Opini
Kesalahan CNN di Suriah: Pelajaran Bagi Media

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Kesalahan yang dilakukan oleh CNN dalam peliputannya terkait pria yang dibebaskan oleh pemberontak di Suriah menggambarkan betapa rentannya media besar dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya di zona konflik. Dalam laporan awal mereka, CNN menggambarkan pria tersebut sebagai seorang warga sipil biasa yang telah dipenjara oleh rezim Bashar al-Assad. Namun, setelah dilakukan pendalaman lebih lanjut, identitas sebenarnya pria tersebut terungkap. Menurut penduduk lokal dan bukti foto yang diperoleh, pria itu ternyata adalah Salama Mohammad Salama, seorang perwira intelijen dari Direktorat Intelijen Angkatan Udara rezim Assad, yang dikenal dengan nama Abu Hamza. Dia diduga memiliki reputasi buruk terkait pemerasan dan kekerasan di wilayah Homs.
Kesalahan ini muncul setelah CNN awalnya melaporkan bahwa pria tersebut mengklaim dirinya sebagai Adel Ghurbal dari Homs, yang mengaku telah dipenjara oleh pemerintah Suriah, bahkan tidak mengetahui bahwa rezim Assad telah jatuh. Namun, lebih jauh lagi, CNN menemukan bahwa pria itu adalah seorang perwira intelijen yang sangat terlibat dalam operasi militer dan pengawasan di daerah tersebut. Sebuah gambar yang diperoleh oleh CNN, bersama dengan perangkat lunak pengenalan wajah, mengkonfirmasi identitas pria tersebut sebagai Salama Mohammad Salama. Masalahnya, CNN tidak cukup melakukan verifikasi atau pendalaman lebih lanjut tentang latar belakang pria ini sebelum melaporkan kisah tersebut, yang mengarah pada pemberitaan yang salah.
Kesalahan ini menyoroti pentingnya ketelitian dan verifikasi dalam jurnalisme, terutama di zona konflik yang penuh dengan informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Ketika sebuah media besar seperti CNN gagal untuk melakukan verifikasi secara menyeluruh, kesalahan ini tidak hanya merusak kredibilitas mereka, tetapi juga dapat memperburuk ketegangan di wilayah yang sudah sangat rentan. Jurnalisme tidak hanya soal menyampaikan informasi secepat mungkin, tetapi lebih kepada keakuratan dan tanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan. Ketika sebuah laporan yang tidak terverifikasi dapat mempengaruhi opini publik, menciptakan ketegangan lebih lanjut, atau bahkan memperburuk situasi yang sudah sangat kompleks, ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya melakukan pengecekan fakta dan tidak terburu-buru dalam melaporkan kejadian-kejadian yang terjadi di lapangan.
Namun, jika dibandingkan dengan situasi yang dihadapi oleh wartawan di Gaza, kesalahan semacam ini terlihat lebih berat. Di Gaza, para jurnalis tidak hanya berhadapan dengan tantangan verifikasi informasi, tetapi mereka juga harus mempertaruhkan nyawa mereka setiap kali melaporkan fakta di lapangan. Sejak dimulainya perang Israel di Gaza, telah tercatat ratusan jurnalis Palestina yang tewas akibat serangan udara atau tembakan dari tentara Israel. Menurut laporan Al Jazeera, lebih dari 195 jurnalis telah terbunuh di Gaza sejak perang dimulai, dengan beberapa di antaranya merupakan wartawan dari berbagai media terkemuka, seperti Ismail al-Ghoul, Rami al-Rifi, dan Samer Abudaqa. Selain itu, jurnalis Mohammed Jabr al-Qrinawi, yang bekerja untuk Al Jazeera, terbunuh bersama istri dan anak-anaknya dalam serangan udara yang dilancarkan Israel di kamp pengungsi Bureij.
Kontras ini sangat mencolok. Di Gaza, kesalahan dalam pemberitaan mungkin terjadi, tetapi itu bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi para wartawan. Mereka tidak hanya berjuang untuk mengungkap kebenaran, tetapi juga untuk bertahan hidup di tengah ancaman yang konstan. Tidak jarang, media di Gaza menjadi sasaran serangan langsung, dan wartawan mereka menjadi target pembunuhan, hanya karena mereka berusaha memberitakan fakta yang terjadi di lapangan.
Sementara itu, di Suriah, meskipun situasinya juga sangat berbahaya, tantangan jurnalis lebih banyak terkait dengan kesulitan dalam mengakses informasi yang benar, verifikasi sumber, serta tekanan dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Namun, apa yang terjadi dengan CNN—terlepas dari adanya ketidakakuratan laporan mereka—menggambarkan sebuah masalah yang lebih mendalam terkait dengan standar jurnalisme di zona konflik, di mana ketergesa-gesaan dan preferensi untuk melaporkan informasi yang cepat bisa mengarah pada kesalahan yang berbahaya.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kesalahan CNN dan perbandingan ini adalah bahwa jurnalis, baik yang bekerja di zona konflik seperti Gaza atau Suriah, harus memiliki komitmen yang lebih kuat terhadap verifikasi fakta dan ketepatan informasi. Media juga harus lebih berhati-hati dan mempertanggungjawabkan pemberitaannya secara transparan, terutama ketika situasi yang dilaporkan sangat sensitif dan dapat mempengaruhi kehidupan orang banyak.
Dalam hal ini, masyarakat memiliki peran penting untuk mengawal pemberitaan media. Meskipun suara dan alat yang dimiliki publik terbatas, mereka tetap bisa berperan aktif dengan menyuarakan keberatan atau koreksi terhadap informasi yang salah. Melalui media sosial, forum diskusi, atau bahkan melalui organisasi-organisasi yang bergerak di bidang hak asasi manusia, publik dapat meminta pertanggungjawaban media atas kesalahan pemberitaan, serta mendesak mereka untuk lebih berhati-hati dalam menyajikan informasi.
Kesalahan pemberitaan, terutama di zona konflik, bukan hanya masalah kredibilitas media, tetapi juga dapat memperburuk situasi yang sudah sangat rentan. Media yang tidak bertanggung jawab dalam peliputan konflik bisa menambah ketegangan, menyebarkan misinformasi, dan merugikan banyak pihak, termasuk para korban yang sudah cukup menderita. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih bijak dalam menyaring informasi yang diterima dan tidak mudah terpengaruh oleh pemberitaan yang memihak atau cenderung sepihak. Menggunakan sumber yang tepercaya dan mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme yang akurat dan objektif akan membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang situasi yang sedang terjadi di zona konflik.