Opini
Ketidakadilan Transisi: Alawit Diusir, Suriah Terancam

Di sebuah gang sempit di Damaskus, rumah sederhana Um Hassan menjadi saksi bisu teror. Dua belas pria bertopeng mendobrak pintu, mengacungkan AK-47, dan memerintahkan keluarganya pergi. Bukti kepemilikan rumah tak berguna; kakak tertuanya ditahan, hanya dilepaskan setelah keluarga menyerah. Tubuhnya penuh luka saat mereka menjemputnya di markas Dinas Keamanan Umum (GSS). Kisah Um Hassan bukanlah kejadian tunggal, melainkan bagian dari pola mengerikan yang mengancam masa depan Suriah.
Sejak Ahmad al-Sharaa mengambil alih kekuasaan pada Desember lalu, ratusan keluarga Alawit dilaporkan diusir dari rumah mereka di Damaskus, menurut laporan Reuters yang mengutip pejabat Suriah, kelompok hak asasi manusia, dan warga terdampak. Bassam Alahmad dari Syrians for Truth and Justice (STJ) menyebut ini bukan insiden terpisah, melainkan “ratusan, bahkan mungkin ribuan” kasus pengusiran. Data ini menggambarkan kampanye sistematis yang menargetkan Alawit, komunitas yang secara historis diasosiasikan dengan rezim Assad.
Pengusiran ini bukan sekadar kehilangan tempat tinggal, tetapi juga perampasan identitas dan martabat. Ambil contoh Um Hussein, seorang pegawai negeri dengan anak penyandang disabilitas. Dua pria bersenjata dari GSS memberinya waktu 24 jam untuk pergi, lalu kembali keesokan paginya, hanya memberi dua menit untuk mengemasi hidupnya. Tokohnya pun disita. “Kami tinggal di rumah ini selama 22 tahun. Semua tabungan kami ada di sini,” katanya, suaranya penuh keputusasaan.
Kekerasan ini diperparah oleh ketidakadilan institusional. GSS, yang sebagian besar terdiri dari mantan pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS), telah membentuk dua komite properti: satu untuk menyita, satu lagi untuk menangani keluhan. Namun, komite ini tampaknya hanya formalitas. Seorang pejabat direktorat Damaskus melaporkan “ratusan keluhan” dari warga yang diusir secara brutal, sementara seorang wali kota Alawit di pinggiran kota mencatat 250 dari 2.000 keluarga di wilayahnya telah dipaksa keluar.
Ketidakadilan ini mencerminkan kekosongan kepemimpinan dalam transisi pasca-Assad. Seorang wali kota merekam percakapan dengan seseorang yang mengaku dari GSS, yang memerintahkannya mengosongkan rumah Alawit untuk keluarga dari utara, menyebut Alawit sebagai “babi.” Bahasa ini bukan sekadar hinaan, tetapi sinyal dari strategi yang lebih luas untuk menghapus kehadiran Alawit dari ibu kota. STJ telah mengajukan keluhan resmi pada 16 April, menyerukan penghentian pelanggaran bermotif sektarian, tetapi responsnya minim.
Situasi semakin buruk dengan laporan kekerasan yang lebih luas. Pada Maret, ratusan Alawit dilaporkan tewas di wilayah pesisir barat, dan kekerasan segera merembet ke Damaskus. Dua pejabat pemerintah mengkonfirmasi kepada Reuters bahwa ribuan warga, mayoritas Alawit, telah diusir sejak Assad digulingkan. Seorang pejabat Damaskus mengungkapkan bahwa pengusiran sering terjadi “tanpa perintah pengadilan,” dengan warga dilarang membawa barang pribadi sebelum pelaku pindah ke rumah mereka.
Pakar Suriah Joshua Landis menyebut ini sebagai “kekacauan dengan metode,” yang bertujuan menakuti warga. “Tidak ada keadilan transisional, hanya ketidakadilan transisional,” katanya. Pernyataan ini tepat menggambarkan realitas di mana GSS, yang seharusnya menegakkan hukum, justru menjadi pelaku utama pelanggaran. Rafaa Mahmoud, seorang wanita Alawit, merekam konfrontasi dengan tujuh pria bersenjata yang menyebut keluarganya “kafir” dan menolak menunjukkan perintah pengadilan, berkata, “Kami hanya berurusan secara lisan di sini.”
Krisis ini bukan hanya tentang properti, tetapi juga tentang masa depan Suriah sebagai bangsa yang inklusif. Alawit, yang selama dekade terakhir sering dipandang sebagai pendukung Assad, kini menjadi sasaran pembalasan kolektif. Namun, menargetkan seluruh komunitas atas dasar afiliasi historis adalah resep untuk bencana. Sejarah Suriah sudah penuh dengan luka perang saudara; menambah dendam sektarian hanya akan memperpanjang penderitaan.
Data dari Kementerian Kesehatan Suriah menambah gambaran suram. Pada Mei 2025, bentrokan di Ashrafiyat Sahnaya, pinggiran Damaskus, menewaskan 11 orang, termasuk anggota GSS, dengan banyak lainnya terluka. Kekerasan ini, yang melibatkan kelompok bersenjata Druze dan pasukan keamanan, menunjukkan bahwa ketegangan sektarian tidak terbatas pada Alawit. Syrian Observatory for Human Rights melaporkan 22 kematian, termasuk enam warga Druze, menandakan konflik yang semakin meluas.
Pemerintah sementara di Damaskus tampaknya kewalahan. Meskipun gubernur Damaskus mengundang warga untuk mengajukan keluhan pada Februari, laporan menunjukkan bahwa tindakan ini tidak menghentikan pengusiran. Kementerian Dalam Negeri bersumpah akan “menghantam dengan tangan besi” kelompok bersenjata yang mengacauk, namun operasi keamanan di Ashrafiyat Sahnaya belum meredakan kekerasan. Jam malam dan operasi penyisiran hanya menambah ketegangan, seperti yang diungkapkan aktivis Rawad Balan: “Orang-orang di seluruh Suriah cemas dan takut.”
Intervensi asing memperumit situasi. Israel melancarkan serangan udara di dekat Ashrafiyat Sahnaya, mengklaim melindungi Druze dari “kelompok ekstremis.” Namun, Kementerian Dalam Negeri Suriah menyangkal adanya serangan, dan laporan lokal menyebutkan dua kematian akibat serangan ini. Intervensi ini, yang disertai pernyataan dari Netanyahu dan Katz yang “mengharapkan” tindakan Suriah, menimbulkan pertanyaan tentang motif geopolitik, terutama mengingat sejarah Israel memanfaatkan identitas Druze di Golan yang diduduki.
Di tengah kekacauan ini, suara-suara lokal menyerukan keadilan. Dewan Militer Sweida mengecam “eskalasi teroris” di Ashrafiyat Sahnaya, menyalahkan otoritas Damaskus atas tumpahan darah Druze. Koalisi Faksi Brigade Gunung menuduh pemerintah menerapkan standar ganda, memicu konflik sektarian. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Suriah menegaskan komitmennya melindungi semua warga, termasuk Druze, sambil menolak campur tangan asing. Namun, tanpa tindakan nyata, pernyataan ini terasa kosong.
Suriah berada di persimpangan kritis. Pengusiran Alawit dan kekerasan sektarian adalah gejala dari kegagalan yang lebih besar: ketidakmampuan membangun keadilan transisional yang adil. Tanpa mekanisme yang memastikan akuntabilitas, seperti pengembalian properti yang dirampas atau pengadilan independen untuk pelaku, dendam akan terus membara. Komunitas internasional harus berperan, bukan dengan intervensi militer, tetapi melalui tekanan diplomatik dan bantuan kemanusiaan untuk mendukung warga terlantar.
Kisah Um Hassan dan ribuan lainnya adalah peringatan. Suriah tidak boleh jatuh ke dalam siklus ketidakadilan baru. Dialog lintas komunitas, yang melibatkan Alawit, Druze, dan kelompok lain, harus diprioritaskan untuk menyembuhkan luka perang. PBB atau organisasi netral dapat memfasilitasi proses ini, memastikan bahwa suara warga sipil didengar. Hanya dengan keadilan dan inklusivitas, Suriah dapat membangun masa depan yang tidak dihantui oleh masa lalunya.
Kini, di gang-gang Damaskus yang sunyi, rumah-rumah kosong berdiri sebagai monumen ketidakadilan. Tetapi masih ada harapan. Dengan komitmen untuk keadilan transisional, Suriah bisa mengubah narasi dari pembalasan menjadi rekonsiliasi. Dunia sedang menonton, dan warga seperti Um Hassan menunggu keadilan yang telah lama ditunda.
Daftar Pustaka
- Al Mayadeen. (2025). ‘Minutes to leave’: Alawites purged from Damascus neighborhoods [Laporan Berita]. Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/-minutes-to-leave—alawites-purged-from-damascus-neighborho
- (2025). Hundreds of Alawite families expelled from Damascus homes amid sectarian tensions [Laporan Berita]. Damaskus: Reuters.
- (2025). Security operations in Ashrafiyat Sahnaya to restore order [Laporan Berita]. Damaskus: Syrian Arab News Agency.
- Syrian Observatory for Human Rights. (2025). Clashes in Ashrafiyat Sahnaya result in 22 deaths [Laporan Berita]. London: Syrian Observatory for Human Rights.
- Syrians for Truth and Justice. (2025). Formal complaint on sectarian-motivated property seizures in Damascus [Laporan]. Damaskus: Syrians for Truth and Justice.