Connect with us

Opini

Kemiskinan di Jantung Eropa: Ironi dari Kota yang Megah

Published

on

Di bawah gemerlap menara kaca dan kebijakan global Uni Eropa, Brussel menyembunyikan luka yang sulit disembuhkan—noda kemiskinan yang mengintai lorong-lorong sunyi ibu kota. Di balik citra sebagai pusat peradaban dan solidaritas, kota ini justru memperlihatkan ironi sosial yang mencengangkan. Laporan terkini dari Bruss’Help mengungkap fakta pahit: 9.777 jiwa hidup dalam tunawisma di Brussel, meningkat 25% sejak 2022, dengan 992 orang benar-benar tidur di jalanan. Ini bukan sekadar statistik—ini adalah cermin retak dari wajah Eropa yang seharusnya menjanjikan kesejahteraan.

Kemiskinan di Brussel bukan sebatas ketimpangan ekonomi; ia adalah potret dari penderitaan manusia yang terusir dari hak dasarnya—rumah. Di antara mereka terdapat pemuda yang terasing dari sistem pendidikan dan pekerjaan, perempuan korban kekerasan domestik, hingga mereka yang terjebak dalam lingkaran kecanduan. Semua terlupakan di kota dengan Produk Domestik Bruto per kapita mencapai $55.000 (IMF, 2023). Eurostat mencatat bahwa 25-30% warga Brussel hidup di bawah garis kemiskinan—angka yang sangat kontras dengan rata-rata nasional Belgia yang hanya 13-15%. Ketimpangan ini tidak hanya nyata, tetapi juga menyakitkan. Sementara para elit menikmati kemewahan di gedung-gedung megah Uni Eropa, ribuan warga kehilangan tempat berteduh, tersingkir oleh sistem yang gagal melindungi mereka.

Salah satu pemicu utama krisis ini adalah biaya sewa yang terus melonjak, dipicu oleh membanjirnya ekspatriat dan pegawai internasional yang menempati pasar properti. Bagi pekerja berupah rendah, terutama dari kelompok imigran, menyewa tempat tinggal yang layak adalah mimpi yang kian jauh. Bruss’Help melaporkan bahwa banyak keluarga akhirnya kehilangan tempat tinggal karena sewa menyerap sebagian besar pendapatan mereka. Dengan populasi 1,25 juta, tingkat tunawisma Brussel mencapai 78 orang per 10.000 penduduk—angka yang jauh melampaui Lisbon (10) atau Madrid (5,4) menurut data OECD 2023. Perbandingan ini menegaskan bahwa permasalahan di Brussel bukan sekadar persoalan urban biasa, melainkan kegagalan struktural yang sistemik di jantung Eropa.

Kebijakan publik yang tidak selaras memperparah krisis. Fedasil, badan federal Belgia yang menangani pencari suaka, kini menolak pria lajang dari pusat penampungan. Keputusan ini, yang dianggap ironis oleh banyak pihak, justru mendorong ratusan orang semakin terpuruk di jalanan. Brussel—yang semestinya menjadi lambang solidaritas antarbangsa—justru menunjukkan ketidakpekaan akut terhadap penderitaan manusia. Gedung-gedung tinggi dan kantor kebijakan multinasional berdiri megah, namun sistem penampungan dasar untuk manusia justru compang-camping. Ini memperlihatkan betapa lemahnya koordinasi antara kebijakan nasional dan pemerintah lokal dalam menyelesaikan persoalan fundamental warganya.

Lebih jauh, krisis ini memperlihatkan kegagalan globalisasi yang timpang. Kekayaan memang mengalir deras ke institusi internasional yang bermarkas di Brussel, namun manfaatnya tidak merata. Kawasan seperti Molenbeek, yang dihuni mayoritas imigran, menjadi contoh nyata dari keterpinggiran. Dengan tingkat pengangguran pemuda mencapai 15% (OECD, 2023), banyak anak muda kehilangan harapan sebelum sempat memulainya. Diskriminasi di pasar kerja dan perumahan memperparah jurang ketimpangan yang sudah menganga. Untuk sebagian besar warga, kemakmuran Brussel tak lebih dari fatamorgana: tampak dekat, namun tak pernah bisa digapai.

Tekanan eksternal turut memperdalam krisis. Inflasi global pasca-pandemi dan lonjakan harga energi akibat konflik Rusia-Ukraina membuat harga barang kebutuhan pokok melejit. Menurut Statbel, harga pangan di Belgia meningkat hingga 17% pada 2022, menggerus daya beli terutama bagi kelompok ekonomi lemah. Pada saat yang sama, arus pengungsi yang membanjiri Brussel menambah tekanan pada sistem perumahan sosial yang sudah jenuh. Warga lokal berpenghasilan rendah pun kian terpinggirkan, terpaksa memilih antara bertahan dalam kemiskinan atau menjadi tunawisma.

Brussel bukan satu-satunya ibu kota Eropa yang menghadapi tantangan tunawisma. Namun, skala dan kecepatannya sungguh mencolok. Tingkat tunawisma Brussel melampaui Helsinki (<20 per 10.000), Lisbon, dan hampir mendekati Paris (~30,7), menurut data OECD 2023. Yang mencolok bukan hanya angkanya, tapi juga tren kenaikannya: 25% dalam dua tahun terakhir. Bandingkan dengan Helsinki, yang justru berhasil menekan jumlah tunawisma secara signifikan. Ini menegaskan bahwa bukan tidak mungkin untuk mengatasi krisis ini—yang kurang hanyalah komitmen dan keberanian politik.

Sebagai pusat simbolik dan politis Eropa, ironi Brussel menjadi semakin menyakitkan. Kota ini seharusnya menjadi panutan, bukan bayangan dari kegagalan negara berkembang. Di tengah anggaran kesejahteraan Belgia yang menyerap 25% dari PDB (Statbel, 2023), ketidakefektifan distribusi membuat kantong-kantong kemiskinan seperti Molenbeek tumbuh bagai luka yang tak sembuh. Ini bukan hanya masalah kebijakan, tapi juga persoalan moral: apakah Eropa masih peduli pada nilai-nilai solidaritas dan keadilan sosial yang kerap dikhotbahkannya?

Solusi bukanlah utopia. Program Housing First di Helsinki menjadi contoh nyata. Kota itu menyediakan perumahan permanen tanpa syarat bagi tunawisma, didukung oleh layanan sosial yang memadai. Hasilnya konkret: jumlah tunawisma nasional Finlandia turun drastis menjadi 1.133 jiwa (FEANTSA, 2023), dengan anggaran tahunan sebesar €50 juta (sekitar Rp850 miliar). Jika prinsip yang sama diterapkan di Brussel, maka dana sebesar €60-80 juta (Rp1–1,36 triliun) dapat membiayai pembangunan 9.777 unit hunian sosial dengan estimasi biaya €150.000 per unit (OECD, 2023). Itu bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi fondasi perubahan sosial jangka panjang.

Namun, pelaksanaannya tentu tak mudah. Penolakan dari partai-partai konservatif terhadap kenaikan pajak, ego sektoral antara pemerintah federal dan daerah, hingga lobi pengembang properti yang menolak pengendalian sewa menjadi tantangan serius. Tapi Helsinki pun menghadapi tantangan serupa. Mereka berhasil melalui koordinasi ketat antara pemerintah pusat, daerah, dan organisasi masyarakat sipil. Brussel harus meniru semangat itu jika ingin menjadikan Housing First bukan sekadar mimpi, melainkan realitas.

Selain perumahan, pelatihan kerja dan integrasi sosial untuk imigran serta pemuda juga krusial. Dengan biaya €10.000 per peserta (OECD, 2023), program pelatihan bisa menjangkau 5.000 warga dengan anggaran sekitar €50 juta (Rp850 miliar). Namun, diskriminasi di pasar tenaga kerja tetap menjadi penghalang, dan ini hanya bisa diatasi dengan regulasi ketat dan pengawasan independen. Di sisi lain, reformasi lembaga seperti Fedasil untuk membuka kembali akses bagi pria lajang butuh negosiasi panjang dengan pemerintah federal yang sering kali terbelah prioritasnya.

Koordinasi lintas sektor dan lintas institusi adalah kunci dari semua solusi tersebut. Brussel dapat memanfaatkan Dana Sosial Eropa (European Social Fund/ESF) yang mengalokasikan €10 miliar (sekitar Rp170 triliun) untuk program inklusi sosial sepanjang 2021–2027. Tapi untuk mengalihkan dana itu ke sektor perumahan dan pelatihan, diperlukan kehendak politik yang kuat, keberanian untuk memangkas birokrasi, dan keberpihakan pada warga yang paling membutuhkan. Tanpa itu, krisis ini hanya akan terus melebarkan jurang ketidakadilan.

Noda kemiskinan di Brussel adalah peringatan keras—bukan hanya bagi Belgia, tapi bagi seluruh Eropa. Di kota yang menjadi simbol integrasi, solidaritas, dan kemajuan global, ribuan orang kehilangan hak dasarnya. Jika pusat Eropa gagal menyelesaikan krisis di halaman rumahnya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa menginspirasi dunia? Brussel harus berubah, bukan karena citranya, tetapi karena tanggung jawabnya. Jalan keluar sudah tersedia. Yang dibutuhkan kini hanyalah keberanian untuk bertindak.

Daftar Sumber:

  1. Bruss’Help. (2024). Laporan tentang Tunawisma di Brussels-Capital Region.
  2. (2023). Tingkat Kemiskinan di Belgia dan Brussels-Capital Region.
  3. (2023). Data Tingkat Tunawisma, Pengangguran, dan Biaya Perumahan di Eropa.
  4. (2023). Statistik Harga Pangan dan Anggaran Kesejahteraan Sosial Belgia.
  5. (2023). Data PDB Per Kapita Belgia.
  6. (2023). Laporan Tunawisma di Eropa dan Keberhasilan Housing First di Finlandia.
  7. Our World in Data. (2023). Data Tunawisma di Finlandia.
  8. Uni Eropa. (2023). Informasi Dana Sosial Eropa (ESF) untuk Inklusi Sosial.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *