Connect with us

Opini

Ketika 58% Warga Jerman Ingin Pindah: Apa yang Salah?

Published

on

Lebih dari separuh warga Jerman, menurut survei YouGov yang dikutip Die Welt, memimpikan kehidupan di luar negeri. Bukan sekadar ingin mencoba tinggal di tempat baru, tapi benar-benar ingin pindah dan menetap. Sebanyak 31% menyatakan “pasti” ingin meninggalkan Jerman, dan 27% “mungkin” akan menyusul. Angka-angka ini bukan sekadar statistik—ia mencerminkan gelombang keresahan mendalam yang kini mengalir di balik wajah tenang negeri Eropa itu.

Apa yang membuat seseorang ingin meninggalkan tanah kelahirannya? Rumah, bagi banyak orang, bukan sekadar tempat tinggal—ia adalah akar, identitas, dan harapan. Ketika ketiganya mulai goyah, keinginan untuk mencari tempat baru tumbuh seperti retakan di dinding yang tak lagi utuh.

Salah satu alasan paling dominan dalam survei tersebut adalah imigrasi. Sebanyak 61% dari mereka yang mempertimbangkan pindah menyebut masuknya migran sebagai faktor utama. Pada tahun 2024, Jerman menerima sekitar 237.000 aplikasi suaka—seperempat dari seluruh permohonan di Uni Eropa. Ini bukan hal baru. Gelombang pengungsi besar-besaran pada 2015 di bawah kebijakan perbatasan terbuka Angela Merkel masih membekas dalam ingatan kolektif warga. Kini, ketika kebijakan itu bergeser menjadi lebih ketat, ketegangan sosial tetap tak terhindarkan.

Bagi sebagian orang, perubahan demografis ini terasa seperti kehilangan sesuatu yang lama mereka kenal. Bahasa asing di ruang publik, perubahan wajah tetangga, atau nilai-nilai budaya yang terasa bergeser membuat mereka bertanya-tanya: apakah Jerman yang dulu masih ada? Ini bukan sekadar soal statistik penduduk—melainkan soal rasa memiliki yang perlahan mengabur.

Namun, keresahan tak hanya datang dari persoalan identitas budaya. Ada kegelisahan yang lebih praktis: soal ekonomi yang mandek.

Dulu, Jerman dikenal sebagai lokomotif ekonomi Eropa. Kini, gelar itu mulai dipertanyakan. Negara ini menjadi satu-satunya anggota G7 yang mengalami stagnasi pertumbuhan selama dua tahun berturut-turut: 2023 dan 2024. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperkirakan pertumbuhan Jerman hanya akan mencapai 0,1% pada 2025. Tak heran, 41% responden dalam survei menyebut resesi sebagai alasan utama ingin meninggalkan negara itu.

Bayangkan tinggal di negara yang dulu dikenal makmur, tapi kini menghadapi penyusutan lapangan kerja, meningkatnya biaya hidup, dan merosotnya optimisme masa depan. Dalam kondisi seperti itu, mimpi tentang Swiss—yang dipilih 30% responden—atau Austria (23%) menjadi masuk akal. Negara-negara tetangga itu menawarkan stabilitas ekonomi, kemiripan budaya, dan rasa aman yang semakin langka di rumah sendiri.

Keresahan ini terasa akrab, bahkan di belahan dunia yang berbeda. Kita di Indonesia pernah mengalami gelombang kekecewaan yang serupa. Tagar #kaburajadulu sempat menjadi tren beberapa waktu lalu—ekspresi frustasi anak muda terhadap kemacetan, korupsi, birokrasi yang ruwet, dan ketidakadilan sosial yang membandel. Konteks kita tentu berbeda. Jerman menghadapi problem imigrasi dan gejolak geopolitik, sementara kita berhadapan dengan stagnasi birokratik dan ketimpangan. Namun, esensinya sama: ketika rumah tak lagi terasa melindungi, pikiran pun mulai berkelana ke tempat lain.

Belum lagi soal politik. Sebanyak 29% responden mengaku khawatir dengan kebangkitan partai sayap kanan Alternative für Deutschland (AfD) yang kini semakin populer berkat narasi anti-imigran. Partai ini tak hanya tumbuh dalam suara, tapi juga dalam pengaruh di sejumlah wilayah Jerman Timur. Sementara itu, 22% menyebut ancaman militer dari Rusia sebagai faktor kegelisahan mereka, dan 12% khawatir akan potensi berkurangnya perlindungan dari Amerika Serikat, terutama ketika Donald Trump kembali berkuasa.

Dalam konteks yang lebih luas, Jerman kini berada dalam pusaran geopolitik yang tidak stabil. Sebagai salah satu pendukung utama Ukraina dalam konflik dengan Rusia, posisinya menjadi rawan. Ketegangan yang berlangsung di perbatasan Eropa Timur itu memicu kecemasan akan masa depan keamanan regional.

Bayangkan membaca berita tentang eskalasi di Ukraina, sementara di sekitarmu kota berubah—bahasa baru terdengar di jalanan, simbol-simbol asing memenuhi ruang publik. Bagi sebagian, ini bisa jadi kekayaan multikultural. Namun bagi yang lain, ini adalah sinyal hilangnya kontrol atas masa depan. Tak heran jika 36% dari responden yang ingin pindah mengaku semakin sering mempertimbangkannya dalam beberapa waktu terakhir.

Pilihan destinasi mereka pun menarik. Swiss dan Austria menjadi favorit bukan hanya karena stabilitas ekonomi dan sistem sosial yang mapan, tapi karena kedekatan bahasa dan budaya. Spanyol (22%) dan Kanada (17%) juga masuk dalam daftar—mungkin karena iklimnya yang lebih hangat atau tawaran hidup yang terasa lebih “baru”. Fenomena ini mirip dengan mimpi anak muda Indonesia yang melirik Australia, Jepang, atau Singapura. Bukan semata mencari uang lebih banyak, tetapi juga mengejar stabilitas dan harapan akan kehidupan yang lebih adil.

Di tengah semua ini, pemerintah Jerman berupaya merespons. Pada 2024, diperkenalkan kebijakan perbatasan yang lebih ketat sebagai penyesuaian dari era Merkel. Friedrich Merz, pemimpin partai konservatif CDU, mendorong pendekatan yang lebih restriktif dalam imigrasi. Merz yang baru saja menjabat menjadi kanselir, pengaruhnya terasa dalam diskursus politik saat ini. Langkah-langkah tersebut memang ditujukan untuk meredam kekhawatiran publik, tapi belum tentu cukup mengembalikan rasa percaya diri warga terhadap masa depan negaranya.

Sebetulnya, hal semacam ini juga pernah kita alami. Setelah krisis ekonomi atau gelombang ketidakpuasan sosial, Indonesia beberapa kali mencoba bangkit lewat reformasi—baik politik, ekonomi, maupun hukum. Dan meski banyak tantangan yang masih belum selesai, ada fase-fase di mana harapan kembali tumbuh, walau pelan. Jerman, dengan seluruh sumber dayanya, tentu punya peluang untuk bangkit. Namun tanpa kepercayaan rakyat, pemulihan hanya tinggal wacana.

Kini, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih dalam: apa artinya ketika 58% warga sebuah negara memimpikan kehidupan di tempat lain? Ini bukan hanya tentang ekonomi atau keamanan. Ini soal rasa memiliki—tentang rumah yang tak lagi memberi kenyamanan emosional. Ketika 36% dari mereka bahkan makin sering memikirkannya belakangan ini, itu adalah tanda bahwa Jerman, bagi sebagian warganya, perlahan kehilangan makna sebagai “rumah”.

Dan pertanyaan itu bukan milik Jerman saja. Kita semua, di mana pun tinggal, bisa tiba-tiba merasa asing di tempat yang seharusnya paling kita kenal. Saat kemacetan, ketimpangan, atau konflik sosial membuat kehidupan terasa menjauh dari harapan, kita pun mulai bertanya: benarkah rumput tetangga lebih hijau?

Jerman bukan satu-satunya yang bergulat. Negara-negara Eropa lain pun menghadapi tantangan serupa, tapi sebagai kekuatan ekonomi utama Eropa, tekanan yang dihadapi Jerman terasa lebih berat. Jika mereka gagal mengatasi ketimpangan, keresahan itu bisa berubah menjadi gelombang yang lebih besar—gelombang migrasi internal Eropa dari negara yang dulu dianggap paling stabil.

Laporan ini seharusnya membuat kita merenung. Karena pada akhirnya, keputusan untuk meninggalkan rumah bukanlah sekadar soal uang atau rasa aman. Ia tumbuh dari keyakinan bahwa masa depan mungkin tak lagi bisa ditemukan di tempat asal. Dan ketika keyakinan itu goyah, siapa pun—di Berlin, Jakarta, atau di mana pun—akan mulai mencari tempat baru untuk berharap.

Namun, mungkin bukan tempat yang perlu kita tinggalkan, melainkan cara kita memperjuangkannya yang harus berubah. Karena rumah sejati bukan soal lokasi, tapi tentang kepercayaan: bahwa tempat ini, meski penuh masalah, masih layak diperjuangkan bersama.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *