Connect with us

Opini

Ketika Al-Azhar Diam, Gaza Dibiarkan Mati Kelaparan

Published

on

Di dunia di mana kata-kata dibunuh sebelum sempat lahir, di negeri yang katanya pusat peradaban Islam tapi lebih suka sunyi daripada bersuara, sebuah pernyataan menggema—lalu hilang. Al-Azhar, institusi Islam tertua dan paling dihormati sejagat raya umat Sunni, sempat meneriakkan kebenaran. Hanya sebentar. Pernyataannya yang menyebut genosida kelaparan di Gaza, yang menuduh para pendukung zionis sebagai sekutu kejahatan, yang mengecam dunia atas diamnya yang memalukan, akhirnya ditarik. Dihapus. Dikubur oleh tangan-tangan yang katanya bertanggung jawab atas nyawa-nyawa yang tengah direnggut dari anak-anak Gaza.

Alasannya? Katanya demi “menjaga peluang gencatan senjata.” Katanya demi “menyelamatkan nyawa.” Betapa mulianya alasan untuk membungkam nurani. Tapi tahukah Anda, berapa nyawa yang telah hilang selama “negosiasi damai” itu berlangsung? Setidaknya 115 warga Palestina, 80 di antaranya anak-anak, meninggal karena kelaparan sejak bulan Maret. Dan itu baru yang tercatat. Tapi mari kita diamkan fakta itu sejenak, seperti para pejabat itu mendiamkan jeritan bocah-bocah yang makan daun dan minum air asin dari lantai masjid yang terbakar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Konon, pernyataan itu terlalu keras. Terlalu menohok. Terlalu… jujur. Dalam dunia di mana diplomasi lebih dihargai daripada kejujuran, dan keheningan dianggap lebih beradab ketimbang keberanian, Al-Azhar dinilai “tidak bijak.” Maka, perintah datang dari atas—dari istana presiden yang lebih peduli pada stabilitas kawasan daripada stabilitas perut yang keroncongan. Dari kantor Abdel Fattah al-Sisi yang selama ini begitu pandai berdiplomasi sambil mengunci pintu Rafah seerat-eratnya. Anda tahu, demi keamanan nasional, katanya. Seolah-olah keamanan nasional bisa terganggu oleh anak kurus dengan mata kosong.

Apa yang terjadi sesungguhnya bukan sekadar sensor. Ini adalah pembantaian terhadap wibawa agama oleh tangan-tangan kekuasaan. Saat suara masjid dikendalikan oleh meja rapat kabinet, saat khotbah Jumat harus lolos sensor negara, saat fatwa harus menimbang arah angin politik, maka bukan hanya Al-Azhar yang runtuh, tapi seluruh pondasi martabat keislaman kita. Agama yang seharusnya berdiri di depan barisan melawan kezaliman kini berdiri di belakang pagar istana, menunggu izin bicara.

Ironisnya, Al-Azhar sebenarnya punya segala yang dibutuhkan untuk berani. Ribuan santri dan alumninya tersebar di seluruh dunia. Nama besarnya dihormati dari Jakarta sampai Johannesburg. Tapi ternyata itu semua tidak cukup untuk mengalahkan satu telepon dari kantor presiden. Seolah-olah seluruh sejarah keulamaan bisa dibungkam oleh satu permintaan: “Tolong, hapus kalimat itu.” Dan mereka melakukannya, dengan alasan mulia seperti “tanggung jawab di hadapan Tuhan.” Tuhan yang mana, kita belum tahu pasti.

Bayangkan sejenak jika Imam Abu Hanifah hidup hari ini dan membaca berita itu. Mungkin beliau akan tertawa getir, atau mengirim surat terbuka yang dibacakan di pelataran masjid sambil berdiri di atas jerami. Mungkin beliau akan bertanya: sejak kapan amar makruf menjadi ancaman bagi perundingan? Dan siapa yang memberi wewenang kepada seorang presiden untuk memveto suara keadilan?

Tapi ini bukan dongeng. Ini Mesir hari ini. Ini Al-Azhar hari ini. Ini dunia kita hari ini—di mana narasi lebih ditakuti daripada rudal, dan pernyataan lebih berbahaya daripada tank. Dunia di mana rezim otoriter lebih khawatir pada paragraf daripada peluru, karena peluru hanya membunuh tubuh, sementara kata-kata bisa membangkitkan kesadaran.

Dan kita, umat Islam, harus menelan pil pahit ini sambil pura-pura tidak tersedak. Kita harus mendengar pernyataan yang dicabut, lalu mengangguk seolah kita bisa memahami bahwa “diam adalah bentuk tanggung jawab.” Kita diminta percaya bahwa menghapus kebenaran bisa menyelamatkan nyawa. Padahal semua tahu: diam hanya menyelamatkan posisi, bukan manusia.

Mungkin suatu hari, buku sejarah akan mencatat peristiwa ini sebagai salah satu kegagalan moral terbesar institusi Islam kontemporer. Mungkin nanti, para santri Al-Azhar akan mempelajari pernyataan yang dihapus ini sebagai “naskah hilang”—seperti manuskrip yang diselamatkan dari api, lalu dibaca diam-diam di ruang bawah tanah. Dan mungkin pula, di masa depan, akan ada generasi baru ulama yang berkata, “Kami tidak akan bungkam seperti mereka dulu.”

Tapi untuk saat ini, mari kita hadapi kenyataan yang menyakitkan ini: Al-Azhar tunduk. Dan bukan tunduk kepada Allah, melainkan kepada rezim. Lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir umat Islam dari ketakutan justru menyerahkan diri kepada rasa takut itu sendiri.

Apa yang ditakutkan? Penjara? Pengasingan? Pemotongan dana? Atau mungkin hanya kehilangan undangan ke istana? Jika para ulama hari ini lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan martabat, maka jangan salahkan umat jika mereka mulai mencari fatwa di tempat lain. Di lapangan. Di jalanan. Di suara-suara kecil yang masih berani berkata: “Ini genosida. Ini salah. Dan kita semua bersalah jika diam.”

Dunia tidak butuh lebih banyak pengamat. Dunia butuh pemberani. Tapi kita malah disuguhi khutbah tentang “hikmah bersikap tenang,” sambil melihat bayi-bayi Gaza dikubur bersama ibunya. Kita disuguhi kalimat tentang “tanggung jawab di hadapan Allah,” dari mereka yang bahkan tak berani bertanggung jawab pada sejarah.

Dan akhirnya, kita sampai pada satu ironi yang menyayat: bahwa kadang yang paling banyak bicara tentang Tuhan, justru yang paling jauh dari keberanian untuk membela hamba-Nya yang tertindas.

Jadi, jika Anda bertanya: “Mengapa Al-Azhar tidak melawan?” Jawaban sederhananya adalah: karena mereka memilih aman. Dan dalam dunia ini, memilih aman itu bukan netralitas—itu pengkhianatan yang dibungkus kehati-hatian.

Dan Gaza? Gaza tetap kelaparan. Tetap sekarat. Dan tetap diam—karena yang bisa bersuara, justru memilih untuk diam.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer