Connect with us

Opini

Ketika Dunia Hening: Pelajaran dari Blackout Digital di Spanyol

Published

on

Pagi itu, Spanyol terbangun dalam sunyi digital yang mencekam. Tak ada notifikasi, tak ada dering telepon, dan koneksi internet yang biasa hadir seperti udara—tiba-tiba lenyap begitu saja. Sejak pukul lima pagi, laporan dari DownDetector menunjukkan bahwa jaringan telekomunikasi raksasa seperti Movistar, Orange, Vodafone, Digimobil, dan O2 mengalami gangguan serempak. Apa pun yang bergantung pada sinyal dan koneksi, mendadak lumpuh. Dari Madrid hingga Bilbao, jutaan orang terputus dari dunia—terjebak dalam keheningan digital yang tak biasa.

Bayangkan dunia digital yang selama ini kita anggap sebagai sesuatu yang pasti, mendadak padam, seperti lilin ditiup angin. Apa yang tersisa? Kepanikan, kebingungan, dan pertanyaan yang menghantui: seberapa rapuh sebenarnya peradaban yang kita bangun di atas koneksi nirkabel ini?

Saya sendiri pernah merasakan sekelumit dari kegelisahan itu. Beberapa waktu lalu di Jakarta, aplikasi mobile banking yang saya andalkan tiba-tiba tak bisa diakses selama berjam-jam. Layar ponsel hanya menampilkan pesan error, dan saya tak bisa berbuat apa-apa, padahal tagihan harus segera dibayar. Rasanya seperti kehilangan kendali atas hidup sendiri—bingung, kesal, dan diam-diam cemas. Bagaimana jika ini berlangsung lebih lama?

Jika dalam kasus saya hanya satu aplikasi yang mati, maka yang terjadi di Spanyol adalah skala krisis digital nasional. Seorang ibu di Seville mungkin sibuk menekan tombol panggilan untuk menghubungi anaknya, tapi ponselnya tetap bisu. Seorang pengusaha kecil di Valencia menatap antrean pelanggan yang tak bisa membayar karena sistem digital tak berfungsi. Di media sosial, keluhan membanjir, meski hanya sebagian yang masih bisa mengaksesnya lewat Wi-Fi darurat. “@movistar_es, sudah jam 9:10 pagi. Mau jelasin apa yang terjadi? Jaringan mati… lagi!” tulis seorang pengguna X dengan nada antara marah dan pasrah—seperti seseorang yang merasa dikhianati oleh sistem yang selama ini dia percayai tanpa ragu.

Ternyata, bukan serangan siber atau bencana alam yang menjadi biang kerok, melainkan sesuatu yang terdengar sangat biasa: kesalahan teknis. Telefónica, perusahaan telekomunikasi raksasa yang mengoperasikan jaringan di Spanyol dan 18 negara lainnya, melakukan pembaruan jaringan. Tapi, alih-alih peningkatan, yang terjadi justru kegagalan total. Akibatnya: blackout digital menyapu seluruh negeri, dari Barcelona hingga Murcia. Ironi yang pahit—perusahaan sebesar itu, dengan segala kecanggihannya, bisa goyah hanya karena satu kesalahan prosedural. Ini seperti membangun istana megah dari kaca tanpa menyadari bahwa satu retakan kecil bisa menjatuhkan segalanya.

Kita hidup di era keterhubungan absolut. Dompet digital, sistem transportasi, bahkan alat medis, semua bergantung pada koneksi yang tak terlihat. Tapi peristiwa ini memperlihatkan betapa tipisnya batas antara normalitas dan kekacauan. Satu kesalahan teknis, satu prosedur yang tak berjalan sempurna, dan seluruh negeri bisa lumpuh.

Dampaknya bukan sekadar tidak nyaman. Di kota-kota besar, laporan “tidak ada sinyal” dan “internet mati total” bermunculan. Pelajar tak bisa mengikuti kelas daring. Para pekerja remote terputus dari rapat virtual penting. Toko-toko kecil kehilangan transaksi karena sistem pembayaran digital membeku. Beberapa perusahaan bahkan tak bisa mengoperasikan sistem internal mereka—komputer tak terhubung, perangkat lunak tidak merespons.

Bayangkan seorang akuntan di Madrid yang harus menyelesaikan laporan keuangan, tapi hanya menatap layar kosong dengan pesan error. Atau seorang dokter di Malaga yang tak bisa membuka data pasien di sistem rumah sakit. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi menyangkut keberlangsungan fungsi-fungsi vital sehari-hari.

Yang paling mencemaskan adalah dampak pada layanan darurat. Nomor 112—jalur gawat darurat utama di Eropa—tidak bisa dihubungi di sejumlah wilayah. Pemerintah daerah di Valencia segera menyediakan nomor alternatif. Aragon juga buru-buru mengumumkan melalui media sosial bahwa “telepon 112 tidak beroperasi.” Situasi seperti ini membuka celah risiko yang amat besar. Seorang ibu dengan anak demam tinggi mungkin tak bisa memanggil ambulans. Atau seseorang yang melihat kecelakaan di jalan raya hanya bisa menggenggam ponsel yang tak mampu mengirim sinyal. Ini bukan sekadar gangguan sistem. Ini soal nyawa manusia.

Pihak Telefónica memang segera memberikan penjelasan: “Kami telah melakukan pembaruan jaringan yang memengaruhi beberapa layanan. Kami sedang bekerja untuk menyelesaikannya, dan beberapa layanan seperti 112 telah pulih.” Pada sore hari 20 Mei 2025, mereka mengklaim semua layanan telah kembali normal. Tapi apa sebenarnya arti “normal” setelah sebuah negara terputus dari jaringannya selama hampir satu hari penuh?

Saya kembali teringat pengalaman saya di Jakarta. Ketika aplikasi mobile banking mati, saya hanya bisa menunggu, menatap ponsel, berharap sistem kembali pulih. Ketika akhirnya berfungsi, saya merasa lega, tapi rasa khawatir itu tak serta-merta hilang. Ada luka kecil di dalam rasa percaya terhadap sistem yang saya anggap tak pernah gagal. Di Spanyol, jutaan orang merasakan hal yang sama—tetapi dalam skala yang jauh lebih besar. Transaksi terganggu, pekerjaan terhambat, bahkan layanan darurat sempat tidak dapat diakses. Media sosial dibanjiri ungkapan frustrasi, dari pelajar yang tak bisa mengakses pelajaran, hingga pengusaha yang kehilangan peluang penting. Ini bukan hanya cerita tentang satu negara. Ini cermin untuk kita semua, termasuk Indonesia, yang juga semakin menggantungkan hidup pada koneksi digital.

Bayangkan jika yang mati bukan hanya mobile banking atau ojek online. Apa yang terjadi jika WhatsApp lumpuh di tengah koordinasi saat bencana? Apa yang kita lakukan jika jaringan listrik dan sinyal terganggu saat banjir besar? Spanyol telah menunjukkan bahwa semua itu sangat mungkin terjadi. Pertanyaannya: apakah kita siap?

Menariknya, insiden ini terjadi hanya beberapa minggu setelah Pemadaman Semenanjung Iberia pada April 2025, ketika Spanyol dan Portugal mengalami gangguan listrik masif selama sepuluh jam. Menurut laporan NetBlocks, pada saat itu konektivitas internet di Spanyol anjlok hingga tinggal 17% dari kondisi normal. Meski pemerintah meyakinkan bahwa tidak ada serangan siber, dua kejadian besar dalam waktu berdekatan ini menggambarkan betapa rapuhnya ekosistem digital modern.

Kita sering mengira bahwa teknologi adalah benteng kokoh yang menjaga peradaban tetap berjalan. Tapi kenyataannya, ia lebih mirip selaput tipis—mudah robek saat terguncang. Dan kita belum siap jika itu terjadi karena sesuatu yang lebih jahat dari sekadar kesalahan teknis. Katakanlah serangan siber. Kita tahu bahwa Rusia, misalnya, punya rekam jejak yang menakutkan dalam medan ini. Di Ukraina, mereka meluncurkan NotPetya—virus yang menghancurkan sistem infrastruktur, melumpuhkan rumah sakit, pelabuhan, hingga perusahaan multinasional. Apa jadinya jika blackout digital seperti di Spanyol terjadi bukan karena kesalahan sendiri, melainkan karena ulah pihak luar yang sengaja menyerang?

Saya teringat percakapan santai dengan seorang teman di Jakarta. Dengan nada bercanda, ia berkata, “Kalau internet mati, dunia berhenti berputar.” Kita tertawa saat itu, tapi di balik tawa itu ada kebenaran pahit. Dalam keseharian kita di Indonesia, internet telah menjadi urat nadi. Kita memesan transportasi lewat aplikasi, berkoordinasi dalam keluarga saat terjadi bencana, bahkan mengelola keuangan rumah tangga melalui dompet digital. Apa jadinya jika semua itu mati mendadak?

Apakah kita punya cadangan? Di Spanyol, pemerintah daerah dengan cepat menyediakan nomor alternatif. Tapi itu solusi sementara, bukan jawaban jangka panjang. Kita perlu pendekatan yang lebih sistematis. Indonesia seharusnya segera menginisiasi audit ketahanan digital nasional. Kita perlu memetakan titik-titik rawan dalam infrastruktur komunikasi, termasuk ketergantungan pada satu atau dua operator saja. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menyusun skenario krisis dan mengadakan simulasi secara berkala. Kita juga butuh sistem komunikasi cadangan yang benar-benar bisa diandalkan—entah itu jaringan satelit, radio komunikasi darurat, atau teknologi alternatif lainnya.

Peristiwa di Spanyol bukan hanya insiden teknis. Ia adalah pengingat—bahwa fondasi dunia modern yang kita tempati sebenarnya rapuh. Ketika koneksi digital yang mengikat semuanya terputus, yang tersisa adalah kepanikan dan ketidaksiapan. Momen ketika teknologi gagal bukanlah fiksi ilmiah. Ia nyata, dan bisa terjadi di mana saja.

Ketika jaringan di Spanyol akhirnya pulih pada sore hari tanggal 20 Mei 2025, mungkin orang-orang bernapas lega. Tapi pertanyaan besarnya tetap menggantung di udara: seberapa siap kita hidup tanpa internet?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *