerika menelepon dengan panik. Bukan karena rudal atau sirine, tapi karena “teman-teman terbaik kini melihat Israel sebagai gerombolan monster”.

Gerombolan monster. Kalimat ini tidak datang dari demonstran di London, bukan pula dari pengunjuk rasa pro-Palestina di Jakarta atau Cape Town. Kalimat ini lahir dari ruang obrolan sesama warga Israel sendiri, dari orang dalam, dari mereka yang tahu persis bahwa topeng mulai tanggal. Media Amerika—yang dulu seperti corong propaganda zionis—kini, menurut Barak, sedang “menyembelih citra Israel”. Dan itu belum seberapa. “Situasi di Eropa lebih buruk,” katanya. Di sana, Israel bukan lagi negara kecil yang dianiaya, tapi kolonialis kejam yang kehilangan malu.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sebenarnya, ini bukan berita baru. Hanya saja, ketika seorang bagian dari sistem mengakuinya, publik mulai mendengar lebih serius. Dan inilah momen langka, ketika Israel mulai panik bukan karena roket dari Gaza, tapi karena opini dari global.

Dulu, narasi itu sederhana: Palestina adalah ancaman, Israel adalah korban. Dunia diminta bersimpati. Bahkan jika yang mati adalah anak-anak Palestina, dunia tetap diminta menyalami tangan berdarah itu karena alasan “hak mempertahankan diri.” Tapi sekarang? Dunia tidak lagi membeli omong kosong itu. Kecuali segelintir politisi tua yang masih nyaman dipeluk lobi dolar, banyak yang mulai menyeka mata dan berkata, “Tunggu. Bukankah ini terlihat seperti penjajahan yang tidak selesai-selesai?”

Kepanikan Barak Sari adalah kepanikan seorang penjaga citra yang tahu bahwa photoshop moral sudah tak cukup. Yang terpapar bukan hanya Gaza, tapi wajah asli yang selama ini ditutupi narasi dan slogan. Ketika serangan ke rumah sakit menjadi berita, ketika jenazah anak-anak tergolek dalam puing-puing disiarkan secara global, ketika jurnalis tewas saat bertugas dan tak ada yang bisa menyangkal karena videonya viral—maka semua retorika soal keamanan berubah menjadi komedi gelap yang tak lucu.

Dan apa reaksi elite Israel? Mereka malah menyiram bensin ke dalam bara. Menteri Amichay Eliyahu sempat bilang bahwa menjatuhkan bom nuklir ke Gaza adalah opsi yang bisa dipertimbangkan. Dalam situasi normal, pernyataan ini akan membuat pelakunya dikucilkan dari komunitas manusia. Tapi di Israel, ia hanya ditegur ringan, seperti anak kecil yang ketahuan mencoret dinding. Perdana Menteri Netanyahu? Sibuk mempertahankan kursi kekuasaannya dengan memelihara kecemasan internal. Diplomasi luar negeri? Ditinggalkan. Alih-alih memadamkan kebakaran opini, mereka malah meniupnya.

Ini bukan lagi masalah perang, tapi kegagalan total dalam menjaga apa yang mereka sebut sebagai “legitimasi eksistensial.” Dunia kampus memboikot, seniman membatalkan pertunjukan, bahkan di Olimpiade pun atlet Israel mulai ditolak mentas. Jangan remehkan penolakan budaya. Ketika seni dan akademia menjauh, biasanya hanya ada satu kesimpulan: dunia tak lagi peduli pada pembelaan yang dibungkus jargon demokrasi.

Lucunya, Israel kini meratapi sanksi sosial seperti korban, padahal selama ini merekalah yang lihai menggunakan sanksi dan tekanan. Palestina diblokade puluhan tahun, diisolasi, dipenjara di negerinya sendiri. Tapi saat boikot berbalik arah, tiba-tiba mereka menyebut itu sebagai “diskriminasi”. Aneh, bukan? Sang penindas mengeluh karena akhirnya merasakan satu tetes dari laut penderitaan yang mereka ciptakan sendiri.

Penting untuk diingat bahwa Barak Sari menyebut semua ini bukan karena hatinya tersentuh oleh penderitaan Gaza. Ia tidak berbicara tentang anak-anak yang kehilangan keluarga atau rumah yang luluh lantak. Ia berbicara soal bisnis. Soal mitra di Amerika yang mulai tidak nyaman. Soal potensi kegagalan delegasi ilmiah dan budaya. Dengan kata lain: reputasi lebih penting daripada nyawa. Setidaknya, dari sudut pandang mereka.

Di titik ini, kita bisa tersenyum getir. Betapa dunia ini baru benar-benar terguncang bukan saat ratusan anak Palestina menjadi angka statistik, tapi ketika investor mulai merasa risih. Kapitalisme global akhirnya bertindak ketika konflik mengganggu aliran modal, bukan ketika nurani kemanusiaan dirontokkan setiap hari. Tapi sudahlah. Setidaknya ada pergerakan. Mungkin, memang begitu cara kerja dunia yang terlambat sadar: perlahan, tapi pasti.

Di Indonesia, kita yang dari dulu mendukung Palestina, kini melihat perubahan ini dengan sedikit rasa lega. Apa yang selama ini kita teriakkan—dari jalan-jalan protokol hingga mimbar-mimbar ormas—ternyata tak sia-sia. Meskipun suara kita kecil dibanding propaganda internasional, ternyata gema solidaritas itu melampaui batas. Ini bukan hanya soal Muslim, bukan juga soal Timur Tengah. Ini soal ketidakadilan yang telanjang dan tak bisa lagi disembunyikan.

Bayangkan betapa takutnya Israel ketika tahu bahwa bahkan anak-anak muda di Brooklyn dan Berlin yang dulu mungkin tidak peduli, kini bersedia turun ke jalan, menentang genosida, menolak kampanye busuk yang menyamakan kritik terhadap zionisme dengan antisemitisme. Ketika pelajar Yahudi sendiri turun membawa poster bertuliskan “Not in my name”, itu bukan sekadar protes—itu tamparan moral.

Barak Sari menulis dengan nada resah. Tapi buat kita, itu semacam pengakuan dosa. Ia tak ingin melihat kehancuran citra, bukan karena Israel berhenti melakukan kekejaman, tapi karena dunia mulai membuka mata. Dan ketakutan terbesarnya bukan tentang kekalahan militer, tapi tentang kehilangan simpati. Karena Israel tahu, selama ini mereka menang bukan karena benar, tapi karena berhasil menjual dirinya sebagai korban.

Tapi sekarang, pasar sedang bosan. Cerita lama sudah basi. Dunia ingin kisah yang jujur. Dan untuk pertama kalinya, Israel kehabisan narasi. Mereka bisa membangun tembok, membom rumah sakit, membungkam media lokal—tapi mereka tak bisa membungkam suara dunia yang akhirnya berkata: cukup.

Dan saat dunia berkata cukup, bahkan senjata pun tak lagi cukup.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer