Connect with us

Opini

Ketika Ambisi Eropa Tak Lagi Menginjak Bumi

Published

on

Dua triliun euro. Angka itu melayang di udara, seperti balon udara Eropa yang perlahan meninggi, penuh harapan dan rencana besar. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, berdiri tegak di podium, menyodorkan proposal anggaran multi-tahun yang ia sebut sebagai “yang paling ambisius dalam sejarah Uni Eropa.” Lima kali lipat belanja pertahanan, tiga kali lipat untuk pengelolaan migrasi, dan satu janji besar: Eropa yang lebih strategis, lebih tangguh, lebih mandiri. Tapi di luar gedung Komisi Eropa yang penuh lampu dan proyeksi masa depan itu, sekelompok petani Belgia melemparkan sepatu mereka ke arah dinding kaca. Sebuah simbol sederhana yang bicara lebih lantang dari angka mana pun: kami lapar, dan kalian sibuk menata bintang.

Eropa, seperti banyak kekuatan besar lain yang mulai tua, tengah sibuk berdandan di depan cermin geopolitik. Ia ingin terlihat kuat di hadapan Rusia, tegas terhadap imigrasi, dan terhormat dalam dukungan kepada Ukraina. Semua mulia, semua penting, semua tampaknya sangat masuk akal—hingga Anda bertanya: siapa yang akan mengolah ladang jika semua orang disuruh bicara soal pertahanan luar angkasa? Lode Ceyssens, kepala serikat petani Boerenbond, menyuarakan kekecewaan itu dengan bahasa perut, bukan jargon diplomatik: “Kamu tidak bisa jadi kuat dengan perut kosong.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Mungkin von der Leyen dan rekan-rekannya lupa bahwa sebelum ada jet tempur, kabel fiber optik, atau satelit orbit rendah, Eropa dibangun di atas tanah yang basah, bibit yang tumbuh, dan petani yang bangun lebih pagi dari matahari. Dan ketika mereka duduk berhari-hari menyusun angka-angka dalam lembar Excel—berdebat tentang strategi pertahanan, pajak karbon, dan kontribusi fiskal nasional—realitas di ladang-ladang itu tetap sama: harga pupuk naik, cuaca semakin tak menentu, dan subsidi makin tak jelas arah.

Apa yang disampaikan dalam laporan itu sebenarnya bukan hanya angka, tapi cermin: bahwa elit birokrasi Eropa kini berbicara dalam bahasa langit, dan lupa bahwa tanah belum digarap. Bagaimana bisa anggaran pertahanan dilipatgandakan, sementara para petani hanya dapat janji? Bagaimana bisa investasi luar angkasa diagungkan, sementara perut orang-orang di dalam negeri makin kosong?

Tidak, ini bukan soal menolak ambisi. Dunia memang tak lagi ramah. Invasi Rusia ke Ukraina, perubahan iklim, tekanan migrasi, bahkan pandemi—semuanya alasan sah untuk memperkuat pondasi Eropa. Tapi masalahnya bukan pada kenapa, melainkan pada siapa yang dibela dan siapa yang ditinggalkan. Ketika von der Leyen berkata bahwa kontribusi nasional tak akan naik, itu terdengar menenangkan. Tapi kalau tak naik, uangnya dari mana? Ah ya, dari perdagangan karbon dan cukai tembakau. Brilian. Jadi untuk membangun Eropa masa depan, kita pungut uang dari asap pabrik dan rokok. Satir sudah tak perlu ditulis; ia hidup sendiri dalam logika anggaran ini.

Ada ironi yang menyakitkan di sini. Uni Eropa sebagai blok ekonomi raksasa tidak diizinkan memungut pajak sendiri—ia hanya bisa mengais dari bea masuk, PPN, atau skema karbon. Di satu sisi, Eropa ingin jadi kekuatan global setara Amerika atau China; di sisi lain, ia seperti remaja yang masih minta uang saku dari orang tua (dalam hal ini: negara-negara anggotanya). Apakah ini “strategic autonomy” atau “strategic dependency with flair“?

Di Indonesia, wacana seperti ini terdengar jauh. Tapi sebetulnya tidak. Kita juga sedang menonton bagaimana elite dunia bicara tentang perubahan iklim sambil tetap terbang naik jet pribadi, bagaimana mereka bicara pangan sambil melupakan sawah. Kita juga melihat petani di negeri ini dipinggirkan oleh megaproyek, seperti juga petani Eropa yang kini hanya jadi catatan kaki dalam proposal dua triliun euro. Eropa dan Indonesia, rupanya sama-sama sedang belajar menjadi modern sambil meninggalkan fondasi.

Ada satu bagian yang layak direnungi lebih dalam: von der Leyen menyisihkan 100 miliar euro untuk membantu Ukraina pulih dan bersiap menjadi anggota UE. Solidaritas? Ya. Tapi juga kalkulasi politik. Ukraina yang kuat adalah benteng untuk Eropa, dan investasi dalam pemulihannya bukan hanya soal nilai kemanusiaan, tapi juga penyangga strategis. Pertanyaannya: ketika Eropa rela menggelontorkan dana sebesar itu untuk negara di luar keanggotaannya, mengapa begitu banyak petani di dalamnya merasa tak dilibatkan dalam percakapan?

Proposal ini akan menghadapi dua tahun perdebatan. Dua tahun tarik-menarik antara negara kaya dan miskin, antara pemimpin yang ingin langit dan rakyat yang butuh tanah. Parlemen Eropa sudah mulai mengkritik: “Bagaimanapun cara Anda mengemasnya, ini adalah pembekuan anggaran dalam nilai riil.” Kalimat itu sederhana, tapi tajam. Seperti pisau dapur yang dipakai memotong ilusi.

Mungkin yang paling menyedihkan bukan sekadar kelalaian atas kebutuhan petani, tapi cara Eropa—dan dunia secara umum—semakin lihai membungkus stagnasi dengan kemasan retoris. Ketika tidak ada pertumbuhan, kita menyebutnya “efisiensi”. Ketika dana tidak cukup, kita bilang “perubahan paradigma fiskal”. Dan ketika rakyat marah, kita sebut “tantangan komunikasi”. Padahal sebenarnya, ini hanyalah ketakmampuan mengakui bahwa kita telah tersesat dalam jalan menuju kemajuan yang penuh billboard tapi minim petunjuk arah.

Langit memang indah. Tapi bukan langit yang menumbuhkan gandum. Bukan langit yang memberi makan. Langit hanya bisa jadi tujuan kalau kaki kita tetap menyentuh bumi, kalau ladang-ladang kita tak ditinggalkan. Eropa bisa menjadi kekuatan dunia, ya. Tapi kekuatan sejati tidak datang dari rudal atau satelit. Ia datang dari meja makan yang tak kosong, dari petani yang tak melemparkan sepatu, dan dari rakyat yang merasa diperhitungkan bukan hanya sebagai statistik pemilih, tapi sebagai fondasi peradaban.

Pada akhirnya, mungkin von der Leyen dan para birokrat perlu meluangkan waktu turun ke ladang. Bukan untuk berpidato, bukan untuk selfie kampanye. Tapi untuk mendengarkan. Karena sebelum mereka bisa membangun Eropa yang tangguh dan strategis, mereka harus lebih dulu mengingat: siapa yang selama ini memanggul Eropa agar tetap berdiri. Jangan-jangan, sepatu yang dilempar itu bukan sekadar protes. Ia adalah peringatan—bahwa tanah mulai goyah karena langit terlalu sibuk dipuja.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer