Opini
Ketika Ancaman Tak Lagi Manjur: Frustrasi Trump di Ukraina

Ada sesuatu yang ganjil, bahkan ironis, ketika seorang presiden yang terkenal dengan gaya ancam-mengancam justru terjebak dalam kubangan frustrasi. Donald Trump, sosok yang biasanya cukup melempar tarif atau sanksi untuk menundukkan lawan, kini harus berhadapan dengan realitas yang keras: perang Rusia–Ukraina tidak bisa dibereskan dengan pola dagang murah meriah. Situasi ini ibarat seorang jagoan pasar yang tiba-tiba kehilangan jurus pamungkasnya, berdiri di tengah arena, dan hanya bisa menggerutu karena lawannya tak juga jatuh.
Trump, menurut laporan The Atlantic, sudah bertemu dengan Putin di Alaska dan menjamu Zelensky di Washington. Ia mendorong pertemuan langsung antara dua musuh besar itu, berharap keluar kesepakatan cepat, bukan sekadar gencatan senjata. Ia ingin “lasting peace.” Tapi yang didapat justru kebuntuan. Dan kebuntuan itu kini kembali menghantui meja Oval Office. Saking kesalnya, Trump menuding Zelensky terlalu kaku, Uni Eropa terlalu sok realistis dengan standar mereka sendiri, sementara dirinya hanya ingin semua ini “segera selesai.” Hampir tak peduli bagaimana caranya.
Saya rasa inilah wajah baru absurditas geopolitik hari ini: pemimpin paling kuat di dunia, yang senjatanya selalu ancaman, justru meradang karena ancamannya tak laku. Trump bilang, Krimea sudah mustahil kembali ke Ukraina, keanggotaan NATO hanyalah mimpi kosong. Jadi, kenapa tidak Zelensky sedikit fleksibel? Nada itu jelas lebih cocok dengan logika pasar gelap ketimbang hukum internasional. Seakan-akan kedaulatan negara bisa dilelang begitu saja, ditukar dengan janji perdamaian instan.
Namun, berbeda dengan urusan dagang baja dengan Tiongkok atau perang tarif dengan Eropa, konflik Ukraina bukan sesuatu yang bisa selesai dengan satu ancaman. Ini bukan soal angka di neraca dagang. Ini tentang identitas, tentang tanah, tentang hidup dan mati sebuah bangsa. Zelensky tidak bisa pulang ke Kiev lalu berkata kepada rakyatnya: “Maaf, kita serahkan Donetsk, Lugansk, Kherson, Zaporozhye. Anggap saja harga damai.” Itu bukan fleksibilitas. Itu bunuh diri politik. Dan Trump, entah sadar atau tidak, mendorongnya ke jurang itu.
Di sisi lain, Rusia tidak bergerak sedikit pun dari garis merahnya. Moskow bersikukuh: Ukraina harus netral, keluar dari NATO, menerima status wilayah yang telah dianeksasi, bahkan menerima label demiliterisasi dan denazifikasi. Putin menunggu, dengan sabar namun dingin, karena setiap hari yang lewat tanpa kesepakatan justru menguntungkan posisinya. Trump bisa marah-marah, bisa ancam tarif, bisa gertak kiri-kanan, tapi Putin tahu ancaman itu tak akan mengubah fakta di medan tempur.
Uni Eropa pun tak kalah keras kepala. Mereka tetap berpegang pada prinsip integritas teritorial. Tidak ada kompromi. Bagi Eropa, menyerahkan wilayah Ukraina sama saja menulis undangan bagi agresor lain untuk mengulang skenario serupa di tempat lain. Lihat betapa rapuhnya fondasi solidaritas Barat ketika Trump melangkah terlalu jauh dengan pragmatisme transaksionalnya. Washington ingin cepat selesai, Brussel ingin prinsip ditegakkan. Akibatnya, transatlantik retak. Dan retakan itu jelas terdengar sampai ke Kremlin.
Kita semua tahu, Trump bukan tipikal pemimpin yang sabar. Dia ingin hasil cepat, headline besar, pencitraan instan. Frustrasinya hari ini lahir dari ketidakmampuan model kepemimpinannya berhadapan dengan konflik yang jauh lebih keras kepala daripada kalkulasi bisnis. Bahkan ancaman untuk menghukum Ukraina sendiri dengan tarif dan sanksi terdengar seperti komedi pahit: bagaimana bisa seorang presiden menghukum korban karena enggan menyerahkan diri? Ibarat polisi menegur korban perampokan agar rela kehilangan dompet demi menghindari keributan.
Kemungkinan ke depan? Skenarionya bisa mengarah ke beberapa jalan yang sama-sama rumit. Jika Trump tetap pada posisi pragmatis—dorong kompromi wilayah, tekan Zelensky dengan ancaman ekonomi, dan paksa pertemuan cepat—maka ada peluang lahirnya sebuah kesepakatan “perdamaian dingin” yang sejatinya hanya legalisasi pencaplokan Rusia. Konflik berhenti, ya mungkin. Tapi luka itu akan tetap menganga, dan preseden berbahaya tercipta: agresi bersenjata menghasilkan wilayah baru. Dunia akan mencatat bahwa AS, di bawah Trump, mengesahkan hal itu.
Sebaliknya, jika Eropa menolak mengikuti jejak Trump dan terus mendukung Ukraina mempertahankan seluruh wilayahnya, maka jurang antara Washington dan Brussel akan semakin dalam. Bukan tidak mungkin, NATO terbelah. Trump, dengan gaya kerasnya, bisa saja mengancam menarik sebagian komitmen militer atau finansial dari Eropa. Lalu apa jadinya keamanan Eropa Timur? Rusia hanya perlu menunggu retaknya Barat semakin parah untuk meraih keuntungan strategis.
Ada pula kemungkinan ketiga, yang lebih suram. Zelensky menolak tekanan Trump, tetap bersandar pada Eropa, dan perang berlanjut dengan intensitas yang sama atau bahkan meningkat. Dalam kondisi ini, frustrasi Trump bisa berubah jadi kebijakan ekstrem: menghentikan sebagian bantuan militer atau memaksa Ukraina ke meja perundingan dengan ancaman isolasi. Ukraina, sekali lagi, jadi korban tarik-menarik, ibarat bidak catur yang dipaksa melangkah bukan karena strateginya sendiri, melainkan karena kemauan pemain besar di sekelilingnya.
Saya teringat ungkapan sederhana: ancaman hanya manjur jika lawan percaya Anda sungguh-sungguh mau mengeksekusinya. Masalahnya, Rusia sudah kenyang dengan sanksi, sementara Ukraina tahu menyerah berarti tamat. Uni Eropa pun tidak mau reputasinya hancur karena kompromi prematur. Jadi, siapa yang masih takut dengan ancaman Trump? Di sinilah absurditas itu bersemayam. Seorang presiden yang selalu bangga dengan “art of the deal” justru berhadapan dengan realitas yang tak bisa didikte dengan gaya kasarnya.
Bagi kita di Indonesia, situasi ini punya gema tersendiri. Betapa sering kita juga melihat pemimpin yang suka gertak, suka ancam, suka pamer kuasa, tapi ketika berhadapan dengan persoalan yang kompleks, semua itu tak berguna. Frustrasi muncul. Dan rakyat, yang jadi korban. Ukraina hari ini seperti cermin kecil yang memantulkan wajah politik global: di satu sisi pemimpin besar yang tak sabaran, di sisi lain rakyat biasa yang dipaksa menanggung risiko dari diplomasi yang gagal.
Mungkin, dalam satu titik, Trump akan sadar bahwa perdamaian bukan sekadar soal siapa yang mengalah. Perdamaian yang dipaksakan lewat ancaman justru menyimpan bara yang lebih panas. Tapi, mengenal Trump, saya ragu ia mau belajar pelajaran itu. Ia lebih mungkin mencari jalan pintas lain, entah dengan ancaman baru atau dengan mengklaim kemenangan dari sesuatu yang setengah matang. Dunia harus bersiap menghadapi kemungkinan itu: perdamaian instan yang hanya ilusi, atau konflik yang berlarut karena ancaman tak lagi menakutkan.
Pada akhirnya, frustrasi Trump di Ukraina bukan hanya kisah tentang seorang presiden yang kehilangan senjata pamungkasnya. Ia adalah potret betapa dunia modern tidak bisa lagi dipaksa tunduk pada logika ancaman semata. Ada batas bagi retorika keras. Ada titik di mana rakyat dan bangsa menolak harga yang ditetapkan di meja perundingan. Dan di situlah, ironi terbesar bagi Trump terukir: untuk pertama kalinya, ancaman yang selalu jadi jurus andalan tak lagi manjur.