Connect with us

Opini

Ketegangan Ekonomi AS–Eropa Meningkat

Published

on

“Kami sangat menyesalkan keputusan Amerika Serikat untuk menaikkan tarif impor baja dari 25 persen menjadi 50 persen,” demikian pernyataan singkat Komisi Eropa yang dikirim via email, Sabtu lalu. Sekilas terdengar seperti ucapan diplomatik yang biasa saja. Namun, jika didengarkan lebih saksama, pernyataan itu sarat kegelisahan—sebuah isyarat bahwa ketegangan di kedua sisi Atlantik sedang bergerak menuju eskalasi baru.

Keputusan itu diumumkan langsung oleh Presiden Donald Trump dengan penuh percaya diri di fasilitas U.S. Steel, West Mifflin, Pennsylvania. Ia berdiri di depan para pekerja industri berat sambil berkata, “Dengan 50 persen, mereka tak bisa lagi melompati pagar.” Kalimat itu bukan sekadar retorika kampanye. Ia menyiratkan bahwa dalam pandangan Trump, dunia perdagangan global bukanlah ruang kolaborasi, melainkan arena pertarungan. Di balik sikap keras itu, konsekuensinya nyata—bukan hanya bagi Eropa, tetapi juga bagi konsumen, pekerja, dan negara-negara yang terhubung melalui rantai pasok global, termasuk Indonesia.

Bayangkan sebuah dunia di mana harga mobil, kulkas, hingga pembangunan rumah melambung tinggi karena kenaikan harga baja dan aluminium. Itulah kekhawatiran Komisi Eropa saat menyebut keputusan AS ini “menambah ketidakpastian ekonomi global dan meningkatkan biaya bagi konsumen serta bisnis di kedua sisi Atlantik.” Baja dan aluminium bukanlah komoditas sembarangan. Mereka adalah tulang punggung dari industri otomotif, konstruksi, dan manufaktur—industri-industri yang menopang jutaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi di banyak negara.

Eropa kini menghadapi tantangan besar. Negara seperti Jerman, eksportir baja dan mobil utama ke AS, terancam pukulan telak akibat tarif baru yang mulai diberlakukan pada 4 Juni 2025. Nilai ekspor baja mereka ke pasar Amerika mencapai miliaran euro per tahun. Ketika beban tarif melonjak, daya saing pun menyusut. Tidak hanya produsen yang dirugikan, tetapi juga konsumen yang akhirnya harus membayar lebih mahal untuk produk akhir.

Sementara itu, Indonesia, meski bukan aktor utama dalam perdagangan baja global, tetap akan merasakan imbasnya. Industri otomotif nasional, yang sangat bergantung pada impor komponen dan bahan baku, akan menghadapi lonjakan biaya produksi. Kenaikan harga baja dunia akan memperberat beban ekonomi di tengah tekanan inflasi global yang belum sepenuhnya mereda. Pembangunan infrastruktur—dari jembatan hingga gedung pencakar langit—juga akan ikut tersendat jika harga material konstruksi melonjak tajam.

Uni Eropa sendiri tidak berada dalam kondisi ekonomi yang stabil. Proyeksi pertumbuhan hanya berkisar 1 hingga 1,5 persen pada 2025. Inflasi di zona euro masih bertahan di angka 2,5 hingga 3 persen. Negara-negara utama seperti Jerman sudah terdampak oleh menurunnya ekspor dan krisis energi yang belum tuntas akibat konflik Rusia-Ukraina. Dalam situasi seperti ini, kebijakan tarif dari AS bukan sekadar tekanan ekonomi, tetapi juga pukulan terhadap moral dan stabilitas pasar Eropa.

Komisi Eropa menyatakan bahwa kenaikan tarif ini “melemahkan upaya negosiasi”—pernyataan yang mencerminkan bukan hanya kekecewaan, tetapi juga kekhawatiran bahwa ruang diplomasi semakin sempit. Sementara itu, Trump tetap pada posisinya. Ia menyandarkan langkah ini pada narasi proteksi terhadap pekerja Amerika. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa tarif sebelumnya justru memberikan dampak sebaliknya. Industri otomotif AS kehilangan daya saing karena meningkatnya biaya bahan baku. Dan para pekerja? Banyak yang tetap kehilangan pekerjaan karena pabrik-pabrik harus mengencangkan ikat pinggang atau memindahkan produksi ke luar negeri.

Peter Navarro, mantan penasihat ekonomi Gedung Putih, pernah menyatakan bahwa tarif bisa meningkatkan pendapatan AS hingga 600 miliar dolar per tahun. Namun, proyeksi dari lembaga riset Capitol Economics menunjukkan bahwa kebijakan tarif semacam ini justru bisa mendorong inflasi AS naik dari 2,9 persen menjadi 4 persen. Jika inflasi melonjak, maka konsumenlah yang paling terdampak. Harga-harga kebutuhan pokok naik, daya beli menurun, dan pertumbuhan ekonomi pun melambat.

Uni Eropa tidak tinggal diam. Bernd Lange, Ketua Komite Perdagangan Parlemen Eropa, sudah mendesak agar tarif balasan segera disiapkan. Jika AS tetap memberlakukan tarif 50 persen, Uni Eropa diperkirakan akan membalas mulai 14 Juli 2025 atau bahkan lebih cepat. Produk-produk AS seperti wiski, jeans, dan kedelai—yang sebelumnya pernah dijadikan sasaran balasan—kembali masuk dalam radar. Ini bisa memicu siklus pembalasan yang berkepanjangan, memperkeruh situasi yang sudah tegang.

Apa artinya semua ini bagi dunia? Perang tarif bukan hanya permainan dua raksasa ekonomi. Gelombangnya terasa hingga ke negara-negara berkembang. Di Indonesia, misalnya, perusahaan besar seperti Astra International yang mengimpor komponen otomotif akan menghadapi kenaikan biaya. Keluarga kelas menengah yang ingin membeli mobil baru bisa saja menunda niat karena harga melonjak. Di sisi lain, proyek-proyek strategis nasional pun bisa terkena imbas jika harga baja terus meroket, sementara anggaran negara semakin ketat.

Secara global, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa perang dagang yang terus meningkat dapat memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) dunia hingga 7 persen dalam jangka menengah. Negara-negara kecil seperti Lesotho, yang menggantungkan ekonominya pada ekspor tekstil ke AS, bahkan diproyeksikan bisa kehilangan hingga 10 persen PDB mereka akibat kebijakan tarif semacam ini. Dunia menjadi semakin tidak pasti, dan yang paling rentanlah yang pertama kali merasakan dampaknya.

Reflektifnya, kita bisa bertanya: sampai kapan dunia akan terus terjebak dalam siklus proteksionisme ini? Apakah setiap tantangan global akan selalu dijawab dengan pagar-pagar ekonomi dan narasi nasionalisme sempit? Trump mungkin percaya bahwa tarif melindungi pekerja Amerika, tapi data menunjukkan hal sebaliknya. Proteksionisme memang bisa memberikan efek jangka pendek yang tampak seperti kemenangan, tapi dalam jangka panjang, ia justru mengikis kepercayaan global, memicu inflasi, dan memperlemah kolaborasi antarbangsa.

Di sisi lain, Eropa juga tidak dalam posisi yang mudah. Negara-negara seperti Italia dan Spanyol menghadapi keterbatasan fiskal dengan rasio utang yang telah melampaui 100 hingga 140 persen dari PDB mereka. Upaya negosiasi merupakan jalan rasional, tetapi tekanan politik internal dan respons keras dari AS membuat opsi ini kian sulit. Jika langkah balasan diambil, yang terjadi bukanlah solusi, melainkan spiral kerugian timbal balik. Petani kedelai AS bisa kehilangan pasar Eropa, sementara pabrik mobil Jerman bisa kehilangan pangsa pasarnya di AS. Semua pihak dirugikan.

Indonesia pun tidak sepenuhnya aman. Efek riak dari konflik dagang bisa memukul daya saing industri, memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi, dan memperberat agenda pembangunan. Pemerintah perlu bersiap dengan kebijakan penyangga—baik dalam bentuk subsidi bahan baku strategis, insentif industri, maupun diplomasi dagang yang lebih aktif di kawasan Asia dan Timur Tengah.

Namun, di balik awan gelap ini, masih ada secercah harapan. Uni Eropa memiliki pasar internal dengan lebih dari 450 juta konsumen, dan potensi diversifikasi ekspor ke kawasan Asia dan Afrika bisa menjadi strategi bertahan. Amerika Serikat, meskipun memiliki ekonomi yang lebih besar dan tangguh, tidak kebal dari tekanan domestik berupa inflasi dan penurunan kepercayaan pasar.

Pertanyaannya kini adalah: akankah kedua belah pihak memilih jalan dialog sebelum 14 Juli 2025 tiba? Ataukah dunia akan kembali menyaksikan babak baru dari perang dagang yang semakin memperdalam ketidakpastian?

Kita semua—dari Jakarta hingga Berlin—menanti jawabannya, sambil merasakan getaran ketegangan ekonomi global yang kian hari makin nyata.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *