Opini
Ketika Dolar Tak Lagi Digdaya: Runtuhnya Mitos Mata Uang Dunia

Pada awal 2025, dunia menyaksikan sebuah peristiwa yang bagi sebagian orang mungkin tak lebih dari statistik ekonomi biasa. Namun bagi mereka yang peka terhadap arah sejarah, ini adalah denting lonceng yang menandakan berakhirnya satu zaman. Dolar Amerika Serikat—simbol supremasi ekonomi dan alat dominasi global selama lebih dari tujuh dekade—jatuh lebih dari 10% terhadap mata uang utama dunia dalam waktu enam bulan. Ini adalah kejatuhan terdalam sejak 1973, tahun di mana dolar resmi melepaskan kaitannya dari emas dan berubah menjadi sepenuhnya berbasis kepercayaan.
Dan hari ini, kepercayaan itu… mulai menguap.
Siapa yang menyangka bahwa biang keladinya bukanlah pandemi, bukan pula invasi militer atau krisis global seperti 2008. Biang keroknya justru datang dari dalam negeri sendiri, dari Gedung Putih yang kini kembali ditempati Donald Trump—tokoh yang pernah menghantam tatanan global dengan retorika populis dan kebijakan proteksionis, dan kini mengguncangnya lebih dalam lagi.
Kebijakan Ekonomi atau Serangan Bunuh Diri Terencana?
Sejak Trump dilantik kembali pada Januari 2025, dia datang bukan hanya membawa agenda “America First,” tapi menjadikannya “America Alone.” Pada 2 April, ia mendeklarasikan “Liberation Day”—hari pembebasan Amerika dari “eksploitasi global,” katanya. Ia menetapkan tarif 10% untuk semua barang impor, dan lebih tinggi lagi untuk produk dari China, Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa. Alasannya klise dan retoris: “membela manufaktur dalam negeri,” “membalikkan defisit perdagangan,” dan “merebut kembali kedaulatan ekonomi.”
Namun pasar tidak hidup dari slogan. Pasar hidup dari kepastian. Dari keterbukaan. Dari stabilitas jangka panjang. Dan Trump justru menghancurkan semua fondasi itu.
Investor panik. Mitra dagang marah. Harga barang impor melonjak. Rantai pasok terganggu. Dan paling fatal: kepercayaan terhadap komitmen Amerika terhadap sistem perdagangan global menghilang.
Dolar yang selama ini menjadi jangkar utama sistem moneter dunia, mulai dipertanyakan. Jika AS sendiri tak lagi menghargai aturan main global yang mereka ciptakan, mengapa dunia harus mempertahankan kepercayaan pada mata uang mereka?
Ketika Safe Haven Berubah Jadi Lubang Ketidakpastian
Selama puluhan tahun, dolar adalah tempat berlindung saat dunia gelisah. Ketika krisis melanda Asia, Eropa, atau Amerika Latin—dolar adalah tujuan. Namun kini, ironi menghantam balik: justru saat dunia mencari kestabilan, dolar adalah sumber guncangan.
Turunnya ICE US Dollar Index sebesar 10,8% sejak awal tahun adalah sinyal serius. Ini bukan fluktuasi biasa. Ini adalah ekspresi kegelisahan global terhadap arah Amerika.
Dan bukan hanya investor yang resah. Pemerintah-pemerintah mulai mengevaluasi ulang cadangan devisa mereka. Sentral bank di Asia, Afrika, bahkan Timur Tengah mulai menurunkan eksposur terhadap dolar. Mereka belajar dari sejarah: tak ada mata uang yang abadi jika kepercayaan telah pupus.
Defisit Anggaran dan Kebangkrutan Moral Ekonomi
Namun ironi terbesar datang dari Capitol Hill. Di saat dolar terjun bebas dan pasar gelisah, Senat AS justru meloloskan paket pajak dan pengeluaran senilai $3,3 triliun—yang diprediksi memperbesar defisit federal hingga level yang menyesakkan.
Seakan-akan, Washington tak lagi peduli pada kenyataan. Mereka terus mencetak uang, berhutang tanpa batas, dan berharap dunia tetap sudi menyerap obligasi mereka. Tapi dunia mulai berhitung. Tidak ada mata uang yang bisa terus menjadi cadangan global jika dibarengi defisit fiskal besar dan ketidakpastian kebijakan.
Inilah titik balik: ketika kekuatan ekonomi sebuah bangsa bertransformasi menjadi sandiwara politik, dan dolar menjadi sandera dari ambisi seorang presiden.
Apa Kata Dunia? Sebuah Cermin yang Retak
Steve Englander, ekonom dari Standard Chartered, dengan tepat berkata:
“Masalahnya bukan apakah dolar kuat atau lemah. Tapi apa yang dikatakan dunia tentang kebijakan Anda.”
Dan dunia sedang bicara—dengan sangat jelas. Mereka melihat AS tidak lagi sebagai pemimpin moral ekonomi dunia, tetapi sebagai aktor irasional yang memaksakan kehendak dengan kekuatan, bukan dengan konsensus.
Uni Eropa menyiapkan kerangka kerja untuk mengurangi ketergantungan terhadap sistem SWIFT dan dolar. China terus mendorong penggunaan yuan dalam transaksi internasional. Negara-negara BRICS melanjutkan inisiatif de-dolarisasi mereka dengan intensitas baru.
Tak perlu ledakan bom atau pengumuman dramatis. Dominasi dolar bisa runtuh perlahan, seperti gundukan salju yang meleleh. Dan saat itu terjadi, Amerika akan menyadari bahwa kekuatan ekonomi mereka bukan karena superioritas abadi, melainkan karena kepercayaan dunia—yang kini sedang terkikis.
Kebijakan Trump dan Harga yang Harus Dibayar
Tentu, Trump dan para pendukungnya akan terus membela kebijakan ini. Mereka akan berkata bahwa inilah harga dari “kemerdekaan ekonomi.” Mereka akan merayakan peningkatan lapangan kerja di sektor baja atau otomotif, jika ada.
Namun pertanyaannya: berapa harga yang pantas dibayar untuk sedikit pekerjaan baru? Apakah setimpal jika kita mengorbankan status dolar sebagai mata uang dunia? Apakah sepadan jika negara-negara beramai-ramai melepaskan cadangan dolar mereka?
Dan lebih dari itu—apa artinya menjadi “merdeka secara ekonomi” jika kita kehilangan kekuatan untuk membentuk arah dunia?
Kesimpulan: Dunia yang Bergeser, Amerika yang Terlambat Sadar
Apa yang sedang terjadi bukan hanya krisis moneter. Ini adalah krisis legitimasi. Dolar sedang dihukum karena mewakili kebijakan yang tidak lagi rasional. Dunia sedang bereaksi terhadap arogansi kekuatan ekonomi yang menolak berubah dan memaksakan kehendaknya.
Mungkin ini awal dari sesuatu yang lebih besar: kematian perlahan hegemoni Amerika dalam sistem keuangan global. Tidak dengan letusan besar, tetapi dengan hilangnya kepercayaan secara bertahap.
Dan sejarah mengajarkan kita: mata uang tidak menjadi kuat karena otot, tetapi karena kepercayaan. Ketika dunia tak lagi percaya bahwa AS bisa memimpin dengan akal sehat dan tanggung jawab global, maka kekuatan dolar pun akan tinggal legenda.
Kita sedang menyaksikan babak baru dalam sejarah dunia. Dan seperti semua kekaisaran sebelumnya, Amerika pun harus belajar: bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal siapa yang paling berkuasa—tapi siapa yang paling bisa dipercaya.
Pingback: Dolar Amerika yang Terbakar di Gaza dan Tel Aviv - vichara.id