Opini
Ketika Ancaman Bom Jadi Bahasa, dan Iran Jadi Target Trump

Di dunia yang terus berputar di antara ambisi dan absurditas, kadang yang paling menggelikan justru bukan lelucon dalam acara komedi, melainkan konferensi pers dari pemimpin negara adidaya. Lihatlah Donald Trump. Dengan gaya khasnya yang campuran antara bintang reality show dan juru kampanye jalanan, ia kembali tampil ke panggung dunia dengan ancaman yang tak kalah bombastis: jika Iran melanjutkan pengayaan uranium, maka bom akan kembali dijatuhkan. Bukan bom peringatan, bukan surat diplomatik, tapi—ya, bom sungguhan.
Inilah dunia tempat kita hidup: nuklir tak lagi menjadi senjata terakhir yang ditakuti, melainkan seperti properti panggung dalam pertunjukan sarkas yang rutin dimainkan oleh aktor yang selalu ingin jadi pusat perhatian. Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran dilakukan dengan dalih yang sama seperti puluhan tahun terakhir: “Iran hampir membuat bom nuklir.” Ironisnya, bahkan badan pengawas atom dunia (IAEA) dan intelijen AS sendiri belum menemukan bukti kuat bahwa Iran benar-benar sedang membuat senjata pemusnah massal itu. Tapi siapa peduli pada data jika yang kita cari adalah drama?
Dalam dunia Trump, fakta adalah tamu tak diundang di pesta opini. Ia menyebut Iran “bodoh” karena bersikeras mempertahankan program nuklirnya, dan dengan nada seperti orang tua yang kesal pada anak remaja yang tak mau patuh, ia mengancam akan “menghapus” seluruh kemampuan nuklir Iran lebih cepat dari orang bisa “mengibaskan jarinya.” Bahasa semacam ini tak hanya kekanak-kanakan, tetapi juga membahayakan. Sebab ini bukan ancaman di ruang kelas atau konten TikTok yang bisa dilupakan esok pagi—ini soal bom, darah, dan geopolitik dunia.
Tentu, Trump bukan yang pertama mempopulerkan gaya politik berisik dan kosong makna. Tapi dialah yang paling sukses mengomersialkannya, menjadikan setiap kalimat sebagai bahan bakar utama mesin ketegangan global. Dunia menjadi panggung reality show, dan kita semua, para penonton yang enggan tapi tak bisa memalingkan mata.
Iran, dalam hal ini, memilih merespons dengan nada berbeda. Abbas Araghchi, menteri luar negeri yang tidak tampil berapi-api namun tetap menohok, menyebut program nuklir sebagai “kebanggaan nasional”—bukan semata infrastruktur teknologi, tapi simbol ketahanan dan harga diri bangsa yang berusia 7.000 tahun. Suka tidak suka, cara Iran membingkai program nuklirnya justru lebih rasional daripada retorika koboi Trump. Mereka bicara tentang manfaat medis, tentang reaktor riset yang dulu diberikan Amerika sendiri, tentang radioisotop yang menyelamatkan nyawa lebih dari satu juta warga Iran. Dan jika ini bukan hipokrisi global, lalu apa?
Sungguh menarik ketika negara yang pernah menjatuhkan dua bom atom ke Jepang, dan hingga kini masih menyimpan ribuan hulu ledak nuklir, merasa paling berhak menentukan siapa yang boleh mengembangkan teknologi nuklir dan siapa yang tidak. AS menilai Iran berbahaya karena “berpotensi” memiliki senjata pemusnah, padahal negara-negara sekutu dekatnya seperti Israel justru dikenal memiliki senjata nuklir yang tak terhitung jumlahnya—tanpa inspeksi, tanpa pengakuan resmi. Dunia pura-pura buta terhadap ini. Dan kita diminta untuk percaya bahwa yang satu adalah ancaman dan yang lain adalah penjaga perdamaian. Seperti menyuruh anak-anak percaya bahwa Batman dan Joker sebenarnya saudaraan kembar, hanya bajunya yang beda warna.
Ketika Operation Midnight Hammer dijalankan—sebuah nama yang bahkan terdengar seperti judul film gagal di Netflix—pentagon menyombongkan keberhasilan bom bunker-buster mereka menghancurkan fasilitas nuklir Fordow, Natanz, dan Isfahan. Puluhan ilmuwan dan personel militer Iran tewas, infrastruktur hancur, dan dunia pun dibiarkan bertanya-tanya: sejak kapan membunuh ilmuwan dianggap solusi damai? Ini bukan strategi, ini teror yang dibungkus kemasan hukum.
Lebih memilukan, ketika pengeboman ini berlangsung, sebagian media massa Amerika justru lebih sibuk meliput rating polling kampanye pemilu daripada dampak geopolitik dari tindakan brutal itu. Di era informasi, perhatian publik bukan diarahkan pada kematian, tapi pada siapa yang trending. Dunia ini memang tak kekurangan pelaku kekerasan, yang kurang hanyalah audiens yang peduli.
Trump, dengan segala kelancangannya, tak ubahnya seperti murid paling berisik dalam kelas yang terus-menerus mengganggu pelajaran tanpa pernah paham isi buku. Ia mengklaim bahwa Iran “tidak akan bisa membangun lagi” kemampuan nuklirnya, seolah bangunan ilmiah itu bisa dihancurkan hanya dengan bom dan ancaman. Tapi sains tidak bekerja seperti bangunan perkantoran yang bisa diratakan dan dilupakan. Ilmu pengetahuan dibangun dari pengetahuan kolektif, dari tekad, dan dari memori. Ilmuwan yang dibunuh memang tidak bisa kembali, tapi gagasan dan prinsip yang mereka tanamkan tak bisa dibom. Inilah yang tidak dipahami Trump: bahwa dominasi bukan hanya soal senjata, tapi juga soal nilai dan ketekunan.
Dan meski Iran mengalami kerusakan besar, pernyataan Araghchi menunjukkan satu hal: bahwa yang dibombardir bukanlah kehendak nasional mereka. Kata-katanya—”kami membangun program ini dengan darah dan air mata”—lebih dari sekadar retorika. Itu adalah pengingat bahwa teknologi, jika dijalani dengan keyakinan dan ketekunan, tak bisa dihancurkan dengan mesiu.
Tapi tentu saja, bagi sebagian orang di dunia, terutama mereka yang duduk nyaman di kursi berlapis kulit Gedung Putih, dunia ini bukan tentang prinsip. Ini tentang kontrol. Tentang siapa boleh punya kekuatan, siapa boleh punya suara. Dalam dunia Trump, Iran bukan hanya musuh—ia adalah cermin, yang jika terlalu jernih akan memperlihatkan betapa munafiknya klaim moral AS selama ini.
Kita pun, dari tanah Nusantara yang pernah dijajah dan disubversi, bisa belajar sesuatu dari absurditas ini. Bahwa ada semacam pola yang terus berulang: negara-negara kuat selalu merasa punya hak untuk mengatur yang lemah, selalu merasa paling benar, paling tahu arah dunia. Padahal sejarah membuktikan, kekuatan militer bukan jaminan kebijaksanaan. Bahkan, dalam banyak kasus, kekuatan militer justru adalah penutup dari kemiskinan akal dan miskinnya imajinasi diplomatik.
Jadi, ketika Trump mengancam akan “melenyapkan” program nuklir Iran lebih cepat dari jentikan jari, barangkali kita perlu menjawab dengan senyum getir: karena dunia ini memang sudah lama berjalan di bawah ancaman jentikan jari orang-orang berkuasa. Bedanya, dulu jentikan itu membunyikan musik. Kini, ia menjatuhkan bom.
Dan bila ada satu hal yang tak pernah berubah dari politik adidaya seperti ini, itu adalah keyakinan mereka bahwa yang lain tak akan melawan. Tapi sejarah, dengan segala luka dan darahnya, telah berkali-kali membuktikan bahwa perlawanan selalu tumbuh dari kehancuran, bahwa semangat tak pernah bisa dibom.
Sumber:
Pingback: Trump dan Retorika Soal Sandera - vichara.id